sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Potensi kisruh kesehatan imbas Permenkes Radiologi

Kemenkes menerbitkan Permenkes 24/2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik yang diprotes puluhan perhimpunan profesi kedokteran.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Kamis, 15 Okt 2020 17:59 WIB
Potensi kisruh kesehatan imbas Permenkes Radiologi

Yolanda—bukan nama sebenarnya—warga Cipayung, Jakarta Timur, harus rutin kontrol kesehatan kandungan sebulan sekali di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Usia kandungan Yolanda kini sudah masuk enam bulan. Biasanya, ia menjalani konsultasi dan pemeriksaan sekitar 45 menit.

“Waktu kontrol di masa pandemi begini, saya jadi lebih waswas kalau tertular,” kata dia saat berbincang dengan reporter Alinea.id di kediamannya, Selasa (14/10).

Kini, tak hanya pandemi Covid-19 yang membuatnya khawatir. Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik yang diteken Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto pada 21 September 2020 juga membuat Yolanda gelisah.

Di dalam Pasal 11 ayat 1 beleid itu menyebut, sumber daya manusia dan pelayanan radiologi paling sedikit terdiri atas dokter spesialis radiologi, radiografer, petugas proteksi radiasi, dan tenaga administrasi.

Sementara dalam Pasal 11 ayat 2 disebutkan, kewenangan tambahan diberikan kepada dokter atau dokter spesialis lain melalui pelatihan untuk mendapatkan kompetensi terbatas, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dibuktikan dengan sertifikat dari kolegium radiologi.

Bunyi pasal tersebut membuat Yolanda cemas. Dalam bayangannya, proses kontrol kandungan yang dijalaninya bakal menjadi lebih sulit dan menambah biaya.

“Kalau harus nunggu dokter kandungan bersertifikat atau belum, akan ada waktu saya yang terbuang. Saya jadi menunggu lebih lama, kayaknya bakal ribet,” ucapnya.

Yolanda mengaku, selama ini prosedur pendaftaran pasien untuk mendapatkan nomor urut konsultasi pun sudah memakan waktu. Aturan baru itu, kata Yolanda, akan semakin mengulur waktu masa tunggu pendaftaran.

Sponsored

Kegelisahan yang sama dirasakan Rizki Anissa. Warga Tangerang, Banten, yang tengah mengandung delapan bulan ini mengatakan, pemisahan layanan khusus ultrasonografi (USG) dari kebidanan atau dokter kandungan akan menyulitkan.

“Padahal, buat janji sama dokter SpOG (dokter kandungan) aja biasanya sudah makan energi, perlu antre lama banget,” tuturnya saat dihubungi, Senin (12/10).

Rizki yang rutin dua minggu sekali konsultasi ke Rumah Sakit Primaya, Tangerang ini mengatakan, dalam setiap analisis kondisi kandungan, biasanya bersamaan dengan cek USG. Hal ini memungkinkan baginya untuk memperoleh hasil analisis yang detail.

“Kalau dilayani di spesialis radiologi nanti teknisnya gimana ya? Bisa jadi enggak sedetail kalau langsung dibahas sama dokter kandungan,” ujarnya.

Rizki pun khawatir, nantinya akan mengeluarkan biaya lebih banyak. Biasanya, dalam sekali konsultasi dan pemeriksaan dengan dokter kandungan di poli kebidanan, ia membayar Rp250.000.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memberikan keterangan pers seusai meninjau RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Senin (02/03/20 ). Foto Antara/Rivan Awal Lingga.

Digugat karena banyak masalah

Pada 5 Oktober 2020, sebanyak 41 perhimpunan profesi kedokteran menyurati Menkes Terawan, meminta pencabutan Permenkes 24/2020. Ketika dikonfirmasi, Pelaksana tugas (Plt) Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Abdul Kadir enggan berkomentar.

“Mohon maaf, saya enggak bisa berkomentar. Lain kali kita bisa komunikasi,” kata dia saat dihubungi, Selasa (13/10).

Sementara itu, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) David Perdanakusuma—yang merupakan salah seorang penandatangan surat pencabutan Permenkes 24/2020—menyesalkan terbitnya permenkes tersebut. Ia menilai, aturan itu berpotensi menimbulkan kekisruhan dan akan merugikan masyarakat.

David menilai, ketentuan pelayanan radiologi klinik yang dijalankan oleh spesialis radiologi, bakal mengganggu pelayanan kesehatan yang selama ini menggunakan fasilitas radiologi.

Sebab, menurutnya fasilitas radiologi selama ini sudah tersebar di berbagai bidang medis, seperti poli jantung, paru-paru, tulang, kandungan, dan saraf. Di sisi lain, ia menyebut, kapasitas dan jumlah tenaga kesehatan radiologi di Indonesia masih sedikit. Hanya 1.570 orang, berbanding sekitar 25.000 spesialis lainnya.

“Bila 25.000 spesialis itu tidak berwenang lagi menggunakan modalitas peralatan radiologi atau imejing, tentu kekuatan memberi pelayanan pada masyarakat Indonesia akan berkurang,” tuturnya saat dihubungi, Senin (12/10).

Sebagai gambaran, berdasarkan data situs web Kemenkes, dari total 350 rumah sakit kelas C milik pemerintah daerah (pemda) di seluruh Indonesia, dokter radiologi tersebar di 276 rumah sakit, sedangkan 74 rumah sakit belum memilikinya. RSUD Padang Pariaman di Sumatera Barat paling banyak memiliki dokter spesialis radiologi, yakni sebanyak tujuh orang.

Sedangkan jumlah tenaga kesehatan radiologi (radiografer) hanya ada di 27 provinsi yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan biomedika. Jumlah radiografer terbanyak didominasi provinsi di Jawa, yakni Jawa Tengah 1.319 orang, Jawa Timur 1.152 orang, DKI Jakarta 1.135 orang, dan Jawa Barat 955 orang.

Di samping itu, David mengemukakan, aturan yang menyinggung kompetensi dan kolegium kedokteran, berimbas pada perubahan standar pendidikan kedokteran. Menurutnya, ada 15 hingga 16 bidang kesehatan yang akan terganggu akibat permenkes itu, termasuk keilmuan radiologi sendiri.

“Seharusnya mengatur proses layanan saja. Tetapi karena juga menyinggung kompetensi dan kolegium, semua jadi perlu waktu,” katanya.

Imbas lainnya, riskan mengganggu hubungan antarprofesi kedokteran. Ia menuturkan, bila wewenang obgyn—tenaga medis yang menangani kesehatan reproduksi perempuan, kehamilan, dan kelahiran—harus di bawah pengawasan dokter spesialis radiologi atau mendapatkan pengakuan dari kolegium radiologi, akan mengganggu kenyamanan obgyn dalam menjalankan tugasnya.

Hal serupa juga akan mengganggu kerja dokter jantung, yang bakal tak bisa lagi menangani angiografi—pencitraan medis yang menggunakan sinar-X untuk memeriksa kondisi pembuluh darah.

“Apakah ahli radiologi sudah cukup terlatih dan banyak yang terlatih untuk menangani angiografi?” tuturnya.

“Gesekan ini akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi spesialis yang kewenangannya ‘dilucuti’.”

Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia (MKKGI) Chiquita Prahasanti pun mengakui, Permenkes 24/2020 bisa mengganggu ritme dan prosedur pelayanan dokter gigi yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Ia menyebut, dokter gigi selama ini membutuhkan pelayanan radiologi saat melakukan diagnosis dan tindakan.

“Dokter gigi spesialis radiologi kedokteran gigi adalah spesialis yang pendidikan maupun profesinya telah diakui oleh pemerintah,” kata Chiquita dalam rilis yang diterima Alinea.id, Minggu (11/10).

“Spesialis ini memiliki kompetensi untuk memberikan pelayanan radiologi lanjut kedokteran gigi, seperti panoramik, cephalometric, dan cone beam computed tomography.”

David mengatakan, sebenarnya MKKI dan Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) sudah menolak rancangan Permenkes 24/2020 pada Mei lalu. Penolakan itu disampaikan secara tertulis dan lisan kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Akan tetapi, ia menyayangkan, ternyata prosesnya masih berlanjut hingga terbit pada September 2020.

“Kami sempat sampaikan tak ada yang urgen terkait peraturan ini, supaya kita bisa fokus pada penanganan Covid-19 saja dulu,” ucapnya.

Dihubungi terpisah, Ketua MPPK IDI Poedjo Hartono mengatakan, Pasal 5 ayat 2 Permenkes 24/2020, yang menentukan peralatan dalam pelayanan radiologi klinik harus terdiri atas peralatan radiasi pengion dan nonpengion, bermasalah. Poedjo mengungkapkan, ketentuan itu terbit tanpa pembahasan bersama perhimpunan keprofesian kedokteran.

“Ini pasti akan bermasalah di sisi layanan,” katanya saat dihubungi, Selasa (13/10).

Ilustrasi foto radiologi kepala. Foto Pixabay.com

Keliru dan kerugian

Dokter spesialis radiologi Prijo Sidipratomo pun menilai, terbitnya Permenkes 24/2020 merupakan bentuk kewenangan yang keliru dari Kemenkes, terutama aturan yang menyangkut keprofesian dokter.

“Kalau pun membuat peraturan, tidak berurusan dengan kompetensi. Yang berkaitan dengan kompetensi ini diurus oleh Konsil Kedokteran,” kata Prijo saat dihubungi, Rabu (14/10).

“Seharusnya, Konsil Kedokteran yang bergerak aktif (membuat aturan terkait keprofesian), bukan Kemenkes.”

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merupakan badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat independen, yang bertanggung jawab kepada presiden. Peraturan KKI, kata dia, sejajar dengan permenkes.

Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tersebut juga mengatakan, lantaran aturan permenkes terkait bidang radiologi, maka penetapannya harus dengan persetujuan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Sementara Kemenkes, kata dia, cukup bertanggung jawab mengelola kebijakan terkait administrasi bidang kedokteran.

Prijo pun menyayangkan penyusunan Permenkes 24/2020 tidak melibatkan warga. Akibatnya, ada aspek pelayanan yang diabaikan. Selain itu, ia mengatakan, Kemenkes pun mengabaikan terbatasnya jumlah radiolog di Indonesia.

“Kalau jumlah radiolog kurang, itu sama dengan bunuh diri,” tuturnya.

Ia mengungkapkan, di setiap negara penerapan pelaksanaan pelayanan radiologi sangat spesifik, tergantung kompetensi dan jumlah tenaga dokter ahli yang tersedia.

“Di Jepang, pelayanan USG tetap dapat dijalankan oleh dokter kebidanan karena jumlah dokter kandungan yang lebih banyak dibandingkan spesialis radiologi,” ujarnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Zainal Muttaqin membeberkan, ada tiga kerugian jika Permenkes 24/2020 diterapkan.

Pertama, kualitas pelayanan kesehatan yang menurun karena pelimpahan kewenangan pelayanan radiologi pada dokter spesialis radiologi. Menurut dia, setiap dokter spesialis yang pelayanannya terkait radiologi jauh lebih kompeten dibandingkan spesialis radiologi dalam menangani pasien.

“Spesialis kandungan jauh lebih kompeten tentang USG kandungan daripada spesialis radiologi. Dokter spesialis mata lebih tahu tentang USG mata daripada spesialis radiologi,” kata Zainal saat dihubungi, Selasa (13/10).

Kedua, kecepatan pelayanan akan terganggu akibat rantai proses yang memanjang. Ketiga, masyarakat akan dipungut biaya tambahan yang tak perlu.

Zainal berasumsi, jika dokter spesialis radiologi merasa sebagai pemilik hak paten dari penggunaan alat-alat radiologi, maka setiap pemakaian alat USG atau sinar-X bisa dikenakan pajak.

“Kalau tujuannya menambah pendapatan untuk spesialis radiologi, ya boleh, tetapi jangan korbankan rakyat,” kata dia.

Infografik foto radiologi./Alinea.id/Dwi Setiawan.

Lebih lanjut, Zainal mengatakan, dari segi kepakaran, pendidikan yang ditempuh seorang spesialis radiologi sekadar ilmu penunjang dalam layanan perawatan pasien.

“Persis seperti dokter patologi klinik atau ahli laboratorium, spesialis radiologi tidak pernah merawat pasien. Mereka bukan klinisi,” ujarnya.

Penerapan Permenkes 24/2020, kata Zainal, juga bisa berdampak pada persoalan hukum terkait tanggung jawab tindakan medis. Dokter spesialis bedah saraf di Rumah Sakit Telogorejo, Semarang itu mengatakan, bila dalam melakukan operasi ia melakukan kesalahan, maka pertanggung jawaban hukum sepenuhnya dialamatkan kepadanya. Mengacu pada Permenkes 24/2020, hal itu bisa berubah.

“Kalau diagnosis spesialis radiologi ternyata tidak tepat, lalu pasien dioperasi oleh dokter bedah dan tidak ditemukan perdarahan, maka siapa yang salah? Bisakah spesialis radiologi dituntut?” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid