sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Potensi masalah mengintai provinsi baru di Papua

Pemerintah sudah meresmikan provinsi baru di Papua, yakni Provinsi Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Sabtu, 19 Nov 2022 06:24 WIB
Potensi masalah mengintai provinsi baru di Papua

Pada 11 November 2022 di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meresmikan tiga daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.

Tito, seperti dikutip dari situs web setkab.go.id mengatakan, peresmian Provinsi Papua Selatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022, Papua Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022, dan Papua Pegunungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022.

Peresmian tersebut seiring dengan pengesahan tiga RUU DOB Papua oleh DPR pada akhir Juni lalu, dan ditetapkan pada 25 Juli 2022. Tito pun melantik tiga orang penjabat (Pj) gubernur, yaitu Apolo Safanpo sebagai Pj Gubernur Papua Selatan, Ribka Haluk sebagai Pj Gubernur Papua Tengah, dan Nikolaus Kondomo sebagai Pj Gubernur Papua Pegunungan.

Menyusul pada Kamis (17/11), dalam Rapat Paripurna DPR ke-10, disahkan RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya menjadi undang-undang.

Masalah yang bakal muncul

Sekjen Dewan Adat Papua (DAP) Leonard Imbiri mengatakan, sebelum DOB Papua diresmikan, pihaknya sudah memberikan catatan kepada pemerintah tentang persoalan yang mungkin terjadi usai pemekaran, seperti pertambahan penduduk akibat migrasi yang masif.

"Laju pertambahan penduduk yang masif itu dapat menyebabkan makin minoritasnya masyarakat adat di tanah Papua," ucapnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (18/11). "Migrasi yang cukup tinggi akan berdampak pada perampasan tanah dan kesempatan kerja bagi masyarakat Papua.”

Leonard pun berharap, pemerintah memprioritaskan orang asli Papua dalam kesempatan kerja, seperti pemenuhan kebutuhan PNS di provinsi baru. Hal lain yang disoroti adalah hak tanah bagi masyarakat adat di provinsi baru.

Sponsored

"Harus ada regulasi bahwa tanah tidak diperjualbelikan. Pemerintah boleh pakai tanah itu, tapi hak atas tanah tetap ada pada masyarakat adat," ucapnya.

Peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengatakan, pemekaran di Papua memang dibutuhkan. Kebijakan itu, sebutnya, bisa membuka lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur.

Namun, ia mengungkapkan, masih ada potensi masalah. Pangkalnya, tak sedikit masyarakat yang tinggal di daerah pemekaran, menolak kebijakan itu.

“Yang paling pokok adalah ibu kota provinsi mau dibangun di mana? Masalah melepas tanah adat, itu yang mungkin rawan,” ucapnya, Selasa (15/11).

Sebagai catatan, Provinsi Papua Selatan akan meliputi Marauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. Papua Tengah meliputi Nabire, Paniai, Mimika, Puncak Jaya, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Deiyai. Sedangkan Papua Pegunungan meliputi Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Memberamo Tengah, Yalimo, Lani Jaya, dan Nduga.

Acara peresmian dan pelantikan penjabat (Pj) gubernur tiga daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan yang berlangsung di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat (11/11/2022)./Foto YouTube Kemendagri RI

Ibu Kota Provinsi Papua Selatan akan ada di Marauke, Papua Tengah di Kabupaten Nabire, dan Papua Pegunungan di Kota Wamena.

Sementara Papua Barat Daya, yang dasar hukum pembentukannya baru disahkan DPR, akan meliputi Sorong, Sorong Selatan, Maybrat, Tambrauw, dan Raja Ampat. Ibu kota provinsinya sendiri di Kota Sorong.

Cahyo mengatakan, masalahnya batas-batas provinsi beririsan dengan batas-batas wilayah adat. Selain itu, pengisian jabatan, seperti kepala dinas pun dapat memicu perkara.

“Kemudian mengenai masalah pengisian anggota DPR (Papua) yang diangkat, juga mengenai MRP (Majelis Rakyat Papua) juga rawan (bermasalah),” ujarnya.

“Apakah MRP itu harus satu atau ada satu di setiap provinsi dan lain-lain? Masalah yang terkait adat istiadat dan budaya juga rawan.”

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Chrisian Warinussy mengatakan, masalah pemekaran sudah terjadi sejak perubahan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.

Pasal 76 UU 21/2001 menyatakan, pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Akan tetapi, ketentuan itu berubah usai mengalami revisi dan terbit UU Nomor 2 Tahun 2021, yang menyebut pemekaran tak hanya bisa dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP saja, tetapi juga dapat dilakukan pemerintah dan DPR.

“Justru kelihatan di situ, ada upaya menyiapkan satu rel untuk dimungkinkan adanya intervensi dari pemerintah pusat,” ujar Yan, Rabu (16/11).

Jika pemekaran diusulkan pemerintah pusat, lanjut Yan, akan muncul persoalan apakah sesuai dengan aspirasi rakyat Papua atau sebaliknya. Masalah terkait penjabat pun bakal muncul.

Menurut Yan, tiga penjabat gubernur yang dilantik Tito memang orang asli Papua. Namun, penjabat sekretaris daerah (Pj sekda) semuanya bukan orang asli Papua. Tiga Pj sekda merupakan pejabat di Kemendagri, yakni Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Valentinus Sudarjanto Sumitro sebagai Pj Sekda Provinsi Papua Tengah.

Kemudian Direktur Toponimi dan Batas Daerah Sugiarto sebagai Pj Sekda Provinsi Papua Selatan, dan Direktur Fasilitas Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Sumule Tumbo sebagai Pj Sekda Papua Pegunungan.

“Lagi-lagi, mereka semua di-drop dari Jakarta, bukan diusulkan, katakanlah provinsi induk misalnya,” ucapnya.

Lebih lanjut, Yan khawatir, pengisian jabatan oleh orang luar Papua memicu konflik horizontal di akar rumput. Masyarakat adat juga bakal terdampak batas provinsi baru. Ia menjelaskan, secara umum Bumi Cenderawasih dibagi atas tujuh wilayah adat.

“Dengan pemekaran (menjadi) tiga provinsi ini, saya kira itu sudah memporak-porandakan wilayah-wilayah adat,” tuturnya.

“Dan itu pasti akan menimbulkan banyak soal dari sisi akses terhadap sumber daya alam, pengelolaan tanah, dan lingkungan.”

Cahyo pun membenarkan, ada kesan masyarakat adat diabaikan dalam rencana pemekaran. Hal itu, katanya, akan berimbas pada batas-batas provinsi terkait wilayah adat. Misalnya Nabire. Berdasarkan peta wilayah adat dan budaya masa kolonial, Nabire masuk Saireri, tetapi sekarang masuk Mee Pago.

“Itu kan jadi ibu kota Mee Pago, padahal secara kultur Saireri. Berarti kan tidak dikaji lebih dulu,” katanya.

Tantangan lain

Peta daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan (kiri), Papua Tengah (tengah), dan Papua Pegunungan (kanan)./Foto YouTube Kemendagri RI

Cahyo menuturkan, kelompok yang masih menolak DOB Papua dan otsus perlu didekati pemerintah. Caranya, membuka ruang dialog dan melibatkan mereka dalam setiap proses pemekaran wilayah.

Di sisi lain, Yan menyarankan Pj gubernur dan pemerintah pusat melakukan pertemuan terbuka dengan pemerintah Provinsi Papua sebagai provinsi induk. Di samping itu, masyarakat adat, tokoh agama, kalangan sipil Papua, DPRP, dan MRP juga mesti diajak duduk bersama.

Dihubungi terpisah, akademikus Universitas Papua, Agus Irianto Sumule berpendapat, soal hukum adat tak akan menjadi potensi masalah, sepanjang tak dieksploitasi orang lain. Menurutnya, masyarakat adat Papua sudah bisa bekerja sama dengan baik, walaupun tak ada pemerintahan modern.

“Pemerintah harus memberikan ruang bagi kerja sama di dalam suku maupun lintas suku, walaupun ada batas-batas provinsi-provinsi baru,” katanya, Rabu (16/11).

Sedangkan mengenai pengisian jabatan Pj sekda dari orang luar Papua, Agus menyarankan seharusnya digunakan sistem lelang. Di Papua, jabatan setingkat eselon II tersebut, kata Agus, banyak. Hal itu, lanjutnya, bisa meminimalisir kecurigaan terhadap pemerintah pusat.

Selain berbagai masalah tadi, Agus memaparkan aneka tantangan yang bakal dihadapi pemerintah, usai peresmian DOB Papua. Ia memanfaatkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang disesuaikan dengan pembagian provinsi baru.

Agus menjelaskan, tingkat kemiskinan di Provinsi Papua, setelah pemekaran adalah 26,86%. Provinsi Papua Selatan 20,24%, Provinsi Papua Barat 21,84%, Provinsi Papua Tengah 32,25%, dan Provinsi Papua Pegunungan 35,46%.

“Kalau dulu ada dua provinsi termiskin di Indonesia, (yakni) Papua dan Papua Barat. Sekarang, lima provinsi termiskin di Indonesia ada di Papua,” ujarnya.

Persentase tersebut, tambah Agus, sangat jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan nasional, yang per Maret 2022 berada di angka 9,54%.

“Jadi sekarang, bagaimana caranya menurunkan paling tidak kurang di bawah 10% menjadi satu digit? Itu yang mestinya dipikirkan oleh ‘tuan-tuan’ di Jakarta dan DPR, sebelum mengambil kebijakan (pemekaran),” katanya.

Agus juga menghitung indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Papua setelah pemekaran, yang disebutnya 66,96. Jika ingin mencapai 79 sebagai batas atas IPM tinggi, maka Provinsi Papua butuh waktu 21,89 tahun.

“Di Papua Pegununungan, ada Kabupaten Deiyai, hari ini IPM-nya 49,96. Itu rendah. Laju pertumbuhan juga hanya 0,26%,” kata dia.

Belum lagi masalah pendidikan. Menurut Agus, total anak yang tidak sekolah di Provinsi Papua dan Papua Barat ada 620.000 orang. Setelah data BPS disesuaikan dengan wilayah pemekaran, kata Agus, rata-rata lama sekolah di Provinsi Papua adalah 6,76 atau setingkat SMP kelas 1.

“Provinsi Papua Selatan itu 7,28 berarti kelas 2 SMP, Papua Barat 7,69 berarti kelas 2 SMP, Papua Tengah 5,27 artinya tidak tamat SD, Papua Pegunungan 3,47 berarti baru kelas 3 SD,” tuturnya.

Infografik provinsi baru di Papua. Alinea.id/Firgie Saputra

Pembangunan sumber daya manusia lewat pendidikan dan kesehatan, menurutnya, perlu diutamakan. Anggaran bukan persoalan. Sebab, setelah ia hitung fiskal provinsi dan kabupaten di Papua untuk 2023 berdasarkan data Kementerian Keuangan, jumlahnya mencapai Rp63,3 triliun.

Tantangan aspek kesehatan, sebut Agus, salah satunya jumlah bidan yang kurang di setiap desa. Membangun sumber daya manusia birokrasi pun jadi tantangan. Terkait itu, ia menerangkan, total dana desa di Papua adalah Rp6,1 triliun.

Kata dia, di Papua ada kabupaten yang dapat dana desa mencapai Rp212 miliar. Di sana, rata-rata lama sekolah sama dengan rata-rata penduduk 25 tahun ke atas, yakni 1,42.

“Jadi tidak naik kelas 2 SD, tapi dikasih duit tiap tahun Rp200-an miliar. Itu uangnya ke mana?” ujarnya. “Itulah tantangan-tantangan nanti.”

Penelitian yang dilakukan Agus masih berlangsung. Bila sudah rampung, ia berencana bakal memberikan hasilnya kepada Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi dan Pj gubernur.

“Mudah-mudahan bisa dipakai Pj gubernur dan sekda yang semua sudah dilantik,” katanya.

Alinea.id sudah menghubungi Pj Sekda Provinsi Papua Tengah Valentinus Sudarjanto Sumito untuk menanyakan mitigasi pemerintah atas potensi masalah, komunikasi dengan orang asli Papua, serta prioritas di DOB Papua. Namun, ia belum menyanggupi permintaan wawancara. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Benni Irwan juga tidak merespons permintaan wawancara.

Berita Lainnya
×
tekid