sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Potret limbung penanganan Covid-19 di tingkat akar rumput

Peran RT/RW dan kelurahan dalam penanganan Covid-19, disebut sangat penting.

Kudus Purnomo Wahidin Robertus Rony Setiawan
Kudus Purnomo Wahidin | Robertus Rony Setiawan Rabu, 21 Okt 2020 16:08 WIB
Potret limbung penanganan Covid-19 di tingkat akar rumput

Duka mendalam masih dirasakan Zahra. Pekan lalu ibunya, Rohani, pergi untuk selama-lamanya akibat Covid-19. Perempuan berusia 32 tahun itu masih ingat betul beratnya hari-hari ketika mendampingi ibunya dirawat selama dua minggu di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng, Jakarta Barat.

Warga RT 04 RW 03, Kelurahan Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu mengisahkan, sebelum dirujuk ke RSUD Cengkareng, ibunya sempat mendapatkan perawatan di Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk.

Zahra dan kerabatnya yang tinggal serumah kemudian melakukan tes swab. Sembari menunggu hasil tes keluar, ia, suaminya, dan kakaknya melakukan isolasi mandiri. Beberapa hari kemudian, Zahra, suaminya, dan kakaknya dinyatakan positif Covid-19.

Kerja RT/RW

Pada April 2020 Pemprov DKI Jakarta sudah mengeluarkan “Pedoman RT/RW Siaga Pandemi Covid-19”. Di dalamnya tercantum peran RT, RW, dan kelurahan dalam menangani Covid-19 di lingkungannya.

Ada pula pengetahuan mengenai apa itu Covid-19, pedoman pendataan warga risiko tinggi, orang-orang yang rentan terjangkit, dan upaya pencegahan. Namun, praktik di lapangan sangat berbeda.

Zahra kecewa, pengurus RT/RW tempatnya tinggal tak cukup jelas melakukan penyuluhan ke tetangga terkait perlakuan yang baik, jika ada warga yang melakukan isolasi mandiri. Padahal, keluarganya membutuhkan dukungan moral.

Lurah Karet Tengsin, Jakarta Pusat M Hari Ananda mengantarkan bantuan sembako untuk warga yang melakukan isolasi mandiri./Foto Facebook Anies Baswedan.

Sponsored

Ia juga kecewa dengan Kelurahan Kedoya Selatan yang kurang memperhatikan kondisi keluarganya. Ia mengaku, harus mengurus perawatan dan isolasi mandiri, tanpa mendapat perhatian yang maksimal.

“Kelurahan tidak aktif memberikan arahan dan sosialisasi, seolah-olah masyarakat sudah tahu bagaimana prosedur dan apa tindakan yang harus diambil selanjutnya,” kata Zahra saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (19/10).

Ketua RW 03 sekaligus Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 RW 03, Jayadi berkilah, ia baru mengetahui kondisi Rohani beberapa hari setelah terinfeksi virus Corona. Ia mengatakan, menerima informasi itu dari tetangga, bukan keluarganya langsung.

“Seperti demam berdarah, kita enggak bisa tahu dia kenanya dari mana atau siapa. Sulit menelusuri kontak, apalagi kalau warga merahasiakannya,” tuturnya saat ditemui di kediamannya, Senin (19/10).

Jayadi mengungkapkan, informasi tentang warga yang positif Covid-19 biasanya berasal dari puskesmas. Dari sana ia berkoordinasi dengan kelurahan, terutama melakukan penyemprotan disinfektan di sekitar permukiman warga yang tertular.

Bila ada warganya yang terjangkit Covid-19, Jayadi mengatakan, pengurus RT/RW memastikan persediaan makanan berupa beras dan lauk secara bergotong-royong antarwarga.

“Bergantian per hari, masing-masing kepala keluarga setiap RT di RW 03 menyumbangkan sembako atau beras minimal sebanyak dua kilogram,” ujarnya.

Akan tetapi, pengakuan Zahra berbeda. Ia dan keluarganya harus mengurus sendiri kebutuhan makanan dan obat-obatan selama menjalani isolasi mandiri.

“Kami harus pergi keluar untuk membeli keperluan sendiri, padahal kami juga dilarang keluar rumah. Dilematis,” ucapnya.

Ia mengatakan, hanya menerima bantuan dari pengurus RW 03 berupa beras dan uang saku. Sewaktu menemani kakaknya ke rumah sakit, Zahra harus mempersiapkan sendiri obat-obatan dan keperluan lain. Ia tak menerima pendampingan dari tetangganya.

Sementara itu, potret berbeda tergambar dalam penanganan Covid-19 di Kelurahan Duri Pulo, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Di sini, koordinasi antarpengurus RW berjalan dengan baik.

Menurut Ketua RW 09 Kelurahan Duri Pulo, Azhari Muchlis, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di wilayahnya kerap berkoordinasi dengan para Ketua RW yang lokasinya berdekatan.

“Karena di sini permukiman padat ya, jadi kami kerja sama,” ucap Azhari ketika ditemui di rumahnya, Jalan Sinyar 8, Jakarta Pusat, Senin (19/10).

“Sampai sekarang, belum ada warga di RW ini yang terjangkit Covid-19.”

Ia menjelaskan, jika ada warga yang positif Covid-19 akan diberitahukan pihak Puskesmas Kecamatan Gambir. Dalam sepekan, kata dia, hanya seorang yang menjalani isolasi mandiri di rumah masing-masing. Mayoritas, hanya berstatus orang dalam pemantauan (ODP).

“Ketua RW dan RT mendukung fasilitasi warga yang perlu isolasi mandiri. Kami memanfaatkan stok sisa bansos untuk disalurkan kepada warga yang isolasi mandiri di rumah,” katanya.

“Dari bantuan sosial itu, ada banyak sisa karena beberapa warga yang mampu tidak mengambilnya.”

Meski mengetahui ada aturan pemasangan stiker di bagian depan rumah warga yang tengah menjalani isolasi mandiri—tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 980 Tahun 2020 tentang Prosedur Pengelolaan Isolasi Terkendali dalam Rangka Penanganan Covid-19—ia mengaku di lingkungannya tak diterapkan. Sebab, ia menilai, masih cukup banyak warga di lingkungannya yang risih bila mengetahui tetangga tertular Covid-19.

“Namanya warga kan sensitif. Kami merahasiakannya dari warga lainnya. Nanti kalau seseorang sudah sembuh atau sudah negatif hasil tesnya, baru diberitahukan ke warga yang lain,” tuturnya.

Sebagai informasi, berdasarkan data dari situs web corona.jakarta.go.id, per 30 September 2020 ada 26 RW yang masuk zona rawan atau zona merah penularan Covid-19 di wilayah DKI Jakarta. Selain itu, ada 2.199 RW dengan kasus positif aktif Covid-19 di Jakarta. Jakarta Pusat tercatat sebagai wilayah paling banyak memiliki jumlah RW zona merah. Tercatat, ada 11 RW di wilayah tersebut.

Juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, satgas yang ada di tingkat RT/RW merupakan perpanjangan tangan satgas nasional. Mereka berfungsi strategis untuk mencegah penularan di tingkat mikro.

“Satgas di tingkat RT/RW ini diawasi oleh pemda setempat, yaitu puskesmas sebagai unit fungsional di daerah tersebut,” kata Wiku saat dihubungi, Rabu (21/10).

Saat dikonfirmasi, Kepala bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktaviani mengaku, pihaknya baru memberikan porsi kepada masyarakat untuk aktif melaporkan bila ada warga di lingkungannya yang tertular virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

"Jika ada warga yang positif perlu diteruskan infonya ke gugus tugas setempat atau ke puskesmas,” kata dia saat dihubungi, Selasa (20/10).

“Agar dapat dipantau dan difasilitasi kebutuhan isolasi di tempat isolasi terkendali di flat isolasi Kemayoran atau hotel yang sudah ditentukan.”

Dwi mengatakan, untuk mencegah terjadinya transmisi lokal, Dinas Kesehatan DKI Jakarta secepat mungkin memastikan keadaan warga yang terindikasi tertular virus. Tujuannya, agar bisa dilakukan mitigasi sebelum menular ke orang lain.

“Supaya yang bersangkutan bisa dipantau dengan ketat perkembangan kondisinya. Sekaligus kepada keluarga atau kontak eratnya, bisa dilakukan tracing dan swab," ujarnya.

Ia menuturkan, bakal celaka bila seorang warga positif Covid-19 dibiarkan terlalu lama berada di lingkungannya karena berisiko menularkan ke warga lain. Ia tak memungkiri, peran RT/RW sangat dibutuhkan untuk mengendalikan persebaran virus di lingkungan mikro. Terutama mendorong kepatuhan warga menaati protokol kesehatan.

"Paling keren itu peran Gugus Covid-19 Kecamatan Senen, mereka keliling ke semua kelurahan. Sangat aktif mutar ke warga untuk galakkan pakai masker," ucapnya.

Rapuh di tingkat bawah

Dihubungi terpisah, Deputi bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bernardus Wisnu Widjaja menyadari kelemahan fungsi gugus tugas di akar rumput. Ia yang pernah terlibat dalam perencanaan konsep awal fungsi Gugus Tugas Covid-19 mengatakan, sedari awal mengusulkan koordinasi penanganan pandemi hingga ke tingkat lokal.

Salah satu kebijakan konkret yang ia usulkan ialah alokasi dana subsidi pulsa untuk pengurus RT/RW dan kelurahan selama enam bulan. Tujuannya, untuk membangun jejaring komunikasi yang mumpuni.

“Namun kelihatannya dari sisi Kementerian Keuangan belum melihat betapa urgennya kebijakan itu,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (20/10).

“Padahal, kalau bisa berkoordinasi sampai di tingkat bawah, jalur komando bisa ideal dari pusat sampai ke RT/RW, informasi bisa timbal-balik.”

 Sosialisasi tentang Covid-19 oleh Lurah Kedoya Selatan di wilayah RW03, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat./Foto dokumentasi RW 03 Kedoya Selatan.

Meski begitu, ia sangat berharap peran gugus tugas tingkat lokal bisa lebih maksimal. Terutama dengan memperkuat jaringan komunikasi antarpengurus.

“Kalau di lokal bisa ditangani, bencana enggak akan menjadi besar,” tuturnya.

Wisnu menekankan peran Gugus Tugas Covid-19 RT/RW perlu didasari partisipasi aktif dan kerelaan untuk saling membantu. Penguatan komunikasi dan koordinasi, kata dia, bisa dilakukan seminggu sekali dari RT/RW hingga kelurahan. Jika strategi ini diikuti, Wisnu yakin pelacakan dan penelusuran bisa dilakukan dengan mudah.

Wisnu mencontohkan keberhasilan pemberdayaan warga di Jawa Tengah, dengan model jogo tonggo (menjaga tetangga). Model tersebut bisa ditiru di kota-kota lain.

“Dengan menerapkan praktik jogo tonggo, pendataan kondisi kesehatan setiap warga dapat diketahui dan diberikan penanganan secara lebih dini,” kata dia.

Sementara itu, epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai, keterlibatan RT/RW untuk mengendalikan persebaran virus di tataran bawah belum optimal dilakukan pemerintah. Hal itu bisa dilihat dari masih adanya pengurus RT/RW yang tak peduli jika ada warganya positif Covid-19.

“Padahal, bila ada orang yang positif, itu peran yang paling awal mestinya di tingkatan lingkungan keluarga RT/RW,” ujarnya saat dihubungi, Senin (19/10).

Hermawan mengatakan, pemberdayaan komponen lingkungan kelurahan dan RT/RW bisa dilakukan maksimal. Sebab, banyak tenaga lengkap untuk penanganan Covid-19, seperti tenaga kesehatan, Bintara Pembina Desa (Babinsa), dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas).

"Ada tokoh masyarakat, ada tokoh agama. Jadi semua stakeholder itu bisa bahu membahu. Kalau alasan tidak bisa, itu tidak tepat," ucapnya.

"Infrastrukturnya itu ada, hanya saja tidak diberdayakan."

Hermawan memandang, praktik pemberdayaan RT/RW dan kelurahan bisa dilakukan untuk menangani pasien Covid-19 yang tengah isolasi mandiri. Pemerintahan di akar rumput itu, kata dia, bisa dimaksimalkan untuk menghilangkan stigma.

“Agar tidak ada orang yang dikucilkan hanya karena terkategori orang terpapar atau positif Covid-19," ujarnya.

Lingkungan di tingkat mikro tersebut juga bisa diberdayakan untuk menyediakan tempat isolasi mandiri bagi pasien Covid-19 yang tanpa gejala atau bergejala ringan. Tujuannya, selain tidak menularkan ke warga lainnya, juga tidak membebani fasilitas kesehatan pemerintah.

“Bilamana ada warganya yang positif, maka disediakan minimal satu atau dua rumah oleh RT/RW, yang disediakan secara kolektif untuk isolasi mandiri,” katanya.

“Dipenuhi juga kebutuhannya selama isolasi dari warga lain.”

Infografik penanganan Covid-19. Alinea.id/Oky Diaz.

Ia pun mengatakan, mestinya pemerintah bersikap realistis bahwa fasilitas kesehatan tak akan mampu menampung seluruh pasien Covid-19. “Ini yang harus dilakukan dan tidak bisa lagi mengandalkan instrumen pemerintah yang terbatas," ujarnya.

Di samping itu, warga pun diimbau untuk aktif melaporkan dan berkoordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19 setempat, jika ada warga yang berisiko terpapar akibat kontak langsung dengan penderita Covid-19.

"Nah, ini kan luar biasa kalau dipopulerkan," ucap Hermawan.

Hermawan pun mengingatkan, pengurus RT/RW harus aktif berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat, jika ditemukan warga yang positif dengan gejala berat. "Agar dapat langsung dijemput dan tertangani secara cepat dan baik," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid