sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rivalitas panjang suporter sepak bola Indonesia vs Malaysia

"Ganyang Malaysia" yang diserukan Bung Karno pada 1960-an kerap didengungkan suporter sepak bola Indonesia saat melawan Malaysia.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 29 Nov 2019 17:46 WIB
Rivalitas panjang suporter sepak bola Indonesia vs Malaysia

Rivalitas sepak bola antara Indonesia dengan Malaysia tak hanya terjadi di lapangan. Suporter kedua tim nasional pun kerap bentrok.

Teranyar, terjadi gesekan antara pendukung tim nasional Indonesia dan Malaysia, sebelum dan setelah laga lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2022 di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia pada 19 November 2019.

Video pengeroyokan suporter timnas Indonesia beredar di media sosial. Beberapa hari lalu, dua orang yang dianiaya di dalam video tersebut, Fuad Naji dan Yovan Restu, memberi kesaksian. Menurutnya, kejadian itu berlangsung di kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur.

Menurut Yovan, ketika mereka memesan taksi online, keduanya diadang belasan suporter Malaysia. Lantas, keduanya dipukuli.

Usai laga yang dimenangkan timnas sepak bola Malaysia dua gol tanpa balas itu, bentrok pun pecah. Buntutnya, 41 fan ditahan, 14 di antaranya suporter Indonesia.

Kericuhan antarsuporter juga terjadi pada 5 September 2019 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Di laga yang dimenangkan Malaysia 3-2 itu, bentrok dipicu lemparan botol hingga bom asap suporter Indonesia ke tribun yang diisi pendukung Malaysia.

Pertandingan sempat berhenti beberapa menit di pertengahan babak kedua. Suporter Malaysia pun sempat tak bisa keluar dari stadion usai pertandingan.

Di laga pertama final Piala AFF 2010 di Bukit Jalil, skuat Garuda diteror dengan sorotan laser dari suporter tuan rumah. Indonesia kalah 3-0. Di laga kedua, gantian serangan serupa ditujukan ke para pemain Malaysia. Indonesia menang 2-1 saat itu.

Sponsored

Di ajang Piala AFF 2012 bentrok juga terjadi. Saat itu, di luar Stadion Bukit Jalil, pendukung timnas Indonesia diserang. Di dalam stadion, aksi saling lempar terjadi.

Perang dingin suporter

Pesepak bola timnas Indonesia Rudolof Yanto Basna (bawah) berebut bola dengan pesepak bola Timnas Malaysia Mohamadou Sumareh (tengah) saat pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2022 Grup G Zona Asia di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (19/11). /Antara Foto.

Penangkapan dan pemukulan suporter Indonesia di Malaysia pun memancing reaksi suporter sepak bola nasional. Tagar GanyangMalaysia sempat menjadi trending di Twitter.

Salah seorang suporter, Fahrezi Mahendra, mengungkapkan kekesalan dengan menyematkan #GanyangMalaysia, setiap merespons komentar pendukung sepak bola Malaysia di dunia maya.

“Pengeroyokan belum lama ini terjadi itu juga faktor mengapa suporter Indonesia sangat membenci suporter Malaysia,” ujar Fahrezi saat dihubungi Alinea.id, Kamis (28/11).

Sementara salah seorang pengelola grup Facebook Sepak Bola Indonesia, Rama, mengatakan bahwa suporter Indonesia dan Malaysia sering ribut karena serumpun. Sehingga, banyak hal di luar sepak bola ikut-ikutan dibawa.

“Rivalitas tidak terhindarkan. (Pelaku kerusuhan) hanya oknum. Seperti fanspage pada Facebook yang suka mengompori hal-hal remeh, yang mengatasnamakan suporter,” ucap Rama ketika dihubungi, Kamis (28/11).

Kisah berbeda diungkap suporter Malaysia. Siti Khalifah binti Kad Rusman, yang menonton pertandingan Indonesia versus Malaysia di Stadion Bukit Jalil pada 19 November 2019 mengaku bukan pendukung yang fanatik.

Siti termasuk salah seorang pendukung yang lahir dari orang tua negara berbeda. Ayahnya berasal dari Indonesia, sedangkan ibunya orang Malaysia. Sang ayah mendukung Indonesia. Namun, kalah-menang, persoalan biasa.

“Siapa menang, move on life macam biasa (siapa yang menang, lanjutkan hidup seperti biasa). Menang kalah adat bermain (menang-kalah hal yang biasa), tapi kalau obsess tuh bahaya la karena boleh jadi gaduh (tetapi kalau terobsesi dengan itu bisa berbahaya),” kata Siti saat dihubungi, Rabu (27/11).

Suporter Malaysia lainnya, Amirul Asana, yakin hanya sebagian saja pendukung timnas negaranya yang menyimpan tendensi kebencian. Terutama mereka yang pernah menjadi korban pelemparan suar, botol berisi air seni, dan lain-lain. Ia pun percaya, tak semua suporter Indonesia berperilaku buruk.

“Kami rapat (akrab)," ujar Amirul, menceritakan hubungan orang Malaysia dan Indonesia di Negeri Jiran, saat dihubungi, Kamis (28/11).

Pendapat lain dikemukakan suporter Malaysia, Raymond. Ia mengklaim, suporter Indonesia yang menyulut permusuhan terlebih dahulu.

Saat bertandang ke Stadion Gelora Bung Karno, kata dia, pendukung timnas Indonesia ada yang melempar batu dan botol berisi air seni. Bahkan, ada juga yang merusak kursi Stadion Bukit Jalil.

“Keburukan suporter Indonesia itu boleh tengok ke (bisa dilihat di) Youtube,” ujar Raymond saat dihubungi, Kamis (28/11).

Namun, ia tidak menganggap suporter Indonesia sebagai musuh, tetapi saudara serumpun. “Berdamailah kawan. Jangan disebabkan bola kita berperang,” ucapnya.

Ketika Alinea.id meminta konfirmasi terkait insiden di Malaysia, pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tak ada yang berkomentar.

Merespons kejadian yang menimpa suporter Indonesia di Malaysia, jurnalis olahraga senior Budiarto Shambazy mengatakan, kasus tersebut menunjukkan gejala serius, yang membuat hubungan sepak bola negara serumpun semakin rumit.

Menurut dia, PSSI dan Kemenpora harus melakukan tindakan pencegahan dan penindakan, bukan hanya sekadar minta maaf.

“Harus tegas, kalau tidak, kita kena denda melulu,” ujar Budiarto saat dihubungi, Kamis (28/11).

Sepak bola dan politik

Sejumlah suporter sepak bola dari berbagai elemen berunjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Senin (25/11). /Antara Foto.

Duel negara serumpun sudah berlangsung sejak 1957. Kali pertama bersua, Indonesia mampu menang 4-2 atas tuan rumah Malaysia di Merdeka Tournament. Sepanjang 97 laga, Indonesia mengemas 39 kemenangan, 37 kesalahan, dan 21 berakhir imbang.

Menurut Marshall Clark di dalam tulisannya “The Politics of Heritage” di buku Indonesia and the Malay World (2013), pasang-surut hubungan Indonesia dan Malaysia tergantung situasi poitik, yang memengaruhi iklim demokrasi dan media massa.

“Ganyang Malaysia” yang diserukan Presiden Soekarno pada 23 September 1963 di Yogyakarta, menjadi sebuah istilah yang populer hingga kini. Termasuk saat Indonesia berhadapan dengan Malaysia di lapangan hijau.

Saat itu, terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia. Indonesia menolak pembentukan Federasi Malaysia, yang terdiri dari Malaya, Brunei, Sabah, dan Sarawak lantaran dianggap sebuah persekongkolan kolonialis, yang membahayakan Indonesia.

Menurut Pramoedya Ananta Toer di dalam pengantar buku The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965 (1998) karya Greg Poulgrain, konfrontasi tersebut adalah usaha membantu gerakan perjuangan antikolonialisme.

Konfrontasi yang berlangsung pada 1962-1966 itu lalu menular ke lapangan. Tim Garuda seolah semangatnya terpantik, dengan pidato Soekarno “Ganyang Malaysia” saat berlaga melawan Tim Harimau Malaya.

Setelah Soekarno jatuh, pers Malaysia menggambarkan suksesornya, Soeharto sebagai antitesis kepribadian Bung Karno. Stabilitas rezim Orde Baru membawa semangat baru persaudaraan, dalam suasana diplomatik dengan negara tetangga. Soeharto menggunakan warisan budaya bersama, dalam mengelola ketegangan politik.

Budiarto mengungkapkan, sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an, hubungan Indonesia dengan Malaysia selayaknya saudara. Meski, rivalitas timnas sepak bola Indonesia-Malaysia memanas kembali sejak SEA Games 1979.

Saat itu, kata dia, nyaris tidak ada suporter Malaysia yang menyaksikan pertandingan di stadion Gelora Bung Karno. Sebaliknya, nyaris suporter Indonesia tidak kelihatan menyaksikan pertandingan di Stadion Bukit Jalil. Sementara penonton sepak bola yang kini memadati Stadion Bukit Jalil, Budiarto melihat sebagai fenomena baru.

“Setelah TKI (tenaga kerja Indonesia) kita banyak di Malaysia. Dulu, kalau pun ada, hanya segelintir. Tidak terorganisir dan tidak secara khusus mendukung timnas masing-masing,” ujar Budiarto.

Budiarto mengatakan, akar konflik suporter Indonesia-Malaysia kentara setelah beberapa politikus Indonesia berkampanye politik di Stadion Bukit Jalil pada gelaran Piala AFF 2010. Ketika itu, sepak bola dan suporter dikurung menjadi alat politik.

“Saya ingat betul, saat Indonesia kalah 3-0 itu, ada poster-poster raksasa politisi yang mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia, besar sekali. Nah, sejak itulah terjadi persaingan antarsuporter karena suporter Malaysia juga mulai berdatangan ke sini,” ujar Budiarto.

Sejumlah suporter PSIS Semarang, Panser Biru membentangkan spanduk solidaritas pembebasan pendukung Timnas Indonesia saat pertandingan lanjutan Liga 1 di Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (22/11). /Antara Foto.

Marshall menulis, ketika Malaysia berhasil memenangkan pertandingan Piala AFF 2010, Perdana Menteri Najib Razak menyatakan 31 Desember 2010 sebagai hari libur nasional.

Setelah itu, hubungan suporter Indonesia-Malaysia makin renggang. Rivalitas memanas di SEA Games 2011, yang digelar di Jakarta dan Palembang.

Marshall menulis, ada dua alasan mengapa bagi kebanyakan orang Malaysia, SEA Games 2011 sangat mengesankan. Pertama, mengerasnya anti-Malaysia yang ditunjukkan para pejabat dan kebanyakan orang Indonesia.

Kedua, Malaysia memenangkan medali emas, usai mengalahkan tuan rumah, Indonesia. Kala itu, dalam pertandingan yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno, Tim Merah-Putih kalah adu penalti 4-5. Sentimen makin memanas karena masalah hubungan politik kedua negara dibawa-bawa ke lapangan.

Menurut Marshall, selama dekade abad ke-21, beberapa masalah serius merenggangkan hubungan Indonesia-Malaysia. Perselisihan batas laut, klaim warisan budaya, dampak asap kebakaran hutan, perlakuan buruk TKI, hingga persepsi Indonesia “sepupu” miskin menjadi penyebabnya.

“Berbagai pertandingan olahraga diwarnai dengan maraknya semangat anti-Malaysia,” tulis Marshall.

Budiato menganggap, pertemuan Indonesia dengan Malaysia di final SEA Games 2011 layaknya perang saudara.

“Sekitar tahun 2010-2011, menjadi momentum yang kebetulan saja (mencuat anti-Malaysia). Iya itu (masalah TKI dan klaim warisan budaya) faktornya. Kita saudara besar. Kita kakak, mereka adik, unsur itu ada,” ujar Budiarto.

Arief Natakusumah di dalam buku Drama itu Bernama Sepak Bola (2008) menulis, tak ada pemain Malaysia yang merumput di Liga Indonesia—selain Safee Sali yang bermain untuk Pelita Jaya pada 2010 dan Arema Cronus pada 2012-2013.

“Mungkin karena sangat takut disebut bangsa budak, dari dulu hingga kini jarang ada yang mau pemain bola Malaysia tampil di Liga Indonesia,” tulis Arief.

Sedangkan pemain sepak bola Indonesia sudah banyak yang bermain di klub-klub sepak bola Malaysia. Pada 1980-an, ada Ristomoyo Kassim yang bermain untuk Selangor FA dan Robby Darwis untuk Kelantan FC.

Lalu diikuti generasi Bambang Pamungkas dan Ellie Aiboy yang bermain di Selangor FA. Kemudian, era Evan Dimas dan Ilham Udin Armaiyn yang bermain di Selangor FA dan Andik Vermansah yang pernah merumput bersama Selangor FA dan Kedah. Terakhir ada nama Saddil Ramdani yang bermain untuk Pahang FA.

Infografik. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Terlepas dari perseteruan suporter Indonesia-Malaysia, Arief mengungkap, orang Malaysia pernah menyampaikan kritik yang menohok untuk sepak bola Indonesia.

Merujuk buku The Killers: Ayam Jantan Berkokok Lagi, ia menyebut, ada anekdot tentang bingungnya orang Malaysia terhadap orang Indonesia yang menyebut sepak bola, sedangkan orang Malaysia menyebut sepak bola dengan bola sepak.

“Jika merunut kata asalnya dari football, maka Malaysia menganggap lebih benar. Jika istilah yang dipakai sepak bola, berarti bola yang aktif menyepak pemain. Mereka beranggapan yang betul adalah bola sepak karena itu berarti si pemain yang aktif menendang bola,” tulis Arief.

Menteri Kehakiman zaman Orde Baru, Ismail Saleh, pun pernah mengemukakan hal itu. Menurut Arief, Ismail pernah berujar, kita sebaiknya memang memakai istilah Malaysia yang menyebut sepak bola dengan bola sepak.

“Kalau sepak bola, bola yang menyepak pemain. Tapi kalau bola sepak, pemain menyepak bola. Jadi istilah Malaysia itu benar!” kata Ismail, seperti dikutip dari buku karya Arief.

Mungkin karena istilah itu kita kalah melulu.

Berita Lainnya
×
tekid