sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

RUU Ketahanan Keluarga: Tandingan RUU PKS, mendegradasi peran perempuan

RUU Ketahanan Keluarga menuai kritik karena dianggap terlalu ikut campur ranah privat.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 27 Feb 2020 17:50 WIB
RUU Ketahanan Keluarga: Tandingan RUU PKS, mendegradasi peran perempuan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. Draf RUU Ketahanan Keluarga diinisiasi Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari fraksi Golkar, Ali Taher dari fraksi PAN, dan Sodik Mudjahid dari fraksi Gerindra.

Berdasarkan keterangan tertulis dari para pengusung, tujuan RUU Ketahanan Keluarga didasarkan fakta empiris terkait kerentanan keluarga Indonesia, seperti angka kematian ibu yang masih tinggi dan tempat tinggal tidak layak huni, meningkatnya angka perceraian, penggunaan narkoba, kasus pornografi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kejahatan seksual, penyimpangan seksual, serta penelantaran anggota keluarga.

Akan tetapi, RUU ini menuai kritik karena dianggap terlalu ikut campur ranah privat. Salah satu yang disoroti adalah Pasal 25, yang dianggap diskriminasi gender dan mengabaikan peran penting perempuan di dalam keluarga.

Di dalam pasal itu diatur soal peran suami yang berwenang menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga, sedangkan istri sekadar mengurus perkara domestik, seperti memperlakukan suami dan anak dengan baik, memenuhi hak-hak suami dan anak, serta mengatur urusan rumah tangga.

Pertarungan politik di parlemen

Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya, pihaknya akan mengadakan rapat untuk menentukan kelanjutan RUU Ketahanan Keluarga. Setelah pemaparan dari para pengusul, RUU ini akan melewati proses harmonisasi. Sebelum pembentukan panitia kerja (panja), semua fraksi akan diundang untuk memberi catatan kritis.

”Jadi, ini masih tahap paling awal,” ujar Willy saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (25/2).

Keberlanjutan RUU ini, kata Willy, akan diputuskan melalui beberapa opsi, mulai dari perbaikan substansi, tidak lagi diprioritaskan, atau digabung dengan RUU lainnya yang dianggap punya kemiripan.

Sponsored

Fraksi NasDem sendiri, sebut Willy, menolak RUU Ketahanan Keluarga. “Karena tidak memperhatikan hak-hak perempuan,” tuturnya.

Suasana Rapat Paripurna keenam masa persidangan I Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Foto Antara/Puspa Perwitasari.

Anggota komisi VIII dari fraksi PDI-P Diah Pitaloka mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga merupakan bagian dari pertarungan politik antara kekuatan konservatif dan progresif.

Maka, Diah mengingatkan pentingnya perwakilan perempuan progresif di parlemen agar dapat menangkal kekuatan konservatif, yang menurutnya, ingin meruntuhkan perjuangan hak perempuan Indonesia. Menurutnya, kesadaran publik juga diperlukan untuk mengantisipasi narasi yang menguatkan posisi konservatif di parlemen.

Diah menyebut, RUU Ketahanan Keluarga tidak relevan dengan konsepsi gender dan negara. Beleid itu, kata dia, ketinggalan zaman dan bertentangan dengan semangat kemajuan dialektika nilai perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan, konstruksi identitas, hingga keadilan sosial-ekonomi.

Reporter Alinea.id berusaha menghubungi para pengusung RUU Ketahanan Keluarga tetapi mereka enggan berkomentar. “Maaf, tanya ke anggota yang lain dulu, ya,” kata Sodik Mudjahid saat dihubungi, Selasa (25/1).

Menandingi RUU PKS

Di sisi lain, Diah mengaku, salah seorang pengusung RUU Ketahanan Keluarga dari fraksi PAN, Ali Taher, kerap berusaha mengganjal pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

“Kita babak belur juga saat pembahasan RUU PKS karena minoritas juga di komisi VIII. Dan sekarang berbalik arus,” ujar Diah dalam diskusi bertajuk “Menolak Diskriminasi Gender dan Kekerasan Sistemik terhadap Perempuan dalam RUU Ketahanan Keluarga” Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).

Senada dengan Diah, Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi mengungkapkan, RUU Ketahanan Keluarga seolah-olah ingin menggeser RUU PKS yang tak kunjung disahkan.

“Saya melihat, secara politik karena para pengusul pun sebenarnya me-mention isu kekerasan seksual yang tinggi. Nah, mereka melihat bahwa yang kurang adalah bagaimana keluarga ini diatur,” ucapnya saat dihubungi, Selasa (25/2).

Mutiara mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga tak perlu disahkan, tetapi RUU PKS harus diterbitkan. Alasannya, RUU PKS lahir dari proses panjang yang bertumpu dari berbagai pola kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Ia mempertanyakan, RUU Ketahanan Keluarga yang tidak menyebutkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, terutama di lingkungan keluarga.

“Jadi, alasan saja (isu kekerasan seksual), sebetulnya tidak tercermin dalam isi RUU Ketahanan Keluarga,” ujar Mutiara.

Ia menerangkan, RUU PKS sangat peka dengan relasi kuasa. Artinya, semangat RUU PKS tidak menyalahkan status, pekerjaan, pakaian, atau perilaku korban. Namun, lebih mengangkat relasi kuasa sebagai akar persoalannya.

Aktivis yang tergabung dalam Gerak Perempuan menggelar aksi damai di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (10/2/2020). Foto Antara/Sigid Kurniawan.

“Ini tidak ada di RUU Ketahanan Keluarga,” tutur Mutiara.

Sementara itu, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi mengatakan, RUU PKS diusulkan untuk menjamin perlindungan bagi perempuan, anak perempuan, serta kelompok rentan di dalam keluarga dari berbagai bentuk kekerasan.

Ia pun menyebut, RUU PKS berupaya mengakomodir aturan yang berpihak kepada korban. Di samping itu, RUU PKS berusaha memenuhi akses keadilan untuk korban dengan memberikan jaminan agar hak-hak korban mendapatkan pelayanan, tanpa harus menjadi korban lagi.

RUU PKS, kata dia, juga mewajibkan negara untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual secara komprehensif. Misalnya, dunia usaha punya standar operasional prosedur pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban melalui infrastruktur yang aman.

Sedangkan permasalahan yang diangkat dalam RUU Ketahanan Keluarga yang dijelaskan dalam naskah akademik, menurutnya, hadir akibat lemahnya implementasi hukum dan kebijakan lain yang telah ada.

“Jadi, tidak perlu diatur kembali apakah RUU Ketahanan Keluarga dapat melindungi perempuan dari kekerasan dan diskriminasi atau malah sebaliknya,” ucapnya.

Melemahkan posisi perempuan

Mutiara melihat, RUU Ketahanan Keluarga seakan-akan ingin menguatkan kontrol atas tubuh perempuan. Ia memandang, Pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga berpotensi menebalkan stigma perempuan yang tak becus mengurus suami dan keluarga.

Ia menilai, RUU Ketahanan Keluarga dibentuk atas landasan pola pikir bahwa perempuan adalah sumber masalah. Maka, perempuan harus dikontrol dan perannya dikukuhkan sebagai pengurus rumah tangga.

Menurut Mutiara, RUU Ketahanan Keluarga bukan hanya mengisolasi perempuan di ruang domestik, tetapi juga melahirkan relasi yang timpang karena ruang domestik erat kaitannya dengan kepatuhan dan pengabdian.

“(RUU Ketahanan Keluarga) ini tidak mengatasi persoalan yang saat ini ada, tetapi hanya mengidealisasikan,” ujar Mutiara.

Orientasi RUU Ketahanan Keluarga lebih pada membentuk citra perempuan ideal dalam sebuah keluarga, daripada memberdayakan perempuan untuk kesejahteraan keluarga.

Lebih lanjut, ia mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga malah menebalkan stigma perceraian. RUU ini turut pula menebalkan stigma perempuan berstatus janda.

Siti menegaskan, RUU ini bisa melanggengkan ketidakadilan gender. Pembakuan peran lelaki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan mengurus rumah tangga adalah bentuk diskriminasi.

Pembakuan peran ini, ujar Siti, juga menyebabkan perempuan tidak dianggap penting dalam pengambilan keputusan di keluarga. Ketidakadilan gender ini, menurut Siti, ikut pula menyebabkan perempuan lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga karena memiliki ketergantungan terhadap suami.

RUU Ketahanan Keluarga, sebut Siti, bisa menebalkan stereotip bahwa istri sebagai pihak yang bertanggung jawab, jika terjadi perceraian karena dinilai tak mampu mengurus rumah tangga. Bahkan, memberi beban ganda bagi perempuan yang mencari nafkah.

“Sementara suami tidak dituntut mengerjakan urusan rumah tangga,” ujar Siti.

Belum lagi, RUU ini seolah menyeragamkan keluarga di Indonesia. Padahal, kata Siti, secara sosiologis keluarga di Indonesia bisa jadi hanya terdiri dari orang tua tunggal—ayah atau ibu, anak dengan nenek, anak dengan bibi, saudara perempuan dengan saudara lelaki, bibi dan keponakan, atau teman dengan teman.

“RUU ini akan semakin membangun label negatif terhadap keluarga single parent atau bentuk lainnya karena dinilai ‘tidak normal’ atau ‘gagal’ membangun keluarga atau broken home, dan hal ini memberatkan untuk mereka,” ucapnya.

Infografik RUU Ketahanan Keluarga. Alinea.id/Oky Diaz.

Sementara guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto memandang, secara keseluruhan RUU ini tumpang tindih dan melampaui kewenangan aturan hukum terkait kesetaraan gender.

“Bahkan, RUU Ketahanan Keluarga bisa mengambil alih wewenang pengadilan dalam kasus ayah bercerai dan tetap harus menafkahi anaknya,” kata Sulistyowati dalam diskusi di Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).

Ia menyebut RUU Ketahanan Keluarga, tidak memiliki konsep dasar, kecuali untuk membatasi. RUU ini pun tidak memenuhi syarat sosiologis karena mengabaikan fakta dan realitas sosial terkait perempuan Indonesia sebagai tulang punggung keluarga, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal.

RUU Ketahanan Keluarga, kata dia, juga terlalu banyak mengurus ranah etika yang pertanggung jawabannya kepada masyarakat dan Tuhan. Menurutnya, etika lebih tinggi daripada hukum, maka tidak ada ancaman pidana dan sanksi sosial.

“Jadi, tidak bisa etika dibuatkan hukum tertulis,” ujar Sulistyowati.

Berita Lainnya
×
tekid