sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat warga masih lebih percaya empon-empon ketimbang vaksin

Di DKI Jakarta, warga yang menolak divaksinasi bakal kena denda hingga Rp5 juta.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 06 Des 2020 17:59 WIB
Saat warga masih lebih percaya empon-empon ketimbang vaksin

Melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/9860/2020 per tanggal 3 Desember 2020, pemerintah resmi menetapkan enam jenis vaksin yang bakal digunakan menangkal virus Sars-Cov-2 penyebab Covid-19. Selain yang dibikin PT Biofarma, imunisasi warga bakal menggunakan vaksin AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Pfizer Inc. and Biontech, dan Sinovac. 

Setelah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), vaksin bakal mulai diproduksi dan didistribusikan pada Desember 2020 dan Januari 2021. Untuk tahap awal, sebanyak 75 juta vaksin bakal didistribusikan. 

Rencana imunisasi massal itu sejatinya menggembirakan bagi sebagian besar warga Indonesia yang selama ini berharap pandemi bakal usai. Namun, tidak bagi Nugroho, 33 tahun. Kepada Alinea.id, ia menyatakan tak bakal bersedia divaksinasi. 

"Saya mending obat-obat alamiah saja, banyak minum ramuan herbal seperti empon-empon, minum jamu. Menurut saya, itu jauh lebih bagus untuk meningkatkan imun tubuh kita ketimbang vaksin. Vaksin bukan obat mujarab," ujarnya saat dihubungi, Kamis (3/12).

Sepanjang pandemi, Nugroho dan istri sudah tiga kali menjalani rapid test untuk berbagai keperluan. Istrinya bahkan pernah sekali menjalani tes swab atau tes usap. Hingga kini, keduanya negatif Covid-19.

Dengan bangga, ia menyatakan, "prestasi" itu tak lepas dari rutinitas mereka mengonsumsi obat-obatan herbal. "Memang kami biasain minum jahe. Ya, paling enggak sehari sekali, itu penting. Terbukti aman," kata dia. 

Terlepas dari kepercayaannya terhadap kemampuan obat herbal, Nugroho juga punya alasan lain kenapa dia menolak vaksin. Dengan lancar, ia menuturkan polemik dugaan adanya kepentingan bisnis besar pada pengadaan vaksin flu burung pada 2007 silam.

"Mantan Menkes Fadilah Supari saja sudah mengungkap masalah di virus flu burung tahun 2007. Sangat jelas ada sisi bisnis di balik pandemi. Pada Covid-19 ini, yang jelas diuntungkan adalah perusahaan-perusahaan farmasi dunia. Jadi, seharusnya pemerintah tidak terjebak pada vaksin," kata pekerja swasta di Jakarta itu. 

Sponsored

Di ibu kota, orang-orang yang menolak vaksinasi seperti Nugroho sebenarnya tak bisa "hidup tenang". Pasalnya, DPRD dan Pemprov DKI telah menyepakati Perda Penanggulangan Covid-19. Salah satu isi perda ialah sanksi hingga Rp5 juta bagi mereka yang menolak divaksin. 

Nugroho menyebut sanksi denda dalam perda itu berlebihan alias lebay. Pemberlakuan perda itu, kata dia, hanya kian menegaskan adanya kepentingan bisnis besar di balik rencana vaksinasi massal. Terlebih, jika vaksin untuk imunisasi tidak gratis. 

"Jadi, lewat peraturan ini supaya orang-orang wajib (disuntik vaksin) dan yang enggak, didenda. Padahal, masih ada obat alternatif. Untuk apa orang sampai dipaksa untuk divaksin dan ada sanksi denda Rp5 juta. Saya lebih percaya obat herbal," tegas dia. 

 

Di jagat maya, sejumlah warganet juga menyuarakan penolakan terhadap rencana vaksinasi massal. Selain akun-akun pribadi, beragam akun baru juga muncul mengampanyekan penolakan terhadap vaksin selama pandemi. Salah satunya akun Instagram @antivaksin. 

Kepada Alinea.id, pemilik akun @antivaksin mengatakan, pandemi Covid-19 sengaja diciptakan. Tujuan utamanya ialah menyebarluaskan ketakutan dan mencari untung lewat bisnis vaksin. 

"Ada yang menebar paku, tapi tukang tambalnya sudah disiapkan di depannya. Ini sama halnya Covid-19. Kedua, manusia punya hormon di dalam tubuh yang bisa melawan virus seganas apa pun," ujar sang pemilik akun yang tak mau identitas pribadinya disebut itu. 

Lebih jauh, ia menuturkan, pandemi merupakan hal yang biasa terjadi. Manusia, kata dia, sudah sejak lama hidup berdampingan dengan jutaan virus dan bakteri. 

"Adanya sekarang itu propaganda ketakutan. Covid-19 ini seakan-akan ada malaikat Izroil. Padahal, enggak. Terakhir, ada banyak kejanggalan yang meninggal karena Covid-19. Padahal, belum ada audit," ujarnya tanpa merinci.

Seperti Nugroho, ia mengatakan tidak akan ikut divaksinasi. Ia juga menolak rencana denda Rp5 juta bagi mereka yang tak mau divaksinasi. "Menolak jelas. Paksaan itu melanggar HAM (hak asasi manusia)," kata dia. 

Keraguan publik terhadap proses vaksinasi memang masih cukup besar di Indonesia. Survei terakhir yang dirilis Kemenkes pada November lalu mencatat baru 64,8% responden yang menyatakan bersedia divaksinasi. Sebanyak 27,8% responden ragu dan 7,6% menolak divaksinasi. 

Simulasi vaksinasi Covid-19 Puskesmas Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (16/11/2020). Foto Dok. Pemkot Bogor

Denda dinilai melanggar HAM

Epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Hermawan Saputra menilai wajar jika sebagian kecil masyarakat masih ragu terhadap efektivitas vaksin dan menolak imunisasi. Pasalnya, belum ada pembuktian empiris mengenai kemujaraban vaksin Covid-19.

Dalam keadaan normal, menurut dia, butuh waktu bertahun-tahun untuk memproduksi satu jenis vaksin. Di sisi lain, vaksin Covid-19 dibikin secara kilat. Pfizer/Biontech, misalnya, telah tuntas uji klinis tahap akhir dan menyatakan vaksin bikinan mereka efektif hingga 95%. 

"Apakah vaksin ini sudah bisa dipertanggungjawabkan efficacy-nya? Tidak punya efek samping dan lain-lain? Ini butuh proses dan wajar masyarakat membutuhkan keyakinan untuk itu," ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (4/12).

Selain alasan rasional, Hermawan menyatakan, kepercayaan publik terhadap vaksinasi juga dipengaruhi dalil-dalil relijius. Sebagian kecil komunitas muslim di Indonesia menolak vaksinasi karena persoalan halal dan haram. 

"Nah, siapa yang memiliki orientasi untuk memastikan dalam proses vaksin ini menggunakan bahan-bahan yang dianggap halal atau tidak. Nah, ini isu yang cukup klasik. Akan tetapi, di sebagian masyarakat, berpengaruh keyakinan terkait dengan hal itu," ujarnya.

Hermawan juga mempersoalkan denda Rp5 juta bagi penolak vaksinasi. Selain melanggar HAM, menurut dia, sanksi semacam itu hanya efektif jika vaksin digratiskan. Di sisi lain, distribusi vaksin juga harus dipastikan merata dan mudah diakses oleh publik. 

"Kenyataannya, selama ini ada prioritas segmen dan dosis akan terbatas. Begitu ada prioritas segmen, semisal terlebih dulu untuk tenaga kesehatan atau tenaga pemerintah yang berkerja di fasilitasi pelayanan publik, maka sebenarnya denda ini tidak akan berlaku efektif," kata dia.

Ketimbang memberlakukan denda, Hermawan meminta Pemprov DKI menggelar sosialisasi rutin. "Bila komunikasi itu disertai dengan bukti-bukti, tentu saja secara perlahan masyarakat akan meningkat level confidence-nya dan memperkecil keraguan soal vaksin," imbuh dia. 

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo

Setali tiga uang, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah tak setuju jika denda diberlakukan bagi mereka yang menolak vaksinasi. Menurut dia, denda sebesar itu memberatkan bagi sebagian warga DKI. 

Ketentuan denda itu, lanjut Trubus, juga rawan disalahgunakan untuk kepentingan bisnis. Publik, kata dia, seolah dipaksa untuk membeli vaksin meskipun tidak mampu atau tidak mau. 

"Apalagi, belakangan pemerintah juga ingin melibatkan swasta untuk ambil bagian dalam proses vaksinasi. Ini kan menjadi peluang terjadinya abuse of power, malaadministrasi dan potensi korupsi," ujar dia kepada Alinea.id. 

Trubus juga menilai wajar jika sebagian masyarakat masih meragukan efektivitas vaksin untuk menangkal Covid-19. Apalagi, rencana vaksinasi seringkali maju mundur dan pemerintah kerap tidak transparan dalam penanganan Covid-19. 

"Sampai hari ini itu ada dua hal yang tidak jelas. Satu, soal transparansi daripada vaksin itu sendiri yang membuat masyarakat menolak. Sejauh ini hanya klaim-klaim sepihak saja dari produsennya soal kualitas vaksin," ujar Trubus. 

Kedua, lanjut dia, soal jaminan keamanan bahwa vaksin tidak akan berefek samping. "Artinya, persoalan pada efisiensi dan efektivitas. Bisa dijamin enggak? Kalau disuntik, terus lumpuh, siapa yang bertanggung jawab?" kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid