sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Setengah hati menata kampung kumuh DKI

Penataan kampung-kampung kumuh di DKI Jakarta dianggap masih berorientasi pada kuantitas. Kualitas penataan terpinggirkan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 11 Apr 2023 15:11 WIB
Setengah hati menata kampung kumuh DKI

Mendengar suara air keran bergemuruh, Junayah bergegas keluar dari rumahnya di Gang Sekretaris, RT 15 RW 05, Kelurahan Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Usai mematikan air keran di toilet umum di gang itu, perempuan berusia 51 tahun tersebut "misuh-misuh."

"Siapa nih yang enggak matiin air. Harusnya, sehabis dari WC itu, airnya dimatiin lagi," kata Junayah saat berbincang dengan Alinea.id kediamannya di Gang Sekretaris, Rabu (5/4).

Junayah bercerita persoalan ketersediaan air bersih kerap jadi biang keributan di lingkungan rumahnya. Pasalnya, mayoritas warga tak punya kamar mandi sendiri sehingga harus berebutan menggunakan toilet umum untuk keperluan sehari-hari. 

Dulu, menurut Junayah, bahkan tak ada saluran tanki septik di gang itu. Pemprov DKI Jakarta, lewat Dinas Sumber Air Jakarta, baru mulai membangun saluran-saluran tanki septik di permukiman warga sejak 2019. 

"Jadi, warga itu buang kotorannya ke saluran air. Tetapi, sekarang sudah ada septic tank. Baru tiga tahun belakangan ini sudah dibuat sepuluh septic tank sehingga sanitasinya sudah mulai membaik," ucap Junayah.

Meski begitu, ketersediaan air bersih untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK) masih jadi persoalan di Gang Sekretaris. Junayah bercerita warga sudah mengajukan pemasangan pipa air bersih kepada Pemprov DKI. "Sudah bayar untuk pemasangan pipa. Tapi, airnya belum keluar," ujar Junayah.

Sekretaris RT 15, RW 05 Tanjung Duren Utara, Ahmad Zawawi mengatakan ada 250 warga yang tinggal di Gang Sekretaris. Empat tahun lalu, warga sudah mengeluarkan duit sebesar Rp1,5 juta per orang untuk mendapat akses air bersih dari pemerintah. 

"Tapi, nyatanya sampai sekarang air belum ada di tempat kita. Kalau Dinas SDA sama PDAM (perusahaan daerah air minum) itu, entar besok, entar besok jawabnya. Janji-janji mulu," kata Zawawi saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (5/4).

Sponsored

Ketersediaan air bersih, kata Zamawi, menjadi kebutuhan paling mendesak di Gang Sekretaris. Setiap kali Pemprov DKI menggelar program penataan kampung, warga juga selalu mengajukan permohonan untuk disediakan akses terhadap air bersih. 

Meski tanpa akses air bersih, menurut Zamawi, kondisi Gang Sekretariat sudah jauh lebih baik ketimbang dulu. Sejauh ini, Pemprov DKI telah membantu memperbaiki jalanan di gang dan menyediakan pompa untuk menyedot air saat banjir. 

"Sekarang itu, banjir enggak terlalu lama. Kalau dulu, bisa dua sampai tiga hari baru surut. Sekarang enggak pernah banjir lagi karena ada pompa. Sekarang banjir sudah enggak sampai berjam-jam," tutur pria yang sudah tinggal di Gang Sekretaris sejak 1981 itu. 

Penataan kampung yang setengah hati juga dirasakan warga 05/RW 02, Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Eko Hayanto, sang ketua RT, menyebut baru merasakan bantuan renovasi kampung pada selokan dan jalan. 

"Kami dapat air (dari PDAM), tapi debitnya sangat kecil. Kalau enggak pakai pompa mah, enggak naik airnya. Enggak bisa diharapin," kata Eko kepada Alinea.id, Rabu (5/4).

Eko berkata warga sudah berulangkali melaporkan persoalan air bersih ke pihak terkait, termasuk Dinas Sumber Daya Air dan PDAM. Namun, laporan warga tidak pernah mendapat respons positif. 

Sejauh ini, warga setempat menggunakan air tanah untuk keperluan mandi dan mencuci baju. Untuk minum, warga lebih mengonsumsi air minum dalam kemasan. "Karena air PAM kami kecil keluarnya," imbuh pria 49 tahun itu. 

Menurut Eko, kampungnya terbilang padat dan rawan kebakaran. Ia bercerita empat RT di kawasan itu pernah dilanda kebakaran pada 1991. "RT 04, 05, 06, dan 07 ludes dilahap api. Hangus semua," ujar dia. 

Kampung itu memang terlihat sesak. Di sejumlah gang, perabotan rumah tangga bahkan sampai "meluber" ke luar rumah. Meskipun matahari belum tenggelam, lorong-lorong permukiman gelap lantaran cahaya terhalang rumah-rumah yang dibangun bertingkat. 

Jika dibanding 1991, menurut Eko, jumlah penghuni kampung itu jauh lebih banyak. Ia mengaku khawatir kebakaran kembali terjadi. "Kami sudah mengajukan supaya dibuat hidran buat jaga-jaga. Tapi, enggak tahu kenapa enggak disetujui. Kalau api mengepung,  susah kita nyari jalan buat madaminnya," ujarnya.

Seorang bocah bermain di salah satu gang di RT 05 RW 02,  Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (5/4). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Terkendala 

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ada sebanyak 450 RW kumuh di Jakarta. Dari jumlah itu, sebanyak 200 RW, sebagaimana klaim Pemprov DKI, sudah dibenahi. Sisanya akan dibenahi secara bertahap hingga 2026.

Penataan kampung kumuh diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 90 Tahun 2018 tentang Peningkatan Kualitas Permukiman dalam Rangka Penataan Kawasan Permukiman Terpadu. Beleid itu ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 29 Agustus 2018.

Disebutkan dalam Pergub itu, penataan dilakukan melalui kebijakan community action plan (CAP) dan collaborative implementation program (CIP). Dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Jakarta 2023-2026, persentase luas permukiman kumuh di Jakarta ditargetkan hanya tinggal 2,26% pada 2026. 

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Nova Harivan Paloh mengatakan penataan kampung kumuh di DKI Jakarta masih berorientasi pada kuantitas. Meski begitu, ia mengapresiasi capaian Pemprov DKI yang sudah menata 200 RW kumuh. 

"Eksekusi di 2019. Tapi, tahun 2020 sampai 2022 itu terjadi pandemi. Jadi, progres agak lambat. Artinya, memang di beberapa wilayah saya lihat sudah cukup baik penataannya. Untuk itu, perlu ada respons aktif masyarakat," kata Nova kepada Alinea.id, Kamis (7/4).

Diakui Nova, penataan kampung-kampung kumuh di DKI memang belum sempurna. Terlebih, fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan warga kerap bertambah. "Dari permintaan penataan tambahan itu, memang sejak awal enggak dimasukkan ke dalam program CAP dan CIP sebelumnya," kata dia. 

Namun, ia sepakat Pemprov DKI perlu memenuhi kebutuhan fasilitas yang diajukan warga. Ia mencontohkan perlunya hidran air di area padat penduduk yang rawan kebakaran sebagaimana yang diajukan warga kampung-kampung kumuh di Duri Kepa. 

"Apabila tidak lekas dieksekusi, ya, disampaikan melalui reses anggota dewan saja. Sebenarnya bisa dilaksanakan dengan program reses. Kedua, dari pemerintah melalui musrenbang ini kan setiap RW boleh mengajukan empat (kebutuhan) yang prioritas," tutur Nova.

Sebelumnya, penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan bakal melanjutkan program penataan kampung kumuh yang dirintis Anies. Untuk tahap awal, ia berencana kampung-kampung kumuh di dekat lingkungan Istana Negara dan di Jakarta Utara. 

Tak hanya menyediakan fasilitas komunal, Heru juga menjanjikan renovasi rumah warga. ”Nantinya akan ada bedah rumah dan lain-lain,” kata Heru kepada wartawan di Jakarta, Januari lalu. 

Ia juga mengajak semua pemangku kepentingan terlibat dalam penataan kampung kumuh. Selain pemerintah pusat, ia berharap perusahaan juga turut berkontribusi lewat program-program corporate social responsibility (CSR). 

"Contoh ya, rumah kumuh ada saluran, pemda yang bikin saluran. Ada septic komunal, warga yang ngasih tempat, pemda yang bangun. Ada saluran, ada sarana-prasarana, jalan, rumah-rumah warga yang perlu dibangun, ada masuk CSR," kata Budi. 

Seorang ibu duduk di depan rumahnya di RT 05 RW 02,  Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (5/4). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Sebatas kuantitas? 

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga sepakat penataan kampung di DKI Jakarta masih berorientasi pada kuantitas. Menurut dia, Pemprov DKI seharusnya mengutamakan kualitas penataan ketimbang hanya sekadar mengejar target. 

"Kualitas juga diperlukan. Pemerintah harus ditargetkan dengan realistis. Misalnya, dari 450 (RW), dalam setahun cukup 45-50 RW saja yang sudah bagus, tapi berkualitas. Sehingga baru 10 tahun ke depan tuntas dan program harus berkelanjutan," ucap Nirwono kepada Alinea.id, Rabu (5/4).

Menurut Nirwono, penataan kampung harus berbasis parameter yang terukur dan sesuai rencana tata ruang. Ia mencontohkan sejumlah hal yang harus diprioritaskan dalam penataan kampung, semisal perbaikan jalan atau gang, pembangunan saluran air, serta jaringan utilitas untuk listrik, air bersih, gas, dan internet. 

"Bedah rumah sesuai standar rumah sehat, lalu RTH (ruang terbuka hijau) dengan keberadaan taman lingkungan, kebun pangan atau urban farming, dan tempat evakuasi. Pompa hidran, apar (alat pemadam kebakaran) mobile, pos pemadam kebakaran serta usulan atau aspirasi dari warga lokal," tutur Nirwono.

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Terkait aspirasi warga yang kerap tidak disetujui Pemprov DKI, Nirwono mengusulkan pengajuan dan pembahasan melalui musyawarah rencana pembangunan daerah (musrembangda). Ia mengakui tak mudah bagi warga setempat untuk mengajukan program penataan kampung.

"Repotnya pengurus RW harus punya stamina untuk mengawal dan mendampingi program usulan tersebut sampai dengan pengesahan anggaran dan saat pelaksanaanya di RW. Butuh waktu tenaga dan biaya tersendiri dari pengurus RW tersebut," ucap Nirwono.

Menyikapi penataan RW kumuh yang dinilai masih berorientasi pada kuantitas, Asisten Sekretaris Daerah bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Pemprov DKI Afan Adriansyah Idris irit bicara. Ia hanya menegaskan sudah melibatkan warga setempat dalam rencana penataan kampung kumuh.

"Dokumen community action plan yang penyusunannya melibatkan warga setempat. Dokumen ini selanjutnya menjadi acuan dalam penataan kampung. Selanjutnya untuk pelaksanaan, disusunlah collaborative implementation program," ucap Afan.

Berita Lainnya
×
tekid