sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Temui Mahfud, akademisi Papua paparkan hasil kajian soal rekonsiliasi pelanggaran HAM

Mahfud MD akan menindaklanjuti masukan dari para akademisi Papua.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 18 Des 2020 08:11 WIB
Temui Mahfud, akademisi Papua paparkan hasil kajian soal rekonsiliasi pelanggaran HAM

Para akademisi Papua dari Universitas Cendrawasih mengunjungi Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kamis (17/12). Mereka memaparkan hasil kajian akademik terkait pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Juga mengevaluasi otonomi khusus dan pembentukan provinsi baru di ‘Bumi Cendrawasih’.

"Atas nama pimpinan Universitas Cendrawasih kami mengucapkan terima kasih banyak kepada bapak Menko Polhukam. Kami harapkan dengan adanya hasil kajian akademik ini dan rencana tindak lanjut dari pemerintah pusat melalui Bapak Menko Polhukam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan), semoga ini dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah yang kita hadapi di tanah Papua,” ujar Rektor Universitas Cendrawasih, Apolo Safanpo dalam keterangan tertulis, Jumat (18/12).

Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengaku akan menindaklanjuti masukan dari para akademisi Papua tersebut dan segera mengadakan evaluasi dalam pelaksanaannya.

Untuk diketahui, pada 10 Oktober 2019 lalu, Universitas Cendrawasih diminta Gubernur Papua melakukan kajian akademik terhadap tiga hal. Pertama, kajian akademik tentang pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lalu.

Kedua, kajian akademik tentang evaluasi pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Ketiga, kajian akademik pembentukan daerah otonomi baru provinsi di Papua.

Sebelumnya, akademisi Universitas Cenderawasih, Elvira Rumkabu mengatakan, hingga saat ini, agenda pembangunan di Papua tidak diletakkan dalam konteks keberadaan masyarakat adat dan rekam jejak konflik, pembangunan infrastruktur terlalu menyederhanakan kompleksitas Papua, dan marginalisasi semakin memperkuat perlawanan warga sipil Papua, baik di dalam maupun luar negeri.

Di era Orde Baru, pembangunan di Papua bersifat paternalistik dan top-down (pendekatan dari atas ke bawah) atau ‘menggilas’ identitas warga Papua. Menurut Elvira, kebijakan pembangunan yang ekstraktif tetap berlanjut pasca Orde Baru.

“Tidak terputus, siapapun presidennya, kekerasan tetap terjadi, menjadi warna yang tetap konsisten dalam objek-objek pembangunan, entah Orde Baru maupun sekarang,” tutur Elvira dalam diskusi virtual, Kamis (19//11).

Sponsored

Ia pun menyebut, agen pembangunan di Papua terdiri dari tiga aktor yakni pemerintah, korporasi dan institusi keamanan.

“Operasi militer dan kekerasan di masa Orde Baru menimbulkan rasa trauma mendalam, kekerasan dalam ingatan turun-temurun, belum diselesaikan, tetapi sekarang harus berhadapan dengan musuh lain, korporasi. Narasi soal Papua itu bukan hanya narasi merdeka, tetapi narasi survival, narasi yang menuntut keberlangsungan hidup mereka, itu sangat mengerikan,” ujar Elvira.

Berita Lainnya
×
tekid