sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Di balik gemerlap Asian Games Tanah Air

Apa yang membedakan perhelatan Asian Games di Indonesia pada 1962 dan 2018?

Purnama Ayu Rizky Laila Ramdhini
Purnama Ayu Rizky | Laila Ramdhini Senin, 03 Sep 2018 11:19 WIB
Di balik gemerlap Asian Games Tanah Air

Asian Games 2018 memang telah usai. Kendati tak bisa menyabet peringkat kedua laiknya prestasi pada 1962, Indonesia tetap panen medali. Tak tanggung-tanggung, 31 medali diborong kontingen atlet Indonesia tahun ini, bahkan cabang pencak silat sukses bawa pulang 14 medali. Dengan puluhan medali tersebut, Indonesia memastikan tempat di peringkat empat, di bawah China si juara bertahan, Jepang, lalu Korea Selatan.

Tak hanya perolehan medali yang patut dicatat, upacara pembukaan dan penutupan Asian Games juga jadi sorotan publik se-Asia. Setelah membuat selebrasi pembukaan terasa begitu gebyar, man behind the scene Wishnutama kembali membuat kejutan di momen upacara pamungkas. Artis Super Junior dan iKON diboyong langsung dari Negeri Ginseng untuk membuat pemuja K-Pop teriak histeris.

Upacara pembukaan dan penutupan Asian Games diklaim tak menelan dana fantastis. Itu hanya menyedot dana US$ 52 juta atau sekitar Rp 759 miliar, sepuluh kali lebih kecil dibanding upacara pembukaan Olimpiade musim dingin di Sochi 2014 yang menelan US$ 500 juta, atau Asian Indoor Martial Arts 2017 di Turkmenistan.

"Justru dengan dana yang tidak besar, kami terpicu untuk lebih kreatif," kilah Wishnutama dalam beberapa kali kesempatan.

Sementara, dana yang dihabiskan untuk pesta olahraga yang diikuti 45 negara itu secara keseluruhan mencapai Rp 40 triliun. Dana ini dialokasikan untuk pemugaran gedung Gelora Bung Karno (GBK), Kampung Atlet di kawasan Kemayoran, pembangunan Velodrome Rawamangun dan Equestrian Park Pulomas sebagai arena balap sepeda dan pacuan kuda. Sarana transportasi yang baik pun digagas, dengan membangun Light Trail Transit (LRT) di Jakarta dan Palembang.

Membandingkan angka itu dengan dana di Asian Games IV 1962 di Jakarta jelas tak sepadan. Pasalnya, di era Soekarno dulu, Indonesia perlu membangun dari awal stadion berstandar internasional dan printilan lainnya.

Dalam buku “Gelora Bung Karno Ke Gelora Bung Karno” (2004) karya Julius Pour disebutkan, Soekarno melewati jalan panjang hingga akhirnya bisa mematahkan keraguan negara-negara Asia, soal ketidakmampuan Indonesia menjadi tuan rumah. Mulanya, dari pembangunan stadion utama. Dikisahkan, Proklamator itu menyusuri Benhil, Senayan, hingga Rawamangun untk menyulap lanskap stadion Jakarta yang lebih “beradab” bagi olahragawan se-Asia.

Awalnya, ayah Megawati itu menilai Benhil menjadi lokasi paling ideal untuk membangun stadion. Namun, rencana itu langsung ditampik Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sosroatmodjo. Soemarno menilai Benhil adalah wilayah padat penduduk sehingga dikhawatirkan akan menyedot dana relatif lebih besar. Ia menyarankan Rawamangun sebagai lokasi pengganti.

Sponsored

Soekarno bersikeras. Suatu waktu, ia terbang naik helikopter bersama arsitek Frederick Silalaban, untuk melihat Jakarta dari udara. Tak lama ia buat keputusan, Senayan-lah yang dinilai tepat menjadi tonggak pancang sejarah pesta olahraga kala itu.

Untuk membuat Gelora Senayan dan bangunan-bangunan Asian Games, Indonesia digelontori pinjaman US$12,5 juta atau Rp 15 miliar dari Uni Soviet. Kurs rupiah atas dolar Amerika sendiri masih berkisar di 1.205 pada 1961-1962.

Penonton menyaksikan Upacara Penutupan Asian Games ke 18, tahun 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (2/9)./ Antarafoto

Indonesia zaman Soekarno memang dikenal cukup mesra dengan Uno Soviet. Ide pendirian di Senayan itu pun lagi-lagi terinspirasi dari negara sahabatnya. Tepatnya saat Soekarno mengunjungi Stadion Luzhniki di Moskow pada 1956.

Rampung membangun stadion, pelbagai sarana olahraga juga dibangun. Pada 1961, pematung Edhie Sunarso diminta membangun monumen Patung Selamat Datang. Menyusul kemudian, Hotel Indonesia juga didirikan dari hasil rampasan perang Pemerintah Jepang. Infrastruktur berikutnya, yakni Jembatan Semanggi. Tak ketinggalan, saluran media negara TVRI mengudara pada 24 Agustus 1962. TVRI sendiri menjadi teknologi paling laju guna menginformasikan hajatan itu.

Kenapa Soekarno tampak ngoyo mendandani kota Jakarta? Saat negara-negara di Asia lebih condong memilih Pakistan sebagai tuan rumah Asian Games 1962, Soekarno berjanji akan membuat Indonesia jadi lokasi terbaik penyelenggaran hajatan itu.

Masih dilansir dari Julius Pour, Soekarno begitu ambisi meneguhkan posisi Indonesia sebagai negara yang layak diperhitungkan dunia lantaran sejumlah alasan. Khususnya, karena posisi Indonesia yang menurutnya telah tenggelam dalam kegelapan (penjajahan) selama tiga setengah abad.

Baginya, Asian Games tak sekadar acara lomba olahraga saja, tapi pembuktian harga diri pada dunia. Beruntung juga, saat itu Indonesia berhasil memborong tiket juara kedua Asian Games, di bawah Jepang yang mendulang 161 medali. Kontingen atlet Tanah Air saat itu mengumpulkan 51 medali (11 emas, 12 perak, dan 28 perunggu) dari total 13 cabang olahraga.

Semangat pembuktian Soekarno relatif agak mirip dengan Presiden Jokowi. Sejak tahun kedua pemerintahannya, Jokowi memang sibuk menggenjot pembangunan infratruktur Indonesia. Renovasi berbagai sarana dan prasarana Asian Games juga turut dibidik. Selain demi menciptakan imaji positif di dalam negeri, momentum olahraga internasional juga mampu mendongkrak citra di depan dunia.

Antara diplomasi dan ceruk laba

Soft diplomacy lewat olahraga sendiri bukan hal baru. Di era perang dunia kedua (1939-1945), Presiden Amerika Serikat ke-32 Franklin D. Roosevelt juga menggunakan diplomasi olahraga tinju. Demi menyemangati para tentara, Roosevelt menggandeng Joe Louis, atlet tinju kelas berat untuk bertanding di Gedung Putih melawan pemain Jerman Max Schmeling.

Lalu, pada 1994 Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela juga menggelar Piala Dunia Rugbi pada 1995, demi menyatukan orang kulit hitam dan putih setempat.

Diplomasi Ping Pong juga populer menjadi jalan penyatu di antara dua negara yang 20 tahun saling diam, AS dan China. Pemimpin China Mao Zedong mengundang pemain tenis meja Paman Sam untuk bertanding di Beijing.

Rusia pun menggunakan cara serupa dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018. Diketahui Presiden Rusia Vladimir Putin kerap mengundang pemimpin negara lain di kursi VVIP untuk menyaksikan pertandingan akbar ini.

Di momen Asian Games kali ini, Jokowi juga kerap mengundang perwakilan negara lain di Asia ke Istana Negara. Mulai Ketua Komite Olimpiade Palestina Jibril Mahmoud hingga perwakilan panitia penyelenggara Asian Games 2022 China Jack Ma.

Selain diklaim bisa mempererat hubungan dengan negara lain, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memastikan, penyelenggaraan Asian Games 2018 akan menyumbang peningkatan perekonomian negara.

"Ada pula dampak second round effect yang terjadi karena adanya efek pengganda terhadap perekonomian. Sehingga, dapat menyebabkan penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan penambahan pendapatan masyarakat. Total dampak dari Asian Games 2018 berkontribusi Iangsung terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara dan penumbuhan ekonomi lndonesia," katanya pada Alinea.

Sementara di sektor riil, sejumlah pelaku usaha memanfaatkan kesempatan untuk melakukan ekspansi bisnis. Beberapa perusahaan besar hingga kecil juga berpartisipasi dengan menjadi sponsor acara Asian Games.

Bambang memprediksi, dampak langsung Asian Games 2018 bagi ekonomi DKI Jakarta mencapai Rp 22 triliun pada periode 2016-2018. Jumlah tersebut didapat dari investasi konstruksi sebesar Rp13,7 triliun dan operasionalisasi penyelenggaraan senilai Rp 5,8 triliun. Ditambah pengeluaran pengunjung mancanegara dan domestik sebesar Rp 2,6 triliun.

Salah satu aksi yang ditampilkan dalam penutupan Asian games 2018./ Antarafoto

Sementara untuk Sumatra Selatan, dampak ekonomi langsung diprediksi mencapai Rp 18,5 triliun, yang didapat dari investasi konstruksi senilai Rp 15,4 triliun dari 2015-2018. Untuk operasional penyelenggaraan sebesar Rp 2,1 triliun, serta pengeluaran pengunjung sebesar Rp 968 miliar.

"Dampak ekonomi tidak langsung Asian Games 2018, meliputi tahap konstruksi, operasional penyelenggaraan, dan kedatangan pengunjung, berkontribusi pada pertumbuhan PDB dan nilai tambah ekonomi, peningkatan output sektor, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan riil," tambah Bambang.

Untuk DKI Jakarta, penyelenggaraan Asian Games 2018 menambah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil sebesar Rp 14 triliun di 2015-2019. Angka tersebut didorong oleh peningkatan investasi, belanja pemerintah, dan konsumsi rumah tangga. Jumlah kesempatan kerja pada periode 2015-2019 juga bertambah sebesar 57.300 orang.

Adapun output perekonomian DKI Jakarta pada periode 2015-2019 juga bertambah sebesar Rp 40,6 triliun. Angka ini didapatkan dari kegiatan konstruksi persiapan sarana dan prasarana sebesar Rp 18,5 triliun, kegiatan operasionalisasi penyelenggaraan Rp 20,9 triliun, dan kegiatan pengunjung domestik dan mancanegara sebesar Rp1,2 triliun.

Lebih lanjut Bambang mengungkapkan, sektor rekreasi dan hiburan menjadi sektor yang paling tinggi pertumbuhannya. Sektor rekreasi dan hiburan tumbuh 26,10%, disusul sektor penyiaran naik 2,81%, sektor hotel tumbuh 2,17%, utilitas 0,57%, konstruksi 0,51%, jasa Iainnya 0,47%, transportasi 0,44%, serta makanan dan minuman 0,40%.

Kesamaan momentum Asian Games 1962 dan 2018 adalah percepatan pembangunan infrastruktur sebagai alat soft diplomacy, juga demi mengeruk laba sebanyak-banyaknya. Menyimak catatan keuntungan di atas, berbanding anggaran Asian Games yang didasarkan dari APBN sebanyak Rp 5 triliun dan kerja sama sponsor dengan total keseluruhan mencapai Rp 35 triliun, maka Indonesia tampak bisa memanfaatkan peluang ini.

Berita Lainnya
×
tekid