sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Debat perdana minim substansi

Kedua pasangan calon terkesan kaku, kikuk dan tak lepas dalam beradu argumen. 

Robi Ardianto Eka Setiyaningsih Kudus Purnomo Wahidin
Robi ArdiantoEka Setiyaningsih | Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 18 Jan 2019 04:28 WIB
Debat perdana minim substansi

Debat perdana Pilpres 2019 yang mempertemukan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi) terkesan 'garing' dan tanpa gereget. Selain minim substansi, di beberapa segmen debat, kedua paslon juga tampak gagal paham di sejumlah isu. 

Pada isu terorisme misalnya, Prabowo mengklaim para teroris yang beraksi di Indonesia disusupkan dari negara lain dan bukan orang Islam. Ia juga menyebut bakal meningkatkan anggaran militer sebagai bagian dari strategi memberantas terorisme.  

"Saya mengetahui sering kali terorisme ini dikirim dari negara lain dan sering juga dibuat nyamar, seolah-olah teroris itu dari orang Islam. Padahal dia dikendalikan oleh orang yang mungkin bukan orang Islam, atau orang asing, atau bekerja untuk orang asing," ujar Prabowo di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). 

Isu terorisme menjadi salah satu tema dalam debat yang dipandu Ira Koesno dan Imam Priyono itu. Dalam debat yang disiarkan langsung sejumlah stasiun televisi itu, Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi juga beradu gagasan terkait isu hukum, hak asasi manusia (HAM), dan korupsi.

Pengamat terorisme Al Chaidar menyebut pernyataan Prabowo menunjukkan bahwa ia sama sekali tak paham soal terorisme. Menurut dia, Prabowo hanya memainkan retorika demi merayu pemilih. "Dia ingin pemilih muslim yang sebagian besar percaya bahwa terorisme direkayasa pihak Barat agar memilih dia," ujar dia saat dihubungi Alinea.id. 

Pernyataan Prabowo mengenai peningkatan anggaran militer juga minim korelasinya dengan upaya pemberantasan terorisme. Pasalnya, penanganan terorisme hingga kini masih dipegang sepenuhnya oleh Polri. Militer hanya dilibatkan via skema bantuan kendali operasi (BKO) lewat keputusan Presiden. 

Di lain pihak, paparan Jokowi terkait pemberantasan terorisme pun terkesan normatif. Menurut pengamat terorisme Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, tidak ada solusi kritis yang ditawarkan Jokowi-Ma'ruf selain yang sudah dilakukan pemerintah sebelumnya. 

"Masih jauh dari espektasi publik yang ingin narasi mereka bernas dan fundamental. Paslon sama-sama belum mampu menampilkan konstruksi pemikiran komprehensif dan sistematis yang bisa menjelaskan persoalan hulu sampai hilir, akar terorisme, paradigma mengejar terorisme, dan solusi-solusi praktisnya," ujar dia. 

Sponsored

Dari segi performa panggung, Direktur Riset Populi Center Usep S Ahyar mengatakan, kedua paslon tampak kaku sepanjang debat selama 90 menit itu. Usep menduga, skema debat setengah tertutup yang didesain Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan disepakati kedua kubu menjadi salah satu penyebab keringnya perdebatan. 

"Ini belum debat yang sesungguhnya. Mungkin karena masih sekadar hafalan. Format debatnya juga seperti itu sehingga membuat kedua pasangan calon tampak begitu tegang," ujar dia. 

Usep juga menyoroti tema-tema dalam debat yang tidak dielaborasi dengan baik oleh kedua paslon. Isu HAM dan korupsi yang selama ini diperdebatkan kedua kubu di ruang publik sebelum debat digelar juga minim diulas. Rencana penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digaungkan keduanya di visi misi tak 'bunyi' di debat enam segmen itu. 

"Karena mungkin waktu ya. Kalau secara sekilas, jadi masih kikuk, kaku, dan belum menampilkan debat sesungguhnya. Pasangan 02 (Prabowo-Sandi) lebih banyak menyerang, tetapi belum memberikan gagasan apa yang akan dilakukan," ujar dia. 

Satu-satunya gagasan 'segar' justru muncul di tema hukum. Saat ditanya mengenai maraknya tumpang tindih produk-produk legislasi, Jokowi mengungkap rencana mendirikan pusat legislasi nasional untuk mengatasinya. 

"Kami akan menggabungkan fungsi-fungsi legislasi, baik yang ada di BPHN, Dirjen Peraturan Perundangan dan fungsi legislasi yang ada di semua kementerian," ujar Jokowi. 

Sayangnya, rencana itu pun minim dielaborasi. Di sisi lain, Prabowo-Sandi berniat memberdayakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dengan bantuan pakar hukum untuk mengatasi persoalan yang sama.

Kalah data, menang gimmick 

Dari sisi data dan substansi, Usep menilai, Jokowi-Ma'ruf lebih unggul. Namun, dari segi gimmick dan gestur, pasangan Prabowo-Sandi tampak lebih mengkilap.  "Gestur pasangan 02 menarik. Pembagian (waktu) antar capres dan cawapres (lebih baik). Mereka juga lebih komunikatif," ujarnya. 

Minimnya adu gagasan terkait substansi juga terlihat pada segmen keempat dan kelima. Bukannya menguliti visi misi lawan, di sesi tanya jawab antarpaslon itu, Jokowi malah memanfaatkannya 'menyerang' Partai Gerindra yang memberikan tiket kepada 6 mantan napi koruptor untuk maju sebagai calon legislatif Pemilu 2019. 

Pertanyaan Jokowi itu kontan membuat sang 'pemilik' partai gelagapan. Prabowo pun sampai salah menjawab dan mengira Jokowi menyebut partainya korup. "Itu strategi yang menarik yang dikritik oleh Jokowi karena cenderung membuat Prabowo agak emosional," kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito. 

Menurut Arie, Jokowi unggul dalam penguasaan materi secara umum, meskipun tampak tak profesional memanfaatkan waktu di panggung debat. Terlebih, Jokowi tampil 'solo karier' dan Ma'ruf praktis hanya 'beraksi' di isu terorisme saja. 

Di isu-isu lain, ketika diberi kesempatan untuk bicara, Ma'ruf cenderung hanya mengulang ucapan Jokowi. Itu pun tak lebih dari beberapa patah kata saja. "Saya kira memang Jokowi perlu membagi waktu secara profesional," imbuh Arie.  

Namun demikian, diakui Arie, perbebatan kedua paslon masih di tataran normatif dan minim substansi. Karena itu, ia berharap, keduanya tampil lebih trengginas di debat selanjutnya. "Jangan terlalu normatif. Perlu juga mengkritik satu sama lain lebih tajam lagi," cetusnya. 

Berita Lainnya
×
tekid