sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dugaan kecurangan, berkaca pada pemilu masa Orde Baru

Titiek Soeharto membandingkan kecurangan pemilu saat ini dengan era Orde Baru.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 21 Mei 2019 19:31 WIB
Dugaan kecurangan, berkaca pada pemilu masa Orde Baru

Siapa paling curang?

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengaku bingung dengan pernyataan Titiek Soeharto. Ia menilai, kecurangan dalam pemilu pada masa Orde Baru tidak bisa dibandingkan dengan pemilu saat ini. Sebab, kecurangannya sudah tergolong fatal.

“Di era Soeharto berkuasa, pelanggaran pemilu bukan lagi di ranah teknis, melainkan sudah melanggar prinsip demokrasi. Bagaimana organisasi masyarakat (Golkar) bisa ikut pemilu dan selalu menang,” tutur Ray saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (21/5).

Ray mengatakan, penyelenggara pemilu pada masa Orde Baru berada di bawah kendali pemerintah. Padahal, menurutnya, penyelenggara seharusnya independen. LPU di masa Soeharto, kata Ray, bukan saja curang, tetapi juga tak independen.

Kampanye Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada Mei 1997. /B.J. Habibie: 72 Days as Vice President/commons.wikimedia.org

“Pada era bapaknya (Soeharto) berkuasa, prinsip-prinsip demokrasi dalam pemilu saja tidak ada. Kemudian, dibandingkan dengan pemilu saat ini, yang jelas prinsip dasar demokrasinya telah terpenuhi. Jikalau membandingkan kecurangan dari elemen-elemen teknis, masih bisa. Namun, perlu dicatat, pemilu saat ini sudah mewajibkan PNS, maupun aparatur negara lainnya untuk netral,” kata Ray.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, bila hendak membandingkan kecurangan pemilu masa Orde Baru dengan pemilu masa kini, harus berdasarkan bukti yang valid.

Ujang mengakui, setiap perhelatan pemilu pasti terdapat kecurangan. Ujang menyimpulkan, pernyataan Titiek terkait kecurangan pemilu di era Orde Baru dan Pemilu 2019, sekadar pernyataan belaka.

Sponsored

“Apabila Mbak Titiek menyebut pemilu hari ini lebih curang daripada era Orde Baru, seharusnya ada bukti yang bisa diukur,” ujar Ujang saat dihubungi, Selasa (21/5).

Ujang melanjutkan, karena bukti kecurangan belum jelas, ia berpendapat, perbandingan bisa dilihat dari segi transparansi informasi.

“Di era Orde Baru, negara kita otoriter. Media massa dulu tak sebebas sekarang. Artinya, media massa dulu tak berani mengungkap kecurangan yang berkembang. Bedanya, saat ini sudah berkembang media sosial,” ucapnya.

Di saat media massa dikuasai pemerintah, Ujang mengatakan, media sosial bisa memposisikan diri sebagai pembanding. Sebab, media sosial merupakan media publik yang bisa dimanfaatkan untuk menggali informasi seputar kecurangan pemilu.

“Zamannya berbeda, pemilunya pun berbeda. Kita tahu, pada era Orde Baru semuanya memang sudah disiapkan. Soeharto menang sekian persen. Siapa saja menterinya? Siapa saja yang akan menduduki DPR? Sudah ada semua. Sudah kelihatan,” ujar Ujang.

Berita Lainnya
×
tekid