Apa yang perlu diketahui dari penambangan batu di Gunung Kuda?
Dua tersangka sudah ditetapkan Polresta Cirebon, Jawa Barat, dalam kejadian longsor tambang galian C di kawasan Gunung Kuda Cirebon. Dua tersangka tersebut adalah Ketua Koperasi Al-Azariyah berinisial AK yang menjadi pemilik tambang dan Kepala Teknik Tambang AK yang bertugas sebagai pengawas operasional di lapangan.
Bagaimana kronologinya dan berapa korban tewas?
Peristiwa longsor di kawasan Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon terjadi pada Jumat (30/5) siang. Menurut salah seorang korban selamat, Taryana kepada Antara, saat itu dirinya tengah melakukan bongkat muat batu dari alat berat di kawasan tambang galian C.
Di hari nahas itu, Taryana mengaku menyaksikan batu besar mulai bergerak dari atas bukit. Tak lama, longsor menimbun truk dan para pekerja.
Sebenarnya surat larangan menambang dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) setempat sudah keluar. Namun, kegiatan penambangan tetap berjalan.
Menurut Kapolresta Cirebon Sumarni, dikutip dari Antara, surat larangan itu terbit pada 8 Januari 2025, lalu diperkuat dengan surat peringatan kedua pada 19 Maret 2025. Penyebabnya, aktivitas tambang belum mendapat persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
RKAB merupakan dokumen yang wajib disusun perusahaan pertambangan setiap tahun dan diajukan untuk disetujui pemerintah. Dalam hal ini Kementerian ESDM atau instansi yang mendapat pendelegasian kewenangan.
Aturan itu tertera dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2023. Dokumen tersebut berisi rencana kerja dan anggaran biaya untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, termasuk aspek pengusahaan, teknik, dan lingkungan.
Aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3) juga tidak diperhatikan. Longsor terjadi ketika beberapa pekerja sedang menambang material batu gamping dan tras. Tanah tebing runtuh, lalu menimbun para pekerja, alat berat, dan kendaraan operasional.
Dikutip dari Antara, hingga Minggu (1/6), petugas dari TNI, Polri, Basarnas, BPBD, dan relawan sudah mengevakuasi 19 korban tewas dalam peristiwa itu. Sebanyak enam korban lainnya masih belum ditemukan.
Bagaimana aktivitas penambangan di Gunung Kuda?
Siswandi, Sukandarrumidi, dan Djoko Wintolo dari Program Studi Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam penelitian yang diterbitkan UGM Journals (2004) menulis, Gunung Kuda adalah sebuah bukit yang terletak di bagian paling selatan dari komplek Perbukitan Kromong Cirebon.
Bukit ini tersusun dari batuan beku yang telah teralterasi. Batuan yang terdapat di Gunung Kuda sudah dimanfaatkan penduduk untuk bahan batu hias. Aktivitas penambangan batu kapur dan batu alam di Gunung Kuda sudah berlangsung sejak 1980-an.
Penambangan di Gunung Kuda masuk dalam kategori galian C, yang bahan galiannya meliputi mineral non-logam, seperti pasir, kerikil, tanah liat, marmer, granit, dan batu gamping.
Menurut Shifa Nurfauziah dalam penelitian skripsinya di UIN Sunan Gunung Djati (2019), area pertambangan batu alam di Gunung Kuda dikelola empat perusahaan berbentuk koperasi yang luasnya berbeda-beda, antara lain Al-Islah seluas 5-6 hektare, Satori 2 hektare, Al-Azariyah 4,49 hektare, dan Bumi Karya 5 hektare.
Peneliti dari Universitas Negeri Semarang dan UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, yakni Dede Cahyati Sahrir, Margareta Rahayuningsih, dan Aditya Marianti dalam penelitian yang diterbitkan Journal of Environmental and Science Education (2024) menyebut, koperasi-koperasi tersebut sudah mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan penambangan batu (galian C) di blok Gunung Kuda, dengan rasio kompensasi 1:2. Menurut para peneliti, luas lahan kompensasi yang disediakan koperasi Al-Azariyah mencakup area seluas 20 hektare yang berasal dari tanah milik. Di Kabupaten Cirebon sendiri ada 4 kecamatan yang memiliki industri batu alam, salah satunya Desa Cipanas.
Beberapa kali terjadi longsor di Gunung Kuda. Misalnya, pada 26 April 2015 terjadi longsor yang menyebabkan empat orang tewas dan tiga lainnya hilang tertimbun. Longsor lalu terjadi lagi pada 30 September 2021, 19 Juni 2023, dan 11 Februari 2025.
Bagaimana dampak penambangan terhadap lingkungan?
Selain longsor yang menimbulkan korban jiwa, aktivitas penambangan batu di Gunung Kuda pun membawa dampak terhadap lingkungan.
Shifa Nurfauziah menyebut, secara umum terjadi perubahan lingkungan akibat praktik tambang batu alam di Gunung Kuda, yang menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan, terganggunya kegiatan budaya warga karena rusaknya salah satu pegunungan di Cirebon, terjadi perubahan lingkungan permukiman menjadi gersang dan berdebu, rusaknya sistem irigasi yang menyebabkan kekeringan lahan pertanian, terganggunya kegiatan pertanian sebagai mata pencaharian warga, dan rusaknya jalan desa karena aktivitas truk pengangkut batu.
Dede Cahyati Sahrir, Margareta Rahayuningsih, dan Aditya Marianti mencontohkan tercemarnya air sungai, terutama di Sungai Cimanggu dan Jamblang, tempat limbah cair dari penambangan batu alam Gunung Kuda dibuang.
Limbah cair biasanya terdiri dari bubuk halus dan lumpur yang berasal dari proses pemotongan batu. Potongan padat dalam limbah batu alam itu mengendap di dasar sungai, sehingga menurunkan kualitas air dan tanah. Selain itu, debu dan partikel halus dari aktivitas penambangan menimbulkan gangguan kesehatan, terutama selama musim kemarau.
Terlepas dari itu, akibat longsor yang menimbulkan korban, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pada Sabtu (31/5) mencabut izin tambang Gunung Kuda.


