close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi satelit luar angkasa. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi satelit luar angkasa. /Foto Unsplash
Peristiwa
Jumat, 19 September 2025 15:00

Bagaimana Tiongkok menyalip AS sebagai penguasa luar angkasa

Laporan ‘Redshift’ peringatkan China siap salip AS dalam perlombaan antariksa hanya dalam 5–10 tahun.
swipe

Sepekan setelah sidang Komite Perdagangan Senat Amerika Serikat (AS) digelar membahas rencana mendaratkan kembali astrounot AS ke bulan, sebuah laporan dirilis Commercial Space Federation (CSF) pada 16 September. Dalam laporan bertajuk "Redshift" itu, peneliti CSF mewanti-wanti Tiongkok bakal segera menyalip AS sebagai penguasa luar angkasa. 

Dalam laporannya, CSF— kelompok advokasi yang mendukung investasi industri antariksa komersial AS—mengurai bagaimana infrastruktur dan kemampuan eksplorasi ruang angkasa Tiongkok berkembang pesat selama satu dekade terakhir dan belum menunjukkan tanda melambat.

Setebal 112 halaman, dokumen itu berisi informasi terkini tentang berbagai aset dan misi antariksa Tiongkok: mulai dari stasiun ruang angkasa baru, mega-konstelasi satelit yang sedang tumbuh, hingga rencana kunjungan dan kolonisasi Bulan.

“China bukan hanya berpacu untuk mengejar — mereka sedang memimpin, menderegulasi, dan, pada titik tertentu, mendefinisikan ulang arti kepemimpinan di atas dan di bawah Bumi,” tulis para peneliti dalam laporan itu.

Salah satu isu paling mengkhawatirkan bagi AS adalah peluang Tiongkok menjadi negara pertama yang kembali mendaratkan manusia di Bulan sejak 1972. Misi Artemis NASA berulang kali tertunda, sebagian akibat problem pada roket Starship milik SpaceX. 

Sebaliknya, Tiongkok terus menandai “tonggak besar” dalam rencana pendaratan astronaut pada 2030: memetakan permukaan Bulan dengan detail rekor, mengembalikan sampel bersejarah ke Bumi, hingga membangun roket raksasa mereka sendiri. NASA saat ini menargetkan pendaratan pada 2027.

 “Kebangkitan antariksa Tiongkok—digerakkan oleh kebijakan disiplin, investasi strategis, dan lompatan teknologi yang luas—telah mendefinisikan ulang arena perebutan kekuatan global,” tulis para peneliti. 

Lebih jauh, Tiongkok berencana membangun basis Bulan yang sepenuhnya operasional, lengkap dengan reaktor nuklir otonom, sedini tahun 2035. Basis ini bisa menjadi kunci untuk mengklaim sumber daya tambang Bulan dan memberi keunggulan dalam perlombaan mengirim manusia ke Mars.

Menguasai orbit rendah Bumi

Area dominasi berikutnya: orbit rendah Bumi. Stasiun ruang angkasa Tiangong yang baru selesai akan menjadi satu-satunya stasiun negara yang beroperasi setelah ISS pensiun pada akhir dekade ini. Hingga kini, NASA tidak punya rencana mengganti ISS secara langsung, meski ada beberapa rencana stasiun komersial.

Tiongkok juga tengah membangun mega-konstelasi satelit untuk menyaingi jaringan Starlink milik SpaceX, plus merancang pembangkit listrik tenaga surya di orbit dan teleskop luar angkasa ala James Webb versi mereka sendiri. Di darat, mereka sudah punya enam kosmodrom operasional untuk mempercepat frekuensi peluncuran roket dalam beberapa tahun ke depan.

“China sedang menjalani era Apollo, ISS, dan ruang angkasa komersialnya secara bersamaan,” tulis para penulis laporan.

Jonathan Roll, analis kebijakan ruang angkasa di Arizona State University sekaligus penulis laporan, mengaku terkejut menyaksikan betapa cepatnya kemajuan Tiongkok dalam penjelajahan antariksa. 

“Saya pikir saya sudah cukup paham saat lulus S2. Tapi tiga tahun kemudian hampir semuanya harus diperbarui atau sudah berubah. Itu cukup menakutkan,” kata Roll seperti dikutip dari Live Science, Jumat (19/9). 

Ilustrasi astronaut. /Foto Unsplash

Dana dan diplomasi

Kunci keberhasilan terbaru Tiongkok (tak mengejutkan) adalah peningkatan pendanaan, terutama untuk perusahaan komersial yang mendapat dukungan khusus pemerintah untuk menopang CNSA. Tahun lalu saja mereka menginvestasikan USD2,86 miliar pada sektor antariksa komersial—lebih dari 17 kali lipat dibanding 2016.

Faktor penting lainnya adalah kesediaan bekerja sama dengan negara lain seperti Rusia, India, dan Jepang. Pendekatan ini—dijuluki “Space Silk Road” atau Jalur Sutra Antariksa. Program itu, kata para peneliti, sudah melahirkan lebih dari 80 proyek internasional. "Dan secara perlahan mengikis pengaruh AS,” tulis mereka. 

Space Silk Road ialah inisiatif untuk memperluas Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok di ranah luar angkasa. Bersama sejumlah negara, Tiongkok menggagas beragam kerja sama untuk memanfaatkan antariksa secara damai untuk kepentingan bersama, mempromosikan penelitian kolaboratif, dan mendorong pengembangan antariksa yang inklusif.

Sementara itu, ambisi antariksa Amerika justru terhambat pemangkasan besar-besaran anggaran NASA yang diusulkan pemerintahan Trump — hampir separuhnya — sehingga mengancam banyak misi jangka panjang dan menimbulkan efek domino pada industri ruang angkasa komersial AS.

“Amerika Serikat masih unggul di banyak bidang ruang angkasa hari ini,” kata Dave Cavossa, presiden Commercial Spaceflight Federation kepada Ars Technica. “Tapi Tiongkok maju sangat cepat dan siap menyalip kita dalam lima hingga sepuluh tahun jika kita tidak berbuat sesuatu.”

Pesimisme serupa juga sempat mantan administrator NASA Jim Bridenstine saat berbicara di senat AS. Secara blak-blakan, ia menyebut sangat kecil kemungkinan AS akan mengalahkan proyeksi jadwal Tiongkok untuk mendaratkan astronot di bulan. 

"Terkecuali jika pemerintah membatalkan pemangkasan anggaran untuk prouek-proyek antariksa," kata Bridenstine. 
 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan