Sejauh ini, selama enam hari pencarian, tim gabungan sudah mengevakuasi 21 jasad korban longsor tambang galian C di Gunung Kuda, Cirebon, Jawa Barat. Diperkirakan masih ada empat korban yang masih tertimbun.
Peristiwa longsor di lokasi pertambangan galian C Gunung Kuda terjadi pada Jumat (30/5) lalu. Insiden ini adalah salah satu yang paling parah terjadi di lokasi tambang galian. Galian C adalah galian yang bukan termasuk bahan galian golongan A (strategis) dan golongan B (vital). Galian C adalah bahan galian industri yang tak punya nilai strategis dan vital, seperti tanah, pasir, kerikil, batuan, dan mineral.
Menurut Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi, Dwi Sawung, faktor utama pemicu longsor itu adalah aktivitas penambangan yang tidak sesuai dengan teknik yang benar. Lebih lanjut, Dwi juga menyoroti lemahnya regulasi pertambangan galian C, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta sejumlah revisi dalam Omnibus Law.
“Regulasi terbaru justru memungkinkan izin diberikan kepada pihak-pihak, seperti organisasi masyarakat keagamaan, bahkan perguruan tinggi. Ini pernah terjadi dulu dan menimbulkan banyak masalah, sekarang kok muncul lagi,” kata Dwi kepada Alinea.id, Rabu (4/6).
Dwi mengatakan, meski sempat ada perbaikan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penertiban tambang non-logam, perkembangan terbaru menunjukkan kemunduran. Izin-izin baru kembali diterbitkan, tanpa memperhatikan kelayakan pelaksanaan tambang. Pengawasan yang semula berada di tingkat daerah, lalu ditarik ke pusat.
“Tapi sebagian kewenangannya memang dikembalikan lagi ke provinsi,” ujar Dwi.
Dwi menambahkan, aktivitas pertambangan di Gunung Kuda yang menyebabkan longsor, tidak sesuai dengan izin dan prosedur resmi. Kejadian serupa sudah berulang kali terjadi, bahkan juga menimbulkan korban jiwa.
“Setahu saya, lokasi tersebut (Gunung Kuda) sudah dua kali mendapat peringatan tertulis. (Peringatan) yang tidak tertulis mungkin lebih banyak lagi. Harusnya sudah ditutup dan izinnya dicabut,” tutur Dwi.
Dwi pun mencurigai adanya perlindungan dari pihak-pihak tertentu terhadap operasional pertambangan tersebut. Sebab, meski sudah mendapat peringatan, aktivitas tambang masih tetap berjalan.
“Kalau sudah diberi peringatan dan tetap beroperasi, biasanya ada yang melindungi. Itulah yang membuat pengawas sulit menutup lokasi tambang,” kata Dwi.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar mengungkapkan, longsor di lokasi tambang galian C Gunung Kuda bukan sekadar akibat bencana alam atau kesalahan teknis. Melainkan hasil dari sistem pertambangan yang rusak secara struktural.
“Ini adalah konsekuensi dari rusaknya tata kelola tambang dari hulu ke hilir,” ucap Melky, Rabu (4/6).
“Permasalahan utamanya bukan hanya pada pelaku yang melanggar, tetapi pada aturan dan sistem yang sejak awal membuka jalan bagi kehancuran.”
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, menurut Melky, adalah salah satu regulasi yang lebih mengutamakan percepatan investasi daripada perlindungan lingkungan. Dalam praktiknya, berbagai aturan turunannya justru dianggap melonggarkan izin dan mengabaikan aspek keberlanjutan.
“Alih-alih menjadi alat mitigasi risiko, aturan ini malah melegalkan perusakan lingkungan,” kata Melky.
“Di lapangan, pengawasan tak dijalankan, evaluasi dampak sosial dan lingkungan hanya formalitas. Penegakan hukum seperti alat pemerasan.”
Di sisi lain, Melky menyorotik praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi di lapangan. Menurut dia, baik penambang legal maupun ilegal, kerap menjadi sasaran pungutan liar dari oknum aparat dan birokrat. Selama ada setoran, pelanggaran bisa diabaikan.
“Inilah wajah hukum tambang di banyak daerah: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Mereka yang punya kuasa dan modal dibiarkan, sementara rakyat kecil hidup di bawah bayang-bayang bencana,” ujar Melky.
Dalam kasus Gunung Kuda, Melky menuturkan, masyarakat sekitar menjadi pihak paling dirugikan. Selain menghadapi ancaman longsor, mereka pun terpapar risiko pencemaran lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.
“Gunung Kuda bukan korban alam. Ia korban dari sistem politik dan ekonomi yang bermental perampok—melihat gunung bukan sebagai ekosistem, tapi sebagai komoditas,” ucap Melky.