close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto ilustrasi prostitusi anak/Pixabay.
icon caption
Foto ilustrasi prostitusi anak/Pixabay.
Peristiwa
Rabu, 13 Agustus 2025 19:00

Dari Saritem ke Starmoon: Kenapa kasus prostitusi anak terus berulang?

Terbaru, polisi mengungkap dugaan eksploitasi seksual terhadap anak di bawah umur di bar Starmoon, Jakarta Barat.
swipe

Kasus-kasus eksploitasi seksual terhadap anak kembali terjadi. Belum lama ini, tim Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya belum lama ini berhasil mengungkap kasus eksploitasi terhadap anak di bawah umur di Bar Starmoon, Jakarta Barat. Sebanyak 12 orang tersangka diringkus dalam kasus tersebut.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary menjelaskan kasus itu terungkap bermula dari laporan polisi bernomor: LP/B/2248/IV/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 3 April 2025. Dalam laporan itu, keluarga SHM--korban prostitusi anak--meminta kepolisian mengusut Bar Starmoon ditengarai melakukan eksploitasi seksual terhadap SHM. 

"Kasus berawal saat korban berinisial SHM (15) mendapat tawaran pekerjaan melalui Facebook sebagai pemandu karaoke dengan bayaran Rp125 ribu per jam di sebuah bar di wilayah Jakarta Barat yang bernama Bar Starmoon," kata Ade kepada wartawan di Jakarta, Jumat (8/8). 

Setelah mulai bekerja sebagai pemandu lagu, SHM ternyata diminta untuk melayani beberapa pria untuk melakukan hubungan seksual. Upahnya sekitar Rp175 ribu-Rp225 ribu. "Orangtua SHM membuat laporan ke polisi setelah mengetahui anaknya hamil 5 bulan setelah bekerja di bar tersebut," kata Ade. 

Mei lalu, kasus serupa juga terungkap di Bandung, Jawa Barat. Setidaknya ada enam korban prostitusi anak yang dipekerjakan di bekas lokalisasi Saritem, Bandung. Mereka direkrut dari sejumlah daerah di Jawa Barat.  

Kapolrestabes Bandung, Kombes Angesta Romano Yoyol menyatakan bahwa praktik itu terstruktur dengan baik, melibatkan perekrutan dari Sukabumi dan Indramayu, tempat penampungan di Saritem, hingga pekerja luar negeri. 

"Ini bukan main-main lagi. Ini sudah bisa kita katakan sindikat besar, nanti kita akan cari, ada temannya yang dipekerjakan ke luar negeri. Identitas (pelaku) sudah (diketahui) dan ini kita lagi cari," kata Angesta kepada wartawan di Bandung, ketika itu. 

Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), pada tahun 2017–2020 tercatat 24.642 kasus kekerasan seksual dan 411 kasus eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) di Indonesia 

Bahkan, diperkirakan ada 70.000–100.000 anak korban ESKA di Indonesia. Wilayah seperti Bandung, Surabaya, Pontianak, dan Lampung disebut sebagai daerah rawan. Di Surabaya, misalnya, diperkirakan ada 2.329 anak dilacurkan dan di Bandung ada sekitar 1.000 anak yang menjadi korban ESKA 

Koordinator Nasional End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia  Indonesia Andy Ardian mengatakan kasus-kasus prostitusi anak terus berulang lantaran bisnis itu membawa keuntungan yang sangat besar bagi pelaku dan sindikat kejahatan tersebut. 

"Tidak seperti narkoba d imana barang tersebut habis di konsumsi, anak yang terlibat prostitusi akan terus memberikan keuntungan buat pelaku selama mereka masih terus bisa dieksploitasi dengan menyediakan jasa seksualnya. Biasanya pelaku menjerat korban dengan pola hidup glamor dan konsumtif yang bisa instan menghasilkan uang," kata Andy kepada Alinea.id, Selasa (12/8).

Masyarakat, kata Andy, sering salah menilai korban sebagai "terlibat secara sukarela". Padahal, di balik gaya hidup glamor dan penampilan rapi, ada manipulasi berat terhadap sisi rentan anak: kebutuhan perhatian, tekanan ekonomi, hingga trauma seksual.

"Saat ini, anak laki-laki sama rentannya dengan anak perempuan menjadi korban eksploiltasi seksual anak. Dalam pandangan masyarakat, anak laki-laki tidak memiliki kerentan di banding anak perempuan. Fakta yang terjadi saat ini, ada banyak anak laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual juga," kata Andy. 

Maraknya kasus-kasus eksploitasi seksual pada anak, lanjut Andy, juga terkait dengan perkembangan teknologi. Media sosial kini menjadi medium baru prostitusi anak. Menggunakan beragam platform, pelaku mempromosikan jasa seksual secara yang murah dan massif secara segmented dan terselubung. 

"UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) sudah menyebutkan terkait kekerasan berbasis sistem elektronik. Namun, secara khusus, kita belum memiliki regulasi terkait perlindungan anak di ranah dalam jaringan (daring) dan juga tidak adanya penerapan teknologi untuk menghambat atau mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak secara online," kata Andy. 

Menurut Andy, Undang-Undang Perlindungan Anak saat ini juga tidak mempidanakan orang yang melakukan upaya grooming atau pendekatan dengan maksud untuk eksploitasi seksual. Padahal, perilaku tersebut sangat berbahaya dan bisa menyebabkan anak menjadi korban, memiliki trauma, dan sulit keluar dari situasi eksploitatif. 

"Kita tidak memiliki mekanisme rehabilitasi bagi pelaku kejahatan seksual anak. Seperti yang kita ketahui, ada pelaku yang memang memiliki kecenderungan seksual hanya terhadap anak dan mereka ini memerlukan intervensi medis dan psikologis yang tepat agar tidak menjadi pelaku kembali," kata Andy. 

Sebagai solusi, Andy juga mengusulkan agar pemerintah membangun mekanisme pengawasan  terhadap pelaku-pelaku kejahatan seksual. Ia mencontohkan beberapa negara yang mengumpulkan dan mengompilasi daftar pelaku kejahatan sexual anak (child sexual register offender). 

Daftar itu, kata Andy, disusun dari data pada kasus-kasus hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap. Data digunakan oleh negara, penegak hukum, dunia pendidikan dan masyarakat untuk mengawasi dan membatasi mereka yang pernah menjadi pelaku kejahatan seksual. "Agar tidak mendapat kesempatan mengulang kejahatan tersebut," kata Andy.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan