Kelompok massa yang menamakan diri Aliansi Rakyat Aceh menggelar aksi unjuk rasa memprotes rencana pemerintah menambah Bataliyon Teritorial Pembangunan di 5 kabupaten di Provinsi Aceh. Mereka menganggap penambahan pasukan militer di Aceh melanggar kesepakatan Helsinki.
"Data yang kita peroleh sekarang sudah hampir 18 ribu personel TNI di Aceh. Apabila ditambah lagi batalyon, maka personel TNI tambah banyak lagi. Ini tentu melanggar perjanjian MoU Helsinki," kata koordinator aksi unjuk rasa, Yulinda di depan Kantor Gubernur Aceh, Senin (7/7).
Batalyon baru rencanaya akan dibentuk di Kabupaten Nagan Raya, Pidie, Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Aceh Timur. Batalyon itu terdiri dari sembilan kompi, dengan rincian lima kompi senapan, satu kompi kesehatan, satu kompi pertanian, satu kompi pembangunan, dan satu Kompi peternakan.
Dalam salah satu poin pada perjanjian Helsinki, keberadaan personel TNI organik di Aceh hanya dibatasi sebanyak 14.700 personel. Perjanjian Helsinki ialah perjanjian damai antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Analis politik dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Mukhrijal berpendapat Aliansi Rakyat Aceh memprotes rencana pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan karena potensial merusak demiliterisasi di Aceh.
"Jadi, ini muncul satu kekhawatiran oleh masyarakat Aceh sendiri yang selama ini masyarakat yang traumatik. Kondisi darurat militer akan muncul," kata Mukhrijal kepada Alinea.id, Selasa (8/7).
Menurut Mukhrijal, tidak ada kondisi mendesak untuk menambah pasukan militer di Aceh. Saat ini, Aceh dalam kondisi damai. Mengirim lebih banyak pasukan militer di Aceh hanya akan membuka memori kolektif masyarakat Aceh pada konflik TNI dan GAM di masa lalu.
"Ini lebih kepada traumatik masa lalu dan juga kondisi di mana masyarakat itu kecewa. Apalagi, kondisi ini juga terkait (sengketa) Blang Padang yang itu tanahnya harus dikelola oleh pemerintah Aceh," kata Mukhrijal.
Selain memprotes penambahan pasukan militer di Aceh, Aliansi Rakyat Aceh juga menuntut pengembalian pengelolaan tanah wakaf Blang Padang ke Masjid Raya Baiturrahman. Tanah wakaf Blang Padang saat ini dikelola oleh TNI.
"Masyarakat menganggap bahwa di Aceh aman saja. Dua puluh tahun damai Aceh tidak ada konflik yang besar. Pemerintah pusat harus percaya dengan kondisi Aceh hari ini sehingga tidak perlu penambahan batalyon di Aceh kalau menyangkut tentang keamanan," kata Mukhrijal.
Ilustrasi prajurit TNI di Aceh. /Foto Instagram @muzakirmanaf1964
Berhati-hati
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpendapat rencana pemerintah membentuk batalyon baru di Aceh harus disikapi bijak. Terlebih, perjanjian Helsinki telah berusia sekitar dua dekade.
Dalam rentang waktu itu, menurut Fahmi, kondisi demografi, geografi, dan kebutuhan operasional pertahanan di Aceh telah berubah. Dengan begitu, perlu penataan ulang peran militer di Aceh yang lebih adaptif terhadap tantangan zaman.
"Ini adalah strategi penguatan sistem pertahanan di masa damai, terutama untuk merespons krisis non-tradisional seperti bencana, wabah penyakit, kelangkaan pangan, dan minimnya infrastruktur dasar," kata Fahmi kepada Alinea.id, Selasa (8/7).
Aksi protes Aliansi Rakyat Aceh, lanjut Fahmi, menunjukkan bahwa warga Aceh masih berlum sepenuhnya bisa menerima kehadiran TNI di Aceh. Ia menyarankan agar pemerintah berhati-hati dalam menyelesaikan sengketa tanah wakaf Blang Padang.
"Perlu dicatat, Blang Padang bukan sekadar lahan kosong, melainkan ruang yang memiliki nilai simbolik dan spiritual yang sangat kuat bagi masyarakat Aceh. Terletak di jantung Banda Aceh, tepat di belakang Masjid Raya Baiturrahman, lahan ini dikenal masyarakat sebagai tanah wakaf," kata Fahmi.
Pada masa konflik, menurut Fahmi, sebagian area di Blang Padang digunakan untuk keperluan militer. Karena itu, sudah seharusnya pengelolaan tanah wakaf itu dikembalikan kepada publik Aceh pada masa damai. Harus ada dialog antara TNI dan warga, termasuk soal rencana pembentukan batalyon baru.
"Dialog yang transparan dan partisipatif. TNI perlu terus menegaskan bahwa kehadirannya bukan untuk mengulang sejarah kelam masa lalu, tetapi untuk mendukung daya tanggap negara dan memperkuat ketahanan nasional dari sisi yang lebih humanistik," kata Fahmi.