close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi PLTN. Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi PLTN. Alinea.id/Aisya Kurnia.
Peristiwa
Senin, 23 Juni 2025 07:11

Tawaran Putin dan temuan uranium di Melawi

Seberapa dekat Indonesia dengan energi nuklir?
swipe

Presiden Rusia Vladimir Putin blak-blakan menawarkan kerja sama di bidang teknologi nuklir kepada Indonesia. Selain yang di belakang layar, tawaran itu ia sampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto dalam jumpa pers bersama di Istana Konstantinovskiy, St. Petersburg, Rusia, beberapa hari lalu. 

"Kami juga berkeinginan untuk merealisasikan proyek nuklir di bidang damai, termasuk bidang kesehatan, pertanian, dan pelatihan staf," kata Putin di hadapan awak media. 

Jika proposal itu diterima Prabowo, Rusia bakal menunjuk Rosatom State Atomic Energy Corporation untuk mengeksekusi pembangunan PLTN di Indonesia. Saat ini, Rosatom sudah punya kontrak membangun PLTN di sejumlah negara di Asia, semisal India dan Vietnam. 

Tawaran dari Putin datang setelah ramai diberitakan temuan potensi uranium sebesar 24.112 ton di Melawi, Kalimantan Barat. Bahan baku nuklir tersebut disebutkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034 yang dirilis, bulan ini. 

Mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan temuan uranium di Melawi merupakan hasil eksplorasi BATAN sejak 1970-an hingga 2021. Bongkahan uranium di Melawi saat ini baru sebatas potensi. 

“Masih perlu eksplorasi lebih lanjut untuk bisa digunakan di PLTN. Uranium itu harus melewati proses panjang termasuk pengayaan, yang saat ini belum dimiliki Indonesia,” ujar Djarot kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Djarot mengatakan tak ada korelasi antara potensi uranium di Melawi dan tawaran Putin. Jika Rosatom ditunjuk Prabowo, perusahaan energi nuklir milik Rusia itu kemungkinan akan membangun PLTN dalam jangka pendek. 

“Sementara pemanfaatan uranium di Melawi bersifat jangka panjang. Tawaran Rusia tidak terkait langsung dengan potensi uranium tersebut,” lanjut Djarot.

Dari sisi teknologi, Djarot menjelaskan bahwa negara-negara besar seperti Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Perancis pada dasarnya menggunakan teknologi berbasis reaksi berantai uranium yang relatif serupa. 

“Semua teknologi bisa diadaptasi untuk kondisi Indonesia, termasuk soal potensi bencana. PLTN pertama bisa dibangun di wilayah yang relatif aman gempa seperti Kalbar atau Bangka,” tambahnya.

Dari sisi SDM dan penguasaan teknologi, Djarot mengatakan Indonesia sebenarnya sudah cukup siap. Ia mencontohkan produksi radioisotop untuk rumah sakit dan radiofarmaka untuk penyakit seperti kanker pada era BATAN. 

Di bidang pertanian, BATAN menghasilkan lebih dari 30 varietas unggul padi, kedelai, sorgum, dan lainnya. Sayangnya, kini sebagian besar produk tersebut justru diimpor karena minimnya dukungan kelembagaan. Salah satu tantangan utama pengembangan nuklir di Indonesia justru berada di level pengambil kebijakan. 

“Regulasi sudah ada, SDM sudah disiapkan sejak 1980-an. Berdasarkan jajak pendapat kami dulu, lebih dari 70% masyarakat juga mendukung. Jadi tinggal keputusan politik, apakah pemerintah memang berniat membangun program nuklir atau tidak. Kalau semuanya sudah ada, tinggal Pak Prabowo ketok palu saja,” ujar Djarot.

Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dalam suasana hangat dan penuh keakraban di Istana Konstantinovsky, St. Petersburg, Rusia, Kamis, 19 Juni 2025. /Foto: BPMI Setpres

Hal senada diungkapkan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto. Ia menyebut bahwa potensi uranium di Melawi perlu dikaji lebih lanjut, termasuk dari sisi kualitas dan kuantitas uranium alam serta pengayaannya. 

“Dari galian uranium, harus dihitung berapa uranium alam yang dihasilkan, kemudian dikayakan menjadi uranium bahan bakar PLTN dengan kadar U-235 sekitar 3–4%. Dari situ bisa dihitung berapa lama uranium tersebut bisa menopang PLTN berkapasitas 200 MW,” ujar Mulyanto kepada Alinea.id

Menurutnya, PLTN merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang cocok untuk menanggung beban dasar (base load) kebutuhan tenaga listrik nasional. Pembangunan PLTN perlu dikebut jika Indonesia benar-benar ingin mengurangi ketergantungan terhadap PLTU. 

“PLTN bisa beroperasi secara kontinu, tidak seperti bayu dan matahari yang bersifat intermiten. Tapi. tentu perlu kesiapan kelembagaan, SDM, dan regulasi. Saya bahkan mengusulkan agar BATAN dihidupkan kembali,” ujar mantan anggota Komisi VII DPR RI itu. 

Dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang disahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada 29 November 2024, energi nuklir masuk ke dalam bauran ketenagalistrikan nasional demi tercapainya target net zero emission (NZE).

Pada 2060, Kementerian ESDM menargetkan sudah terbangun PLTN dengan kapasitas 35 gigawatt elektrik (GWe) yang mampu memproduksi listrik hingga mencapai 276 terawatt-hour (TWh). Dari kapasitas total semua pembangkit listrik, bauran energi nuklir mencapai 7,9%. 

 

img
Ikhsan Bilnazari
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan