close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto berpidato dalam perayaan hari lahir Pancasila di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Juni 2025. /Foto Instagram @prabowo
icon caption
Presiden Prabowo Subianto berpidato dalam perayaan hari lahir Pancasila di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Juni 2025. /Foto Instagram @prabowo
Peristiwa
Senin, 16 Juni 2025 13:00

Kenapa Perpres PBJ dipersoalkan pegiat antikorupsi?

Isi Perpres PBJ justru kontradiktif dengan narasi kebocoran anggaran yang kerap digaungkan Prabowo.
swipe

Isi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 yang merupakan perubahan kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah diprotes para pegiat antikorupsi. Perpres PBJ dinilai rawan kepentingan politik dan punya celah korupsi. 

Sejumlah pasal dipersoalkan, semisal Pasal 38 Ayat (5) dan Pasal 9. Pasal 38 ayat (5) mengatur tentang metode penunjukan langsung pengadaan barang dan jasa dengan syarat dan keadaan tertentu. Adapun pada Pasal 9, disebutkan bahwa pemegang anggaran (PA) berwenang menyesuaikan prosedur, tata cara, tahapan, metode pengadaan, dan jenis kontrak pengadaan. 

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Agus Sarwono isi pasal itu seolah menafikan potensi berulangnya tindak pidana korupsi dalam sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ia juga menyebut penyusunan Perpres PBJ tidak transparan dan minim partisipasi publik.

"Perpres No 46/2025 melanggengkan statusquo lemahnya pemberantasan korupsi di sektor PBJ seperti yang terungkap dalam Survei Penilaian Integritas oleh KPK 2024. Kewenangan yang sangat luas bagi pejabat pengadaan, terutama pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen (PPK) tidak diimbangi mekanisme pengawasan yang memadai," kata Agus kepada Alinea.id, Sabtu (14/6).

Kewenangan pemegang anggaran, menurut Agus, juga diperluas pada Pasal 11 Perpres PBJ.  Pemegang anggaran diberi wewenang untuk menetapkan spesifikasi teknis, penunjukan penyedia jasa dan barang, serta penandatanganan kontrak. 

"Luasnya kewenangan (pengguna anggaran) ini berpotensi untuk mengatur belanja pengadaan, bahkan PA bisa menetapkan penunjukan langsung untuk tender atau seleksi ulang yang gagal," kata Agus. 

Perpres PBJ, kata Agus, bertolak belakang dengan narasi yang kerap diulang Presiden Prabowo Subianto, yakni soal kebocoran anggaran. Metode penunjukan langsung justru lebih rentan membuat kebocoran anggaran lebih parah. 

Agar proses pengadaan pemerintah lebih transparan dan tak dipersoalkan di kemudian hari, Agus mengusulkan agar DPR dan pemerintah menginisiasi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Barang dan Jasa.

"Peraturan Presiden baru justru bertolak belakang dari cita-cita Presiden untuk mengurangi praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah, di mana salah satunya adalah belanja pengadaan," kata Agus. 

Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini berpendapat Perpres PBJ hanya terkesan efisien di permukaan. Mekanisme penunjukan langsung akan menjadi petaka di tangan pejabat yang bermental korup dan minim pengawasan. 

"Kita masih punya PR (pekerjaan rumah) tentang integritas pejabat negeri ini. Beberapa aturan dalam PP ini menghadiahkan diskresi yang begitu besar kepada pejabat, diskresi yang tidak diawasi mini transparansi dan akuntabilitas itu berpotensi besar berujung pada korupsi," kata Orin kepada Alinea.id, Senin (16/6).

Orin menilai sistem pengawasan publik di masing-masing daerah saat ini juga belum merata. Pengawasan publik yang lemah bisa membuka kesempatan bagi perilaku korup."Inspektorat sebagai pengawas di  daerah juga punya problem sendiri, kedudukannya tidak jauh beda OPD (organisasi perangkat daerah)," kata Orin.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan