Lolos Piala Dunia 2026, harapan itu nyata bagi Tanjung Verde
Sementara ini, bersama Uzbekistan dan Yordania, tim nasional sepak bola Tanjung Verde pertama kali lolos ke Piala Dunia 2026 mendatang di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Mereka berhasil menyusul 21 kontestan yang sudah dipastikan tampil ajang kompetisi sepak bola terbesar di dunia itu, setelah membantai Eswatini dengan skor 3-0 pada Senin (13/10) waktu setempat.
Negara asal bek PSM Makassar Yuran Fernandes itu menyusul Aljazair, Ghana, Maroko, Mesir, dan Tunisia yang mewakili Afrika.
Perluasan negara peserta Piala Dunia menjadi 48 tim memang memungkinkan lebih banyak tim untuk bermimpi lolos ke turnamen empat tahunan tersebut. Mungkin bagi Blue Sharks—julukan timnas Tanjung Verde—dahulu Piala Dunia hanya fantasi. Namun, berkat menjadi pemuncak grup D kualifikasi Afrika, mengungguli Kamerun, Libya, Angola, Mauritius, dan Eswatini, kini impian itu jadi kenyataan.
Padahal, Tanjung Verde hanya negara kecil berbentuk kepulauan, yang berpenduduk cuma 525.000 jiwa—hanya 0,21% dari penduduk Indonesia. Dengan jumlah penduduk itu, Tanjung Verde jadi negara berpopulasi terkecil kedua di dunia yang berpartisipasi di Piala Dunia, setelah Islandia.
Dimulai dari nol
Letak geografis yang terpencil dan iklim yang gersang, dengan sedikit sumber daya alam, rasanya mustahil membangun tim sepak bola yang hebat.
Negara ini punya banyak keterbatasan membangun sepak bola. Menurut CNN, standar liga domestik masih rendah dan sumber daya mereka terbatas. Di pulau terbesar, Santiago, semua tim bahkan berbagi stadion yang sama.
Pada April 2000, Tanjung Verde hanya berada di peringkat ke-182—kini peringkat 70—dunia versi FIFA, belum pernah lolos Piala Afrika. Tahun 1998, negara ini belum punya satu pun lapangan rumput. Mereka hanya ikan kecil—bukan hiu biru seperti julukannya—di antara negara-negara kuat Afrika.
Lantas, titik balik muncul usai Tanjung Verde menang di Piala Amilcar Cabral—turnamen antarnegara Afria Barat—pada 2002.
FIFA memberikan dukungan menyediakan fondasi fisik bagi sepak bola di negara itu. Tahun 2016, sudah ada 25 lapangan rumput.
“Proyek-proyek FIFA sangat penting dalam membangun budaya sepak bola di negara ini,” kata mantan Presiden Federacao Cabo-verdiana de Futebol (FCF) atau Asosiasi Sepak Bola Tanjung Verde, Mario Semedo kepada CNN.
Pendanaan FIFA membantu operasional tim nasional. Sementara lapangan sintetis yang dibangun di Santa Cruz, Santiago, telah menguntungkan banyak tim di wilayah tersebut dan memberi lebih banyak kesempatan bagi anak muda untuk bermain bola.
Pendanaan FIFA juga mendukung renovasi besar-besaran Stadion Aderito Sena di Pulau Sao Vicente. Kantor pusat dan pusat pelatihan milik FCF juga direnovasi.
Salah satu pertandingan paling mengejutkan adalah kala Tanjung Verde berhasil mengalahkan negara bekas penjajah mereka, Portugal, dalam sebuah laga persahabatan di Estadio Antonio Coimbra da Mota di Portugal pada 2015 dengan skor 2-0.
Meski, ESPN mencatat, saat itu Portugal menurunkan pemain lapis kedua dengan kiper debutan, dan bermain dengan 10 pemain selama sepertiga pertandingan. Sebelumnya, para 2013, Tanjung Verde berhasil lolos ke Piala Afrika untuk pertama kalinya.

Peran pemain diaspora
Satu hal yang membuat negara ini berhasil adalah pemain diaspora. Menurut The Guardian, sebelum merdeka pada 1975, terjadi gelombang emigrasi besar di negara ini. Diaspora mereka berjumlah beberapa kali lipat lebih besar dan tersebar di berbagai penjuru dunia. Saat mengarungi Piala Afrika 2013, mereka berupaya mengajak para pemain diaspora dan keturunan Tanjung Verde membela tanah leluhur.
Di luar negeri, cukup banyak pemain bintang keturunan Tanjung Verde yang bersinar. Misalnya, Nani yang pernah membela Manchester United memilih membela Portugal, legenda Celtik Henrik Larsson menjadi kapren Swedia, dan Patrick Vieira sukses bersama Prancis.
“Mereka hanyalah beberapa di antara banyak pemain yang, karena kelahiran atau keturunan, bisa saja bermain untuk Tanjung Verde, tetapi justru memilih negara lain di Afrika atau Eropa,” tulis The Guardian.
Sosok pelatih Tanjung Verde tahun 2010-2013 dan 2016-2018 Lucio Antunes membuat fondasi penting kekuatan tim ini. Sebelum menjadi pelatih tim senior pada 2010, Antunes melatih tim muda secara paruh waktu, sembari tetap bekerja sebagai pengatur lalu lintas udara di Bandara Sal.
Setelah menggantikan pelatih asal Portugal, Joao de Deus, dia mulai membina talenta lokal muda sekaligus membuka peluang bagi pemain kelahiran Tanjung Verde untuk berkembang di klub-klub luar negeri.
“Dari 23 pemain yang dibawanya ke Afrika Selatan (Piala Afrika 2013), hanya satu yang bermain di liga domestik. Pemain seperti Ryan Mendes (Lille di Prancis) dan pencetak gol terbanyak Heldon Ramos (Maritimo di Portugal) menjadi contoh sukses pemain Tanjung Verde yang menembus klub-klub Eropa,” tulis The Guardian.
“Sebelumnya sangat sulit menarik pemain untuk membela tim nasional,” kata Mario Semedo kepada CNN.
“Namun, sekarang, semuanya berubah. Ada pemain yang menolak tawaran dari negara lain demi membela Tanjung Verde dan mereka tidak menyesalinya.”
Agen pemain berlisensi FIFA asal Tanjung Verde yang berbasis di New York, Tony Araujo mengatakan, strategi ini adalah langkah cerdas. “Ini (pemain diaspora) memberi kami keunggulan kompetitif dibandingkan banyak negara Afrika lainnya,” ujar Araujo kepada ESPN.
Di Tanjung Verde, liga domestik hanya ada 12 tim. Maka, negara ini sangat bergantung pada pemain diaspora dan mereka yang berkarier di luar negeri. Salah satunya bek klub Irlandia Shamrock Rovers, Roberto Carlos Lopes, yang mendapat panggilan pertama ke tim nasional lewat pesan di situs LinkedIn.
“Skuad saat ini bahkan tidak memiliki pemain yang bermain di lima liga top Eropa. Pencetak gol terbanyak di babak kualifikasi, Dailon Livramento, merupakan pemain Casa Pia, klub peringkat ke-14 di Primeira Liga Portugal,” tulis BBC.
Kestabilan pelatih juga kunci sukses Tanjung Verde. Pedro Leitao Brito atau yang dikenal Bubista menjadi pelatih kepala sejak 2020. Dia berhasil membangun tim yang solid dan disiplin, dengan pertahanan kuat, gelandang kreatif, serta lini depan tajam.
Selain itu, stabilitas politik juga menjadi penting. Menurut ESPN, pada Juni 2014, Kantor Berita Seychelles menilai keberhasilan timnas Tanjung Verde tak lepas dari tata kelola pemerintahan yang baik. Tanjung Verde dikenal sebagai negara demokrasi multipartai yang stabil dan dengan tingkat korupsi yang rendah, menjadikan negara ini aman dan menarik bagi investasi.
Dalam konteks pengembangan sepak bola, warga Tanjung Verde juga menikmati akses universal terhadap pendidikan dasar dan menengah.
Sekarang, penggemar sepak bola di Tanjung Verde tinggal menantikan pengundian Piala Dunia 2026 di Washington DC pada 4 Desember, dan bermimpi menghadapi beberapa negara papan atas dunia tahun depan. Di Tanjung Verde, harapan itu nyata. Bukan harapan itu masih ada.


