close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri Peringatan Hari Buruh Internasional di Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Foto dokumentasi BPMI Setpres.
icon caption
Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri Peringatan Hari Buruh Internasional di Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Foto dokumentasi BPMI Setpres.
Peristiwa
Kamis, 01 Mei 2025 19:20

Memaknai pidato Prabowo di Hari Buruh Internasional

Dalam peringatan Hari Buruh 2025, Kamis (1/5), Prabowo hadir langsung dan berpidato.
swipe

Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya terhadap kesejahteraan pekerja Indonesia. Dalam peringatan Hari Buruh Internasional 2025, Kamis (1/5), Prabowo hadir langsung dan menyerahkan 100 unit rumah subsidi untuk buruh sebagai bagian dari program pembangunan 20.000 rumah murah untuk pekerja, yang terintegrasi dalam target nasional pembangunan tiga juta rumah di kota, desa, dan wilayah pesisir.

Aktivis Nasional dan Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan, Ricky Tamba menilai, sejak menjabat sebagai Presiden, Prabowo telah dikenal luas sebagai figur nasionalis yang konsisten menyuarakan kepentingan buruh. Pada Pilpres 2019, ia menjadi satu-satunya calon presiden yang menandatangani kontrak politik dengan serikat buruh—janji yang disebutnya terbukti bukan sekadar janji kampanye. Prabowo juga tercatat aktif hadir dalam berbagai forum buruh dan terbuka terhadap pengakuan sektor pekerja informal seperti pengemudi ojek daring.

“Setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, Prabowo langsung mengambil langkah konkret. Salah satu kebijakan awal pemerintahannya adalah menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5% untuk tahun 2025, sinyal keberpihakan terhadap daya beli buruh,” ujarnya dalam pernyataan, Kamis (1/5).

Tak hanya soal upah, Prabowo juga mendorong stabilitas harga pangan dan menurunkan tarif layanan yang dikendalikan negara, seperti listrik, untuk menekan biaya hidup masyarakat pekerja. Sejak Januari 2025, pemerintah telah meluncurkan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) bagi seluruh warga, termasuk keluarga buruh. Program ini tidak hanya menjawab isu ketahanan pangan, tetapi juga membuka lapangan kerja baru melalui jaringan dapur dan rantai pasok nasional.

Komitmen pemerintah terhadap kesehatan buruh pun tidak luput dari perhatian. Pada Februari 2025, program Cek Kesehatan Gratis (CKG) mulai digelar untuk seluruh rakyat Indonesia, memberikan akses pelayanan kesehatan dasar secara gratis—kebijakan yang dinilai krusial dalam menjaga produktivitas tenaga kerja nasional.

Dalam menghadapi dinamika ketenagakerjaan, termasuk gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), Prabowo membentuk Satuan Tugas PHK yang melibatkan unsur pemerintah, serikat buruh, dan dunia usaha. Satgas ini dibentuk atas usulan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, dengan mandat utama mempercepat penyaluran pekerjaan baru bagi buruh terdampak.

Secara makro, kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kepercayaan investor juga menunjukkan hasil nyata. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi triwulan I-2025 mencapai Rp465 triliun, naik 15,9% dibanding periode sama tahun lalu, yang membuka lebih dari 594.000 lapangan kerja baru di seluruh Indonesia.

Pemerintah juga tengah menyempurnakan sistem pendataan sosial melalui Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk memastikan setiap bantuan sosial, termasuk untuk buruh, tepat sasaran dan berbasis data akurat.

Jadi angin segar

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, pidato Prabowo adalah angin segar setelah bertahun-tahun isu buruh disisihkan dari arus utama politik ekonomi. Dia bilang, Prabowo telah mengambil langkah awal penting, yakni hadir, berbicara, dan berkomitmen.

Kendati demikian, menurutnya, tantangan yang dihadapi bersifat struktural, dan hanya bisa diselesaikan dengan reformasi mendalam, kolaboratif, dan konsisten.

“Jika keberpihakan presiden dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang terukur dan berjangka panjang, maka Indonesia bisa memasuki era baru relasi industrial—yang tidak hanya produktif, tapi juga adil,” katanya dalam keterangan kepada Alinea.id, Kamis (1/5).

Tantangan pertama: Pekerja gig economy yang terpinggirkan

Di tengah transformasi digital yang melahirkan jutaan pekerja gig seperti pengemudi ojek online, kurir aplikasi, dan freelancer digital, sistem perlindungan sosial nasional belum beradaptasi. Mereka tetap berada di luar jangkauan jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, bahkan kepastian hukum.

Padahal, kelompok ini kini menjadi tulang punggung ekonomi urban. Sayangnya, pidato Prabowo belum secara spesifik menggarisbawahi rencana perlindungan mereka. “Tanpa integrasi ke dalam sistem formal, mereka tetap menjadi kelompok pekerja tanpa negara,” ucapnya.

Tantangan kedua: Kontradiksi dengan UU Cipta Kerja

Komitmen Prabowo untuk menghapus outsourcing dinilai patut diapresiasi. Namun dalam praktiknya, hal ini membutuhkan revisi mendalam terhadap UU Cipta Kerja—regulasi yang justru memperluas fleksibilitas tenaga kerja, termasuk outsourcing dan kemudahan PHK. Tanpa reformasi regulatif, keberpihakan terhadap buruh bisa terhambat oleh kebijakan yang bertentangan.

Tantangan ketiga: 58% pekerja informal tanpa perlindungan

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2024, hampir 58% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal. Meski program seperti jaminan kesehatan gratis dan pendidikan disampaikan dalam pidato, belum tampak skema konkret yang memungkinkan pekerja informal masuk ke dalam sistem formal secara bertahap.

“Model dari negara-negara seperti Brasil dengan microempreendedor individual atau Vietnam yang menggunakan skema iuran sukarela berbasis subsidi bisa dijadikan acuan reformasi nasional,” jelasnya.

Menuju kebijakan ketenagakerjaan yang adil dan inklusif

Pidato Prabowo menjadi bukti negara mulai mendengarkan suara buruh secara serius. Namun, implementasi adalah ujian sesungguhnya. Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional harus menjadi arena nyata bagi dialog sosial yang sistematis, bukan sekadar ruang aspirasi simbolik. Kapasitas birokrasi dan keberanian politik menjadi syarat utama agar janji tidak sekadar berhenti di panggung.

Pertemuan tripartit antara 150 pimpinan buruh dan pengusaha di Istana Bogor juga perlu diformalkan menjadi proses negosiasi rutin yang menghasilkan kesepakatan bersama, bukan hanya panggung seremoni.

Achmad menyebut negara harus memainkan peran aktif sebagai penyeimbang antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Kesejahteraan pekerja tidak boleh menjadi korban dari iklim investasi. Sebaliknya, stabilitas industrial adalah jaminan investasi jangka panjang.

“Untuk itu, Indonesia harus menyusun ulang desain ketenagakerjaan nasional dengan prinsip-prinsip: perlindungan universal, kepastian hukum, insentif bagi formalitas, dan akuntabilitas anggaran,” ucapnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan