close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kecerdasan buatan. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi kecerdasan buatan. /Foto Pixabay
Peristiwa
Kamis, 22 Mei 2025 12:09

Meme "asusila" Jokowi-Prabowo dan urgensi regulasi AI

Konten-konten yang dibuat menggunakan teknologi AI kian marak di dunia maya.
swipe

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mulai memakan korban. Belum lama ini, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS ditangkap polisi lantaran mengunggah foto rekayasa yang menunjukkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) berciuman dengan Presiden Prabowo Subianto. 

Unggahan itu dimaksudkan sebagai kritik atas "kemesraan" antara Prabowo dan Jokowi. Sejumlah analis menyebut sedang ada matahari kembar di lingkaran kekuasaan, merujuk pada pengaruh Jokowi yang masih kuat di pemerintahan Prabowo. 

Namun, Polri berpendapat lain. Meme yang dibikin SSS dianggap bermuatan asusila dan melanggar Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Setelah mengumpulkan cukup bukti, polisi menangkap SSS di Bandung, Jawa Barat, awal Mei lalu. 

Untungnya, kasus itu tak berbuntut panjang. Setelah "dibina", si mahasiswi dibebaskan meskipun masih menyandang status tersangka. ITB juga menyampaikan akan mendampingi SSS supaya tak mengulangi perbuatan serupa di masa depan. 

"ITB berkomitmen untuk mendidik, mendampingi, dan membina mahasiswi tersebut untuk dapat menjadi pribadi dewasa yang bertanggung jawab," ujar Direktur Komunikasi dan Humas ITB Nurlaela Arief dalam keterangan tertulis, Minggu (11/5).

Belakangan, konten-konten yang diproduksi menggunakan AI kian marak di jagat maya. Di YouTube, misalnya, belasan kanal panen "viewer" berkat produk-produk video berisi berita fiktif yang dibuat menggunakan AI.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan Indonesia membutuhkan regulasi untuk memberantas penyalahgunaan gambar dan video yang dihasilkan AI. Ia mencontohkan Take It Down Act yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) untuk memberantas penyebaran gambar dan video yang "meresahkan" pubik, termasuk yang dihasilkan menggunakan AI deepfake. 

Pakar komunikasi digital dari Universitas Airlangga, Henri Subiakto sepakat AI perlu diregulasi. Namun, ia mewanti-wanti agar aturan terkait konten yang diproduksi AI tetap menjunjung tinggi filosofi demokrasi dan tidak mengekang kebebasan berekspresi di kalangan masyarakat. 

"Ya, memang kita butuh regulasi untuk AI," kata Henri kepada Alinea.id saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (20/5). 

Henri mengusulkan agar DPR dan pemerintah menjadikan undang-undang terkait AI yang dibentuk oleh Uni Eropa atau AI European Act sebagai acuan. Menurut dia, AI European Act merupakan regulasi yang tetap mengedepankan prinsip demokrasi. 

"Eropa sama-sama didominasi oleh platform (kecerdasan buatan) dari AS dan China. Regulasi Eropa digodok agar sesuai dengan 27 negara yang beragam," ujar dia. 

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menilai UU terkait AI urgen. Konten yang dihasilkan oleh AI, kata Ardi, cenderung beragam, mulai dari teks, gambar, hingga video. Konten-konteni sering kali sulit untuk diidentifikasi sumbernya dan potensial berisi berita bohong atau hoaks serta hak cipta.

Ardi berpendapat UU mengenai AI bisa melengkapi UU ITE dan Undang- Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Pasalnya, UU ITE dan UU PDP tidak cukup untuk menangani kompleksitas yang muncul dari penggunaan AI. 

"Misalnya, meskipun UU PDP memberikan perlindungan terhadap data pribadi, tidak ada ketentuan yang secara spesifik mengatur bagaimana data tersebut dapat digunakan oleh algoritma AI untuk menghasilkan konten," kata Ardi kepada Alinea.id, Selasa (20/5). 

Ardi mencontohkan "Take Down Act" yang diberlakukan di AS. Regulasi itu jadi salah satu langkah proaktif pemerintah AS untuk mengatasi konten ilegal atau berbahaya yang dihasilkan oleh AI. Konsep ini memungkinkan pihak berwenang untuk dengan cepat menghapus konten yang dianggap melanggar hukum.

"Jika Indonesia mengadopsi pendekatan serupa, hal ini dapat memperkuat upaya perlindungan masyarakat dari dampak negatif AI," kata Ardi. 

Namun demikian, Ardi mewanti-wanti agar pengaturan tekait AI disusun secara bijaksana supaya tidak menghambat inovasi dan perkembangan teknologi. 

"Dialog antara pemangku kepentingan, termasuk pengembang teknologi, akademisi, dan masyarakat sipil sangat penting untuk menciptakan regulasi yang efektif dan inklusif," kata Ardi. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan