Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengundang perwakilan dari platform digital besar seperti Youtube, Netflix, dan Tiktok untuk mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait revisi Undang-Undang Penyiaran.
Anggota Komisi I DPR, Nurul Arifin mengatakan, langkah ini diambil guna memperjelas posisi media over-the-top (OTT) dalam ekosistem penyiaran di Indonesia.
“Masih ada pekerjaan rumah sedikit. Oleh karena itu, kami sesegera mungkin mengundang platform digital besar agar bisa ditemukan titik temu dan kesepakatan bersama,” kata Nurul, baru-baru ini.
Ia menjelaskan pemanggilan tersebut penting untuk memastikan ruang lingkup UU Penyiaran yang akan direvisi—apakah hanya mengatur media konvensional seperti televisi dan radio, atau juga mencakup layanan OTT yang kini semakin dominan.
Menurutnya, dalam era disrupsi digital, perlu ada asas keadilan bagi semua pelaku industri penyiaran, baik konvensional maupun digital. “Supaya pajak yang selama ini lari ke luar negeri bisa dibayarkan di sini. Supaya mereka juga membuka kantor perwakilan di Indonesia dan mengikuti aturan yang berlaku,” ujar Nurul.
Upaya ini dinilai sebagai langkah konstruktif untuk menciptakan level playing field antarpelaku industri penyiaran serta memperkuat kedaulatan digital nasional.
Meskipun belum disebutkan tanggal pasti, Nurul memastikan Komisi I DPR berkomitmen mempercepat penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai tahapan penting menuju finalisasi RUU Penyiaran.
“Saya kira RDPU cukup sekali lagi. Setelah itu, kami langsung ke tahap finalisasi penyusunan. Mudah-mudahan bisa lebih cepat,” katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR, Abraham Sridjaja, menegaskan komitmennya untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Penyiaran yang telah lama tertunda sejak tahun 2012. Menurutnya, revisi terhadap UU Penyiaran menjadi semakin mendesak seiring perkembangan teknologi dan media digital yang pesat.
“RUU Penyiaran ini sudah masuk Prolegnas Prioritas dan harus segera dibahas. Tapi pembahasan harus hati-hati agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain,” ujar Abraham dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Selasa (17/6).
Ia menyoroti perbedaan definisi penyiaran konvensional dan konten digital seperti OTT yang belum sepenuhnya diakomodasi dalam regulasi saat ini. Karena itu, Komisi I membuka wacana untuk memisahkan pengaturan antara penyiaran konvensional dan digital agar lebih tepat sasaran dan tidak menimbulkan konflik kewenangan antarlembaga.
“Kalau kita mengacu pada definisi internasional, broadcasting itu berbeda dengan digital platform. Kalau disatukan begitu saja, bisa jadi ada lembaga yang kewenangannya jadi terlalu besar, dan ini berbahaya kalau tidak ada pengawasan yang tepat,” jelasnya.