close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pengemudi ojek online. Alinea.id/Canva-AI generated content
icon caption
Ilustrasi pengemudi ojek online. Alinea.id/Canva-AI generated content
Peristiwa
Selasa, 03 Juni 2025 15:00

Skema dan algoritma GoJek cs yang kian "mencekik" mitra ojol

Pemerintah saat ini tengah menyusun RUU Transportasi Online dan merevisi UU Ketenagakerjaan demi mengakomodasi tuntutan mitra Gojek cs.
swipe

Meskipun terus-menerus diprotes pengemudi ojek online (ojol), skema promo pengguna dan potongan tarif yang tinggi masih diberlakukan penyedia aplikasi ojol. Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati menyebut masih banyak pengemudi ojol yang melaporkan kehilangan hingga 80% pendapatan mereka karena skema potongan dan promo dari GoJek cs. 

Lily mencontohkan salah satu pengemudi yang mendapatkan Rp5.200 untuk layanan pengantaran makanan. Padahal, pengguna aplikasi membayar Rp18.000 untuk layanan itu. Artinya, ada pemotongan hingga 70% dari upah driver

“Ini jelas tidak adil karena kami tidak mendapatkan bagian 80% dari hasil kerja kami bila mengacu pada aturan pemerintah mengenai potongan platform maksimal 20%,” ujar Lily dalam keterangan pers yang diterima Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Menurut Lily, hampir semua pengelola aplikasi memberlakukan skema diskriminatif yang bikin pendapatan para mitra anjlok. Di antara lainnya, ia menyebut pemberlakuan level atau tingkatan, slot, Argo Goceng (Aceng), hub, dan GrabBike Hemat. 

Jika tak memilih skema prioritas itu, menurut Lliy, pengemudi ojol bakal sulit mendapatkan pesanan. Pendapatan pengemudi ojol kian tergerus karena biaya operasional, semisal parkir, suku cadang, paket data, cicilan atribut, dan perawatan kendaraan. 

“Ini semua yang membuat upah kami per bulan hanya Rp 3 juta, tanpa libur di hari Sabtu-Minggu. Ini jauh dari upah minimum DKI Jakarta. Kami adalah pekerja, tapi perusahaan platform seperti Gojek, Grab, Maxim, ShopeeFood, Lalamove, InDrive, Deliveree, Borzo, dan lainnya tidak mengakui kami sebagai pekerja tetap,” kata dia. 

Situasi itu dibenarkan Roman--bukan nama sebenarnya. Roman sudah 6 tahun jadi pengemudi GoJek. Ia mengaku pendapatannya turun drastis selama beberapa tahun terakhir karena beragam potongan dan sistem level yang diberlakukan perusahaan aplikasi. 

"Kalau balik ke level dasar, susah dapet orderan. Jadi, kita harus jalan terus (menerima pesanan) supaya naek level. Kayak maen Mobile Legends aja. Kalau udah ganti season (musim), turun lagi levelnya. Misalnya, udah mythic, terus balik ke epic," tutur Roman saat berbincang dengan Alinea.id di depan sebuah ruko di Jakarta Barat, Ahad (1/6).   

GoJek memberlakukan empat level bagi para mitra. Level basic atau dasar adalah level dengan potensi mendapatkan pesanan lebih sedikit. Selain itu, ada level silver, gold, dan platinum. Mitra dengan level yang lebih tinggi biasanya memiliki prioritas dalam mendapatkan orderan

Menurut Roman, level mitra itu di-reset tiap bulan. "Kalau sebulan levelnya basic terus, bawa pulang Rp3 juta itu udah bagus banget. Kadang-kadang sehari cuma dapet dua atau tiga (pesanan). Cukup buat beli bensin doang," kata pemuda berusia 29 tahun itu. 

Hasrat pindah profesi, kata Roman, berulang kali terlintas di benaknya. Namun, Roman masih gamang. Apalagi, ia hanya mengantongi ijazah SMA. 

"Ya, mudah-mudahan sih pemerintah nyusun aturan yang memihak ke kita. Kan kita juga kerja beneran. Ngasih untung buat perusahaan, buat pemerintah juga kan," ujar dia.

Mei lalu, ribuan pengemudi ojol menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran menuntut perusahaan dan pemerintah memperhatikan kesejahteraan para mitra Gojek cs. Di antara lainnya, para demonstran mengeluhkan status kemitraan yang merugikan pengemudi serta potongan dari perusahaan aplikasi yang kian mencekik. 

Sehari setelah aksi unjuk rasa besar-besaran itu, sebanyak 66 asosiasi pengemudi ojol diundang Komisi V ke Gedung DPR. Usai rapat dengar pendapat, Ketua Komisi V DPR RI Lasarus menyatakan DPR akan segera membahas rancangan undang-undang mengenai angkutan online.
 
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan relasi antara pengemudi dan perusahaan platform saat ini mencerminkan "kemitraan semu." Perusahaan memiliki kendali sepihak atas seluruh aspek kerja para mitra, mulai dari tarif, jam kerja, hingga sanksi. 

“Para pengemudi tidak diakui sebagai pekerja formal, tapi juga tidak diperlakukan sebagai mitra sejati. Mereka tidak mendapat jaminan sosial, asuransi kerja, ataupun perlindungan dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak,” ujar Achmad saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Lebih jauh, Achmad menyoroti peran algoritma sebagai “majikan tak terlihat” yang menentukan nasib pengemudi tanpa transparansi. Ia menyebut perlunya audit independen dan regulasi yang mengatur keadilan data agar logika mesin tidak menggantikan keadilan manusia.

"Ia menentukan siapa yang mendapat order, berapa penghasilannya, bahkan siapa yang dihukum karena dianggap tidak produktif. Tanpa transparansi, algoritma ini menjadi alat dominasi. Kita butuh mekanisme audit independen atas algoritma dan kebijakan data fairness. Jangan sampai logika mesin menjadi alasan untuk menghilangkan keadilan manusia," tutur Achmad. 

Sejumlah pengemudi ojek online melintas di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1)./AntaraFoto

Mencontoh Inggris 

Achmad sepakat perlu ada regulasi yang memformalisasi status pekerja para pengemudi ojol. Indonesia, kata dia, bisa mencontoh Inggris yang menetapkan status worker—di mana pengemudi tetap mendapat hak dasar walau bukan pegawai tetap. 

"Negara-negara Eropa juga mulai menerapkan prinsip co-regulasi, yakni kebijakan berbasis dialog antara pekerja, perusahaan, dan pemerintah. Ini lebih adil, partisipatif, dan sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi," kata dia. 

Dalam menyusun regulasi, Achmad menekankan agar komunitas ojol dilibatkan secara aktif. "Negara harus hadir bukan hanya membatasi komisi maksimal dan mengaudit algoritma, tapi juga menciptakan forum dialog permanen yang melibatkan pengemudi, perusahaan, dan pemerintah," tuturnya. 

Senada, Koordinator bidang advokasi SPAI Raymond Kusnadi meminta perusahaan menghapus status mitra yang melekat pada pengemudi ojol. Ia menyebut status mitra sebagai siasat perusahaan untuk menghindari kewajiban sebagai pemberi kerja. 

“Hak-hak kami tidak dipenuhi, baik itu dalam bentuk jaminan upah minimum, jaminan sosial, hak cuti, hingga hak berserikat,” kata Raymond kepada Alinea.id. 

Raymond mengapresiasi langkah awal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dalam memperkenalkan bantuan hari raya (BHR) sebagai bentuk pemenuhan hak pendapatan non-upah bagi pengemudi. Namun, ia menilai bahwa BHR belum sebanding dengan tunjangan hari raya (THR) sesuai regulasi ketenagakerjaan.

“Untuk tahun berikutnya, THR harus ditegaskan sebagai kewajiban platform. Kami juga mendesak agar serikat pekerja terus dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Ketenagakerjaan baru,” kata dia. 

 

img
Ikhsan Bilnazari
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan