Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hetifah Sjaifudian, menyoroti tantangan pelaksanaan pendidikan dasar gratis setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguatkan hak warga negara atas pendidikan tanpa pungutan biaya. Salah satu fokusnya adalah keberlanjutan operasional sekolah swasta.
“Selama ini sekolah swasta sudah mendapat dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), tapi belum tentu cukup untuk menopang operasional. Oleh karena itu, perlu skema pendanaan khusus,” ujar Hetifah, dikutip Minggu (1/6).
Hetifah menyebut tiga tantangan utama dalam implementasi putusan MK tersebut, yakni pembiayaan sekolah swasta, kapasitas anggaran pemerintah, serta menjaga kemandirian dan kualitas sekolah swasta.
Ia mengusulkan reformasi alokasi anggaran pendidikan melalui optimalisasi 20% mandatory spending dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta realokasi proyek-proyek non-urgent. Dalam skema ini, sekolah swasta berbiaya rendah dapat menerima subsidi penuh dari negara, sementara sekolah swasta premium tetap diperbolehkan memungut biaya tambahan dengan pengawasan ketat.
“Yang penting adalah konsistensi kebijakan dan koordinasi pusat-daerah. Kami juga mendorong tambahan dana afirmatif untuk sekolah swasta di daerah tertinggal,” tegas Hetifah.
Pihaknya di Komisi X saat ini juga menyusun revisi Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) agar selaras dengan putusan MK, dengan harapan kebijakan ini mampu memperkuat sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.
Diketahui, MK memutuskan pemerintah harus menjamin pendidikan dasar gratis bagi sekolah negeri maupun swasta. Putusan ini merupakan hasil dari permohonan uji materi Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga pemohon individu yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Koordinator Nasional (Kornas) JPPI Ubaid Matraji menyoroti komitmen dan political will presiden yang sangat dibutuhkan untuk menjalankan perintah MK ini.
Pertama, anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD dinilai lebih dari cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Selama ini, anggaran tersebut terpecah dan dikelola oleh puluhan kementerian dan lembaga yang tidak terkait langsung dengan pendidikan, menyebabkan inefisiensi dan salah sasaran.
Maka dari itu, ia berharap Presiden Prabowo bisa menjalankan otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran ini.
Selain itu, perlunya pengubahan skema pembiayaan pendidikan dan mengintegrasikan sekolah swasta ke dalam sistem bebas biaya. Langkah ini disebut memerlukan koordinasi lintas kementerian yang kuat. Yakni, melibatkan Kementerian Keuangan untuk realokasi anggaran masif, Kementerian Dalam Negeri guna sinkronisasi kebijakan di daerah, hingga kementerian lain yang selama ini juga mengelola dana pendidikan.
“Koordinasi dan keputusan strategis selevel ini hanya bisa dipimpin oleh presiden,” ujarnya, dalam keterangan kepada Alinea.id, Rabu (28/5).
Menurutnya, implementasi putusan MK memerlukan payung hukum turunan yang kuat seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Proses pembentukan regulasi ini berada di bawah kendali presiden sebagai kepala pemerintahan. Tanpa arahan tegas dari presiden, regulasi ini bisa tertunda atau tidak efektif.
Sebab, ia menegaskan, sejarah menunjukkan perubahan fundamental di sektor publik membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemimpin tertinggi. Tanpa komitmen politik yang jelas dari presiden, putusan MK ini berisiko menjadi sekadar teks hukum tanpa dampak nyata di lapangan.
“Sebagai kepala negara, presiden memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral tertinggi untuk memastikan hak ini terpenuhi tanpa hambatan biaya. Rakyat Indonesia menantikan kepemimpinan presiden untuk mewujudkan janji konstitusi ini secara nyata,” jelasnya.