Vonis "norak" hakim atas Tom Lembong
Thomas Trikasih Lembong atau yang akrab disapa Tom Lembong dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara akibat kebijakan importasi gula yang ia jalankan saat jadi Menteri Perdagangan (Mendag) periode 2015-2016. Tom Lembong dinyatakan terbukti bersalah dan melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU).
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Thomas Trikasih Lembong, oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) di Jakarta, Jumat (18/7).
Alasan utama majelis hakim menjatuhkan vonis tersebut adalah terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum dan menyebabkan kerugian negara. Hakim Purwanto, anggota majelis hakim lainnya, mengklaim fakta persidangan mengungkap kebijakan impor gula kristlal mentah (GKM) oleh Tom Lembong melanggar ketentuan Undang-Undang tentang Perdagangan.
Selain itu, hakim juga mempertimbangkan temuan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait importasi gula tahun 2016 hingga semester pertama 2017. “Penerbitan persetujuan impor dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilisasi gula kristal putih (GKP) 2016 sampai semester 1 2017 sebanyak 1.698.325 ton tidak melalui rakor,” kata Purwanto.
Meski disebut telah melawan hukum dan merugikan negara, dalam putusannya, majelis hakim Tipikor PN Jakarta Pusat menegaskan bahwa Tom Lembong tak sepeser pun mendapatkan keuntungan dari tindakan korupsi itu.
Sedari awal, kasus dugaan korupsi yang menyeret Tom Lembong penuh kejanggalan. Dalam persidangan, misalnya, jaksa menyebutkan impor yang diputuskan Tom ketika menjadi menteri dilakukan ketika Indonesia mengalami surplus gula.
Namun, saksi dari Kementerian Pertanian menyampaikan data sebaliknya. Pada pada periode itu, saksi menyebut terjadi defisit sekitar 177 ribu ton. Kesimpulan jaksa bahwa petani dirugikan juga terbantahkan keterangan saksi dari Kementerian Perdagangan.
Tom didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar. Angka itu didapat dari hitung-hitungan keuntungan sejumlah perusahaan swasta yang digandeng PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk mengolah gula mentah serta kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak impor.
Dalam pledoinya, Tom juga mempertanyakan hasil audit BPK terhadap potensi kerugian negara dalam kasus yang menjeratnya. Menurut Tom, hasil audit BPK angkanya bergeser hingga 45%. Pergeseran angka audit itu dianggap tak lazim.
"Jelas merupakan prinsip dasar dalam profesi akuntansi bahwa hasil audit paling akan bergeser plus-minus 5% atau plus-minus 10%. Mana mungkin sebuah audit menghasilkan angka yang bergeser hingga 45%," kata Tom.
Di luar pledoi, Tom juga memaparkan kejanggalan-kejanggalan dakwaan jaksa di akun instagramnya pribadinya, @tomlembong. Akun itu saat ini dikelola oleh tim khusus atas persetujuan Tom.
Salah satu yang dipersoalkan ialah tuduhan jaksa penuntut soal penunjukkan koperasi dalam importasi gula. Menurut jaksa, Tom semestinya menunjuk BUMN sebagai pelaksana impor gula. Penunjukan koperasi dianggap melanggar aturan.
"Di samping tidak ada aturan yang melarang saya tunjuk koperasi, saya juga tidak akan pernah berhenti membela koperasi dan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah)," ujar Tom.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai vonis 4,5 tahun penjara untuk Tom Lembong sangat aneh. Menurut dia, Tom Lembong semestinya dibebaskan karena kebijakan yang ia keluarkan saat jadi Mendag bukan tindak pidana korupsi.
"Bahwa ada keputusannya menguntungkan pihak lain dari perspektif perbuatan tidak menikmati hasil korupsinya. Demikian juga dari perspektif pidana murni, kebijakan dan pengambil kebijakan tidak bisa dipidanakan," kata Fickar kepada Alinea.id, Sabtu (19/7).
Fickar mengaku mengamati proses hukum yang dijalani Tom Lembong sejak ditetapkan sebagai tersangka. Mengacu pada fakta-faktar persidangan yang terungkap, Fickar sempat meyakini majelis hakim PN Tipikor akan mengeluarkan putusan onslag van rechtvervolging atau putusan lepas. Faktanya, Tom tak terbukti memperkaya diri dalam perkara itu.
"Oleh karena itu, putusan ini sangat norak. Hakim terjebak pada solidaritas korps buta sesama aparatus negara sehingga mengorbankan kemandiriannya sebagai hakim. Ini berbahaya bagi perkembangan kejaksaan dan kehakiman yang merdeka," kata Fickar.
Fickar juga mempersoalkan argumentasi hakim yang merembet pada persoalan liberalisme dalam perdagangan internasional. Menurut Fickar, hal itu bukan ranahnya hakim. Ia optimistis Mahkamah Agung (MA) bakal merevisi putusan terhadap Tom.
"Putusan ini akan dibatalkan dan akan membebaskan TL karena kebijakan tidak bisa diadili, tidak dipidanakan. Inilah putusan yang terpaksa mengikuti tuntutan jaksa. Padahal fakta persidangannya justru berbicara lain," kata Fickar.
Preseden buruk
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menilai vonis terhadap Tom Lembong bisa menjadi preseden buruk bagi para pejabat yang di kemudian hari berlawanan dengan pihak penguasa.
Menurut Orin, tidak ada mens rea atau niat jahat dalam kebijakan impor gula yang dikeluarkan Tom. Jika berlandaskan pada fakta-fakta persidangan, Tom semestinya tak dihukum seberat itu atau bahkan dibebaskan oleh hakim.
"Kasus ini sangat berbeda dengan kasus korupsi lainnya karena biasanya kasus korupsi ada penerimaan keuntungan yang dinikmati, ada sederet desain yang di rencanakan untuk merugikan negara agar dirinya, orang lain, atau korporasi menerima keuntungan sehingga niat jahat terpenuhi," kata Orin kepada Alinea.id.
Vonis terhadap Tom, kata Orin, juga mencoreng citra peradilan pidana lantaran kasus itu dipenuhi dengan beragam kejangalan. Muncul kesan bahwa lembaga peradilan bisa dijadikan alat untuk menghabisi lawan-lawan politik.
"Jika ada pengingkaran terhadap kebenaran atau desain untuk menghukum yang bersangkutan, tentunya ini sungguh miris. Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah," kata Orin.
Penetapan Tom sebagai tersangka sejak awal sudah dipersoalkan berbagai kalangan. Banyak yang menduga Tom dikriminalisasi lantaran mendukung Anies Baswedan di Pilpres 2024. Tom merupakan salah satu tokoh yang vokal mengungkap "borok" pemerintahan Jokowi.


