close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad melantik empat orang anggota DPR RI Pengganti Antar-Waktu (PAW) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Pembukaan Masa Sidang IV Tahun Sidang 2023-2024, di ruang rapat Paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3). /Foto dok. DPR RI
icon caption
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad melantik empat orang anggota DPR RI Pengganti Antar-Waktu (PAW) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Pembukaan Masa Sidang IV Tahun Sidang 2023-2024, di ruang rapat Paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3). /Foto dok. DPR RI
Politik
Jumat, 25 April 2025 12:29

Berkaca dari kasus Harun Masiku, perlukah PAW dihapus?

Setidaknya ada dua permohonan uji materi terhadap pasal-pasal yang mengatur mekanisme PAW di DPR di meja MK.
swipe

Ketentuan pergantian antar waktu (PAW) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) digugat publik ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, setidaknya ada dua permohonan uji materi terhadap pasal-pasal yang mengatur mekanisme PAW di DPR. 
 
Gugatan pertama teregistrasi dengan nomor perkara 41/PUU-XXIII/2025. Para pemohon dalam gugatan ini, yaitu Chindy Trivendy Junior, Halim Rahmansah, Insan Kamil, Muhammad Arya Ansar, dan Wahyu Dwi Kanang. Adapun gugatan kedua dilayangkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan teregistrasi dengan nomor 42/PUU-XXIII/2025.

Salah satu poin utama dalam kedua gugatan itu ialah meminta MK menghapuskan atau memperbaiki isi Pasal 239 Ayat 2 Huruf d UU MD3. Tertulis pada pasal itu, anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Para penggugat berargumentasi pemberlakuan PAW atau recall  bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Pasalnya, meskipun dipilih langsung oleh rakyat, anggota DPR bisa "dipindahtugaskan" sesuai kehendak ketua umum parpol. Hak PAW yang dimiliki parpol juga dianggap mengancam independensi parlemen

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati setuju mekanisme PAW tak diserahkan pada parpol. Sselama ini partai mengganti legislator yang di PAW seenaknya tanpa menimbang suara rakyat. Selain itu, proses PAW anggota DPR juga kerap bermasalah. 

Namun, Neni tidak sependapat PAW anggota DPR disertai pemilu di dapil asal anggota DPR yang akan diganti sebagaimana usulan para pemohon uji materi. Pemilu khusus untuk PAW, kata dia, bakal menghabiskan banyak anggaran. 

"Jika pemilu ulang, menurut saya, akan terjadi penghamburan anggaran. PAW lebih baik diserahkan sesuai ketentuan KPU (Komisi Pemilihan Umum) di mana perolehan suara tertinggi selanjutnya yang mendapatkan kursi," kata Neni kepada Alinea.id, Kamis (24/4). 

Sebelum kasus suap Harun Masiku, mekanisme PAW sebenarnya tak pernah memunculkan persoalan. Pasalnya, sudah ada ketentuan anggota DPR yang kena PAW wajib digantikan oleh caleg dengan raihan suara kedua terbanyak di dapil yang sama dengan anggota DPR itu. 

Pada kasus Harun Masiku, PDI-P menggugat dua Peraturan KPU (PKPU) ke Mahkamah Agung (MA). Inti gugatan ialah meminta agar pengganti caleg meninggal ditentukan parpol. PDI-P ingin agar Harun Masiku bisa menggantikan Nazarudin Kiemas, kader PDI-P pemenang Pileg 2019 di dapil Sumatera Selatan 1. 

Harun Masiku, ketika itu, hanya mengantongi 5.878 suara alias berada urutan ke-6 di jajaran kader PDI-P yang berkompetisi di dapil Sumatera Selatan 1. Supaya aturan bisa diubah, Harun Masiku juga menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. 

Neni berpendapat PAW semestinya cukup diserahkan kepada KPU berbasis hasil perolehan suara. "Jangan mau dibenturkan dengan parpol, kecuali kalau memang yang caleg bersangkutan memiliki masalah hukum," kata Neni. 

Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Bakir Ihsan sepakat perlu ada revisi aturan PAW supaya tidak disalahgunakan oleh parpol. PAW kerap jadi alat kontrol bagi kader-kader yang jadi anggota DPR supaya selalu sejalan dengan arahan parpol. 

"Mereka terjebak pada sentralisme kekuasaan yang mematikan mekanisme demokrasi di dalam tubuh partai. Nampaknya, hal ini dinikmati oleh elite partai karena sangat menguntungkan dirinya. Kalau pun terjadi pergantian di ranah elite, sulit mengubah kecenderungan elitisme tersebut karena mereka menikmatinya," kata Bakir kepada Alinea.id

PAW yang bermasalah, kata Bakir, tak akan terjadi jika partai politik menjalankan meritokrasi dalam rekrutmen dan regenerasi kepemimpinan di internal. 

"Sehingga, partai betul-betul menjadi candradimuka munculnya pemimpin-pemimpin yang moderat, tidak elitis yang justru mengingkari demokrasi," kata Bakir.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan