close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi lampu lalu lintas. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi lampu lalu lintas. /Foto Unsplash
Peristiwa
Sabtu, 23 Agustus 2025 07:06

Urgensi lampu merah ramah disabilitas: Kenapa UU LLAJ perlu direvisi?

UU LLAJ belum mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas buta warna parsial.
swipe

Dua jurnalis, Singgih Wiryono dan Yosafat Diva Bayu Wisesa, resmi mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). 

Dalam permohonan uji materi, mereka menyoroti sistem lampu lalu lintas yang hanya mengandalkan tiga warna—merah, kuning, dan hijau—tanpa mempertimbangkan kebutuhan penyandang buta warna parsial.

Permohonan diajukan melalui tim kuasa hukum VST and Partners yang dipimpin Viktor Santoso Tandiasa. Viktor menilai negara wajib menyediakan akomodasi yang layak agar keselamatan pengguna jalan terjamin.

“Klien kami setiap hari menghadapi ancaman keselamatan karena keterbatasan penglihatan warna yang tidak diakomodasi UU. Solusinya bisa dengan simbol tambahan atau bentuk berbeda pada lampu lalu lintas,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (20/8).

Dalam gugatannya, Singgih dan Yosafat meminta MK menafsirkan ulang pasal-pasal UU LLAJ agar APILL wajib mengakomodasi difabel, misalnya dengan perubahan bentuk, variasi warna yang lebih kontras, atau penambahan jarak antar lampu. 

Menurut mereka, langkah ini bukan sekadar kepentingan pribadi, melainkan menyangkut keselamatan semua warga negara. “Keselamatan lalu lintas adalah hak semua orang. Jalan raya harus menjadi ruang inklusif bagi penyandang buta warna parsial,” kata Singgih Wiryono.

Serupa, Yosafat menekankan pentingnya prinsip nondiskriminasi dalam aturan publik. “Negara tidak boleh membiarkan regulasi yang secara tidak langsung mendiskriminasi sebagian warganya. UU LLAJ harus diperbarui agar lebih adil dan manusiawi,” jelasnya.

Buta warna parsial adalah kondisi ketika seseorang kesulitan membedakan warna tertentu, misalnya merah dengan hijau, atau biru dengan ungu. Menurut data National Eye Institute (NEI) Amerika Serikat, kondisi ini dialami sekitar 8% pria dan 0,5% wanita di seluruh dunia. 

Di Indonesia, data spesifik memang belum dipublikasikan, namun diperkirakan jutaan orang mengalaminya. Kondisi ini bisa memengaruhi kemampuan seseorang membaca tanda atau lampu lalu lintas dengan benar, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan.

Saat ini, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011, yang mewajibkan negara menyediakan fasilitas publik yang ramah dan dapat diakses semua kelompok, termasuk penyandang disabilitas sensorik seperti buta warna.

Revisi UU LLAJ 

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai gugatan ini membuka ruang diskusi penting. Menurutnya, revisi UU LLAJ memang sedang dirancang, namun saat ini pembahasannya mandek di parlemen.

“Bisa jadi saat membuat UU LLAJ dulu, (DPR) tidak melibatkan kelompok disabilitas,” ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (22/8).

Djoko menambahkan, solusi teknis yang bisa diterapkan antara lain menambahkan angka hitung mundur pada lampu lalu lintas, fitur suara (audible signals), atau penggunaan simbol berbentuk untuk tiap warna.

“Segera revisi UU LLAJ dengan melibatkan kelompok disabilitas kemudian menambahkan fitur seperti angka mundur,” jelasnya.

Jepang dan Amerika Serikat telah menerapkan lampu lalu lintas dengan tambahan bentuk atau angka hitung mundur untuk meningkatkan keamanan. Di Jepang, lampu hijau cenderung terlihat biru kehijauan agar lebih mudah dibedakan bagi penderita buta warna.

 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan