sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Calon tunggal dan aksi main mata di pilpres 2019

Pasal 222 UU Pemilu menyebutkan, ambang batas pencalonan presiden adalah 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional pada pemilu legislatif.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Jumat, 09 Mar 2018 13:52 WIB
Calon tunggal dan aksi main mata di pilpres 2019

Ketentuan mengenai ambang batas presiden memaksa sejumlah parpol berkoalisi, sehingga aksi main mata antara parpol gurem dengan parpol besar jadi tak terhindarkan. Pasalnya, tiap parpol tentu punya jagoan sendiri yang ingin diusung dari kendaraan politik mereka.

Dari 15 parpol peserta pemilu 2019, hanya ada 10 partai yang telah memiliki modal suara dan kursi dari pemilu sebelumnya. Sementara, meskipun jadi peserta pemilu 2014, Partai Bulan Bintang (PBB) tak memiliki kursi karena presentasi suara hanya sebesar 1,46% saja. Berikutnya empat parpol baru Partai Garuda, Perindo, PSI, dan Partai Berkarya otomatis hanya jadi penggembira dalam proses pencalonan presiden. Mengingat mereka belum pernah terlibat dalam pemilu legislatif 2014.

Melongok kembali syarat ambang batas pencalonan, kemungkinan hanya ada tiga hingga empat pasangan calon yang akan bertarung pada pilpres mendatang.

Meski begitu, hitungan politik berbeda dengan hitungan matematis. Menyimak peta koalisi yang berkembang sekarang, tak menutup kemungkinan, ada dua bahkan satu calon saja. Secara konstitusional, pilpres yang diikuti satu calon sah-sah saja.

Politisi Partai Persatuan Pembanguan (PPP) Fernita Darwis mengatakan pasangan calon (paslon) tunggal pada perhelatan pilpres memang hal baru dalam UU Pemilu. Namun, menurutnya itu tidak merusak substansi demokrasi dan proses demokrasi pun bisa tetap berjalan. "Keberadaan pasangan calon tunggal di pemilihan presiden 2019 tidak merusak demokrasi, bagi yang tidak suka dengan paslon tunggal, silakan tidak memilihnya," katanya dalam acara diskusi bertajuk "Konstitusionalitas Calon Tunggal Presiden 2019" di Kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta, Kamis (8/3).

Dia menegaskan, keberadaan paslon tunggal sudah diatur dengan jelas dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan berkenaan dengan paslon tunggal ini pula sudah ada yurisprudensi dalam Pilkada Serentak 2015, serta Pilkada Serentak 2018 mendatang. Dalam pelaksanaannya, pilkada pun tetap berlangsung dengan baik.

Paslon tunggal itu memungkinkan, ketika publik merasa puas terhadap kinerja Presiden Jokowi. Alhasil koalisi pengusung paslon presiden pun akan jadi koalisi gemuk, akibat banyaknya parpol yang main mata ingin bergabung.

Hingga saat ini, Jokowi sendiri sudah diusung sejumlah parpol seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai NasDem, Hanura, Golkar, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan, Perindo, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Namun belakangan PKPI dinyatakan gagal menjadi peserta pemilu.

Sponsored

Meskipun calon tunggal dimungkinkan, itu justru akan mereduksi demokrasi yang lebih berwarna. Apalagi dalam aturan UU Pemilu ihwal ambang batas presiden, mestinya ada beberapa nama yang muncul dalam konstelasi pilpres.

Sementara, lanjut Fernita, hanya tampak polarisasi pada dua kubu, Jokowi dan Prabowo Subianto.Untuk kubu Prabowo, Partai Gerindra dan PKS masih terlihat solid. Sedang PAN, PKB, maupun Demokrat sudah main mata dengan dua calon, namun belum memutuskan melabuhkan dukungan pada pihak manapun. Sisanya sudah menyatakan dukungan pada calon petahana.

"Bisa saja nanti Golkar mengusung kandidat capresnya sendiri, sehingga masih membuka peluang untuk mengusung dua atau lebih paslon yang bertarung di Pilpres 2019," ujar Fernita.

Berita Lainnya
×
tekid