sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Fraksi PAN harap MK tidak membatalkan keputusan hakim sebelumnya soal sistem proposional tertutup

Dalam konteks pengujian UU pemilu di MK, kelihatannya ada beberapa isu strategis lain yang tidak dikabulkan oleh MK.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 30 Des 2022 10:54 WIB
Fraksi PAN harap MK tidak membatalkan keputusan hakim sebelumnya soal sistem proposional tertutup

Ketua Fraksi PAN DPR, Saleh Partaonan Daulay meminta hakim Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten dengan keputusan hakim sebelumnya dalam memutuskan uji materi atau judicial review Undang-undang Kepemiluan terkait sistem proporsional tertutup. Menurutnya, sampai ada dugaan bahwa MK cenderung tidak berlaku adil karena lebih memilih salah satu sistem dari pada yang lainnya.

"Saya tentu tetap berharap agar para hakim konstitusi tetap konsisten dengan putusan yang sudah pernah dibuat oleh para hakim sebelumnya. Ini penting untuk menjaga wibawa dan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan kita. Terutama kepada Mahkamah Konstitusi yang lebih dikenal sebagai the guardiance of the constitution," ujar Saleh kepada wartawan di Jakarta, Jumat (30/12). 

Menurut Saleh, sejak 2008, sistem pemilu yang dipakai adalah sistem proporsional terbuka. Sistem tersebut diberlakukan sebagai bentuk ketaatan kepada putusan MK tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.

"Keputusan MK itu sudah benar. Buktinya, sudah dipakai berulang kali dalam pemilu kita. Setidaknya pada pemilu 2009, 2014, dan 2019. Sejauh ini tidak ada kendala apa pun. Masyarakat menerimanya dengan baik. Partisipasi politik anggota masyarakat juga tinggi. Sebab, dengan sistem itu, siapa pun berpeluang untuk menang. Tidak hanya yang menempati nomor urut teratas," katanya.

Saleh mengutip argumen Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi dalam bagian pertimbangan putusan pada 2018. Bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat. Sebab, kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. 

Bahkan menurut Arsyad kala itu, lanjut Saleh, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Menurut Arsyad, memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

"Argumen itu jelas tertuang dalam pertimbangan hukum majelis ketika itu. Tentu sangat aneh, jika argumen bagus dan rasional seperti itu dikalahkan. Apalagi, putusan MK itu kan sifatnya final dan mengikat," ucap Saleh.

"Kalau sudah final, sudah mengikat, sudah dipraktikkan, kok masih mau diubah? Kelihatannya ada yang memiliki agenda besar di dalam pengujian pasal sistem pemilu ini," imbuhnya 

Sponsored

Saleh lebih lanjut mengatakan, dalam konteks pengujian UU pemilu di MK, kelihatannya ada beberapa isu strategis lain yang tidak dikabulkan oleh MK. Salah satu di antaranya adalah pengujian pasal terkait presidential threshold. Dia menyatakan, ada banyak lembaga dan elemen yang sudah mengajukan judicial review untuk menghapus presidential threshold tersebut, tetapi tidak pernah dikabulkan MK. 

"Ada apa ini? Yang nyata berpihak pada rakyat seperti ini tidak dikabulkan? Yang sesuai dan sejalan dengan keinginan rakyat malah mau diganti? Ini yang menjadi desas-desus di tengah masyarakat yang perlu diperhatikan oleh para hakim MK. Kalau memakai pendekatan rasionalitas dan hati nurani, sepertinya suara dan keinginan rakyat haruslah didahulukan oleh MK," pungkasnya.

Diketahui, wacana kembali ke sistem proporsional tertutup muncul setelah sejumlah kader PDI Perjuangan (PDIP) dan Partai NasDem mengajukan uji materi atau judicial review terhadap sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka menggugat pasal yang mengatur pemungutan suara dilakukan dengan mencoblos calon anggota legislatif atau sistem proporsional terbuka. Mereka ingin proporsional tertutup yang diterapkan.

Sejumlah Pasal yang digugat yaitu Pasal 168 ayat 2, Pasal 342 ayat 2, Pasal 353 ayat 1 huruf b, Pasal 386 ayat 2 huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat 2, dan Pasal 426 ayat 3 UU Pemilu.

Berita Lainnya
×
tekid