sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Haruskah kepala negara punya keluarga harmonis?

Joko Widodo kerap ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang punya keluarga harmonis. Kondisi yang terlihat berbeda dengan Prabowo Subianto.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Jumat, 05 Apr 2019 14:34 WIB
Haruskah kepala negara punya keluarga harmonis?

Dalam beberapa kesempatan, calon presiden petahana Joko Widodo kerap menggambarkan dirinya bersama keluarga besar yang harmonis. Misalnya saja ketika keluarga besar presiden ke-7 Indonesia itu berjalan-jalan santai di Kebun Raya Bogor bersama istri, anak-anak, dan cucunya pada akhir 2018 lalu. Kehangatan keluarga Jokowi pun pernah ditampilkan di beberapa acara televisi.

Jokowi pun sering muncul bersama cucunya, Jan Ethes—anak dari Gibran Rakabuming Raka dan Selvi Ananda—dalam beberapa kesempatan.

Para pendukung calon presiden nomor urut 01 ini pun kerap menyinggung keterkaitan keluarga dan seorang pemimpin. Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Erick Thohir pernah menyinggung bila Jokowi adalah sosok pemimpin, bapak, dan suami yang baik.

Hal itu ia ungkapkan saat acara “Perempuan Bandung #01 Bersatu Optimis Indonesia Maju” di Gelanggang Olahraga Padjadjaran Bandung, Minggu (10/3).

"Saya yakin ibu-ibu yang hadir di sini mau pilih suami yang baik kan. Karena kalau kita bisa mengurus keluarga, ini menjadi salah satu ciri dia bisa mengurus negara," kata Erick saat itu.

Para pendukung Jokowi di media sosial pun selalu menyindir dan membandingkan antara keluarga Jokowi dengan keluarga Prabowo Subianto, lawannya di pemilu mendatang. Prabowo sendiri dianggap sebagian orang yang gagal membina rumah tangga, setelah bercerai dengan Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto pada 1998.

Masa kecil lebih penting

Presiden Joko Widodo bersama keluarga besarnya ketika jalan-jalan santai di Kebun Raya Bogor akhir 2018 lalu. /facebook.com/Jokowi.

Sponsored

Psikolog Rose Mini Agoes Salim mengatakan, keberhasilan seseorang memimpin sebuah keluarga tak bisa menjadi cerminan keberhasilan memimpin organisasi maupun negara. Menurutnya, seseorang yang sudah terbiasa menghadapi keluarga kecilnya, ia akan membutuhkan keluarganya saat menghadapi masalah.

“Jika seseorang sudah terbiasa tak berkeluarga, ia akan mencari coping mechanism (mekanisme koping) dengan cara lain, bisa bercerita ke temannya,” kata Rose saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (4/4).

Lebih lanjut, kata pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini, masa anak-anak lebih berpengaruh banyak dalam membentuk jiwa kepemimpinan ketimbang saat berumah tangga. Kepemimpinan di rumah tangga, kata Rose, memang ada pengaruhnya. Namun, tak sedalam waktu kecil.

“Menilai kepemimpinan harus dilihat dari masa lalunya,” ujar Rose.

Menurut Rose, bila anak diberikan banyak kesempatan untuk berpikir, akan berdampak untuk membentuk jiwa kepemimpinan.

Senada dengan Rose, public speaker, trainer, dan coach yang fokus kepada transformasi kepemimpinan diri Prasetya M. Brata mengatakan, kepemimpinan harus diasah sejak kecil. Prasetya menjelaskan, banyak masalah sikap dan perilaku orang yang tidak memberdayakan dirinya berasal dari pola pengasuhan waktu kecil.

“Keluarga menjadi salah satu institusi yang amat penting dalam proses pembentukan kepemimpinan. Apalagi di Indonesia yang nilai-nilai kekeluargaannya masih tinggi, maka keluarga amat berpengaruh,” kata Prasetya saat dihubungi, Kamis (4/4).

Prasetya M. Brata berpendapat, keberhasilan memimpin keluarga hanya salah satu indikator dari pemimpin yang baik. Sebab, kepemimpinan menurut Prasetya, intinya kuasa untuk memengaruhi diri sendiri dan orang lain guna mencapai suatu tujuan tertentu.

Prasetya menekankan, ada beberapa syarat agar seorang pemimpin bisa dikatakan berhasil. Pertama, punya tujuan. Kedua, memiliki sumber daya mencapai tujuan. Ketiga, punya cara mencapai tujuan.

“Keempat, mampu menggerakkan orang lain, baik melalui kemampuan persuasi atau komunikasi, dan keteladanan agar orang-orang mau mencapai tujuan itu dengan cara yang disepakati bersama,” ujar CEO Gugah Makna Titik Tuju ini.

Berdasarkan hal tersebut, Prasetya melanjutkan keberhasilan kepemimpinan dapat dilihat dari bagaimana ia memimpin dirinya sendiri, orang lain, dan orang-orang terdekat atau keluarga.

Status Jokowi dan Prabowo

Prabowo Subianto dan Titiek Soeharto saat melaksanakan acara jalan sehat pada Februari 2019. /instagram.com/titieksoeharto.

Sementara itu, pengamat politik dan dosen Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai, keberadaan seorang ibu negara tak diatur dalam konstitusi di Indonesia. Akan tetapi, Ujang mengatakan, seorang istri presiden menjadi penting.

“Karena merupakan first lady yang akan mendampingi presiden dalam tugas-tugas kenegaraan,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini saat dihubungi, Kamis (4/4).

Ujang menuturkan, bagaimanapun peran seorang istri sangat penting untuk mengingatkan suaminya ketika salah jalan. Ujang pun melihat dinamika yang berkembang di masyarakat mengenai status duda Prabowo.

“Prabowo dianggap gagal dalam membina mahligai keluarga karena ketiadaan istri,” tutur Ujang.

Ujang menilai, mengabaikan kritikan tersebut sangat penting bagi Prabowo. Justru, jika ditanggapi, kata Ujang, bisa menjadi sentimen negatif bagi calon presiden nomor urut 02 tersebut.

“Jadi, diam atas isu tersebut bagi Prabowo adalah lebih baik,” katanya.

Meski berstatus sebagai duda, bila nanti terpilih menjadi presiden, Prabowo bukanlah satu-satunya kepala negara yang jomlo. Dahulu, Amerika Serikat memiliki Thomas Jefferson, sebagai presiden yang tak punya istri. Istri Jefferson meninggal dunia akibat penyakit diabetes pada 1782, 19 tahun sebelum dirinya menjadi presiden.

Presiden Rusia kedua (2000-2008) dan keempat (2012-sekarang) Vladimir Putin pun saat ini tak punya pasangan. Putin resmi bercerai dengan istrinya, Lyudmila Aleksandrovna Ocheretnaya, pada 2013 lalu.

Selain itu, Presiden Bolivia Evo Morales yang menjabat sejak 2006 memilih hidup melajang. Ia mengangkat kakak perempuannya, Esther Morales Ayma sebagai ibu negara. Ada pula Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang memerintah sejak 2010. Hingga kini, ia memilih tidak menikah.

Sejumlah kepala negara memimpin tanpa ibu negara.

Di sisi lain, Ujang pun melihat, Jokowi yang dicitrakan sebagai keluarga harmonis, bersahaja, dan bahagia punya pengaruh positif. Namun, hal itu tak akan memberikan pengaruh dengan kenaikan elektabilitas.

“Karena urusan keluarga itu urusan privat,” ucap Ujang.

Ujang memandang, kampanye tentang keharmonisan keluarga Jokowi tak akan menjadi blunder bagi kubu Jokowi. Sebab, kata Ujang, pemberitaan terkait keluarga Jokowi selama ini jarang ada yang negatif.

Berita Lainnya
×
tekid