sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Hasil Pilkada serentak tak jadi acuan Pilpres 2019

Hasil Pilkada Serentak 2018 kerap dijadikan sebagai acuan untuk menentukan Pilpres dan Pileg 2019 mendatang. Benarkah?

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 05 Jul 2018 03:35 WIB
Hasil Pilkada serentak tak jadi acuan Pilpres 2019

Hasil Pilkada Serentak 2018 kerap dijadikan sebagai acuan untuk menentukan Pilpres dan Pileg 2019 mendatang.

Faktanya, ada juga sejumlah pihak yang menyatakan bahwa sesungguhnya hasil Pilkada serentak 2018 kemarin, belum bisa dijadikan acuan untuk memetakan hasil perhelatan di Pilpres nanti, karena dianggap memiliki dinamika politik yang berbeda.

Direktur Ekstekutif Saiful Muzani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan mengatakan, hasil Pilkada serentak 2018 belum bisa dijadikan hasil penentu. 

Pasalnya, koalisi yang terjadi di ranah Pilkada serentak 2018 belum mencerminkan adanya pertentangan di Pilpres, karena partai koalisi pendukung Joko Widodo (Jokowi) maupun oposisi cinderung melakukan kerjasama untuk memenangkan calonnya, alias koalisi bersifat cair.

Selain itu, faktor figur juga tampak dominan dalam perhelatan politik daerah tersebut. Sebab, para pemilih cenderung memilih figur dari pada partai pengusungnya.

"Ini artinya pertarungan kemarin bukan terletak pada partainya, tetapi tokoh yang diusungnya. Bisa saja orang itu suka sama Prabowo tapi untuk Pilkada dia lebih suka tokoh yang diusung oleh partai koalisi Jokowi. Salah satunya di Jawa Barat, Rindu itu banyak menarik pendukung dari pasangan lainnya," paparnya dalam diskusi yang bertajuk Menakar Kekuatan Koalisi Pemerintah VS Koalisi Oposisi Pasca Pilkada serentak yang diselenggarakan Vox Poin Indonesia di Gedung Sanggar Prathivi, Jakarta Pusat, Rabu (4/7).

Hal ini diamini oleh Politisi PDI Perjuangan Hugo Andreas Peraira. Dia  mengatakan, beberapa pihak keliru membaca hasil Pilkada, karena selalu menghubungkannya dengan hasil Pilpres mendatang. 

"Kalau dikaitkan ke Pilpres tentu ini tidak linier, karena di Pilkada itu yang menarik adalah figur, jadi partai harus memilih figur yang mampu memenangkan," paparnya.

Sponsored

Senada dengan Andreas, politisi Partai Gerindra Wihadi Wiyanto, mengatakan hasil Pilkada serentak tak bisa dijadikan barometer untuk menganalisis Pilpres. Pasalnya, pasangan calon yang terpilih dan diusung Gerindra belum tentu memilih Prabowo di Pilpres 2019 mendatang.

"Kita punya pengalaman pas mendukung Ahok, Ahok tidak berpihak kepada Gerindra saat Pilpres 2014," paparnya.

Lebih lanjut, Djayadi Hanan menjelaskan, untuk mengatahui peta kekuatan Pilpres dengan mengacu kepada hasil Pilkada 2018 , bisa menggunakan dua cara, yaitu kuantitatif dan kualitatif. 

Metode kuantitatif, melihat seberapa besar kemenangan partai memenangkan paslonnya di setiap daerah. Sedangkan, kualitatif menghitung sejauh mana kader partai mampu memenangkan hasil Pilkada.

"Dengan begitu kita bisa melihat kalau secara kuantitatif Nasdem dan PAN bisa dibilang menang. Tetapi, kalau dari kualitatif siapa yang menang itu, apabila kader partai berarti PDIP bisa dibilang menang," jelasnya.

Dia menambahkan, kemenangan setiap kandidat di Pilpres 2019, sangat bergantung kepada tiga faktor. Di antaranya, mesin partai bekerja optimal, peran calon legislatif di setiap daerah pemilihan masing-masing dalam memenangkan pasangan calon, dan yang penting adalah "efek ekor jas" yang menjadi pertimbangan setiap partai politik.

"Hal itu penting, karena setiap partai akan menimbang pengaruh yang ditimbulkan dari pasangan yang diusung. Sebagai contoh apabila suatu partai mendukung Prabowo, sejauh mana efek Prabowo berpengaruh ke suara partainya. Pasalnya pemilih di Indonesia ini sangat cair dan mengikatnya adalah dengan ketokohan itu," sambungnya.

Lebih jauh, Djayadi menyatakan, hasil Pilkada serentak 2018 belum menunjukan peta baru dalam pertarungan Pilpres di 2019 mendatang. "Jadi masih sama seperti kemarin. Sebenarnya belum berubah," pungkasnya.  

Berita Lainnya
×
tekid