sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jualan rindu Soeharto ala Partai Berkarya

Partai Berkarya secara terang-terangan melontarkan, ideologi mereka adalah Pak Harto. Apakah berpengaruh terhadap elektabilitas?

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 12 Des 2018 19:52 WIB
Jualan rindu Soeharto ala Partai Berkarya

Partai Berkarya dengan gamblang menyebut akan mengembalikan Indonesia seperti era Soeharto dahulu. Hal ini pernah diungkapkan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya Titiek Soeharto di akun Twitter-nya beberapa waktu lalu.

“Sudah cukup. Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia,” kata Titiek.

Seperti diketahui, partai yang didirikan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto itu mendukung calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Bahkan, Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Priyo Budi Santoso pernah berujar, partainya berideologi Soeharto. Hal tersebut dilontarkan Priyo dalam diskusi antarketua umum dan sekjen seluruh partai peserta Pemilu 2019, yang diadakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (4/12).

Menurutnya, masyarakat rindu masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. 

Rindu Soeharto

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang mengatakan, ideologi Pak Harto yang dikatakan Priyo merujuk pada pemikiran Soeharto tentang pembangunan. Pemikiran tersebut ingin dilanjutkan Partai Berkarya.

“Bentuknya itu seperti stabilitas, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan ekonomi,” kata Badaruddin, ketika dihubungi, Rabu (12/12).

Sponsored

Menurutnya, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini, dan presiden-presiden sebelumnya, semata-mata hanya sebatas pembangunan fisik, berupa infrastruktur. Sementara, sumber daya manusia terkesan abai.

Berdasarkan penglihatannya, Badaruddin menerangkan, masyarakat dari kalangan bawah merasa di zaman Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, mereka lebih baik ketimbang saat ini. Dia mengambil contoh segi keamanan.

“Dulu zaman Pak Harto tidak ada yang berani menjambret, tidak ramai seperti sekarang,” katanya.

Selain itu, kata Badaruddin, lapangan pekerjaan lebih berlimpah di masa Soeharto, dan harga-harga bahan pokok terkendali. Namun, mantan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Golkar itu berdalih, partainya tak akan mengembalikan seluruhnya ke zaman Orde Baru.

“Kita kembalikan yang baik-baik saja,” ujar Badaruddin.

Dalam diskusi di Hotel Bidakara beberapa waktu lalu, Priyo juga mengklaim, hasil penelitian Partai Berkarya menunjukkan masyarakat punya pandangan tokoh berpengaruh besar dan dicintai rakyat, pertama Soeharto, kedua Sukarno, dan lalu presiden selanjutnya. Lebih lanjut, dia mengatakan, Soeharto mempunyai banyak jasa bagi Indonesia. Salah satu contohnya keberhasilan dalam swasembada pangan.

Ketua Umum Partai Berkarya Tommy Soeharto diarak menggunakan tandu, saat berkunjung ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, Kamis (3/5). (suaraberkarya.com).

Menyoal swasembada, pada masa pemerintahan Soeharto, persisnya tahun 1984, Indonesia memang sempat mencapai swasembada beras. Namun, menurut Pantjar Simatupang dan I Wayan Rusastra dalam buku Ekonomi Padi dan Beras Indonesia, kenyataannya swasembada mutlak hanya bisa bertahan sekitar lima tahun. Sejak awal 1990-an, Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras.

Perihal penelitian yang dilakukan Partai Berkarya, disinggung juga oleh Badaruddin. Dia menyebutkan hasil survei dari lembaga penelitian Indo Barometer, tentang tingkat keberhasilan pemimpin. Survei yang melibatkan 1.200 responden itu menyatakan, Soeharto sebagai presiden yang paling berhasil di Indonesia, dengan persentase 32,9%.

“Kalau yang sudah dirilis, kami berpegang pada survei itu. Kalau di masyarakat, ya kita bertanya langsung. Banyak yang mengatakan, mereka rindu dengan Pak Harto,” kata dia.

Lebih lanjut, mantan Ketua Forum Redam Korupsi tersebut mengatakan, dengan ideologi itu, partai berlambang pohon beringin di tengah lingkaran rantai tidak takut kehilangan elektabilitasnya ketika Pemilu nanti. Terutama suara dari generasi muda.

“Kami fokuskan suara kami ke pecinta Pak Harto, karena suara generasi milenial sudah banyak yang memperebutkan,” katanya.

Meski begitu, Badaruddin menyebutkan, partai yang berdiri pada 2016 tersebut akan tetap mencari dukungan dari generasi muda. Menurutnya, generasi muda memang ada yang baru lahir ketika Orde Baru, tak banyak yang merasakan masa pemerintahan Soeharto.

Namun, dia menyarankan, mereka membaca buku sejarah atau menelusurinya di dunia maya, untuk mencari tahu tentang Orde Baru.

“Yang tidak suka Pak Harto kan hanya pembencinya saja, seperti Partai Komunis Indonesia,” katanya.

Dua sisi Orde Baru

Dihubungi secara terpisah, doktor bidang sejarah dan editor pelaksana Jurnal Sejarah Andi Achdian pun angkat bicara perihal Orde Baru. Menurutnya, di zaman Orde Baru terdapat kebaikan dan keburukan. Selama ini, kata Andi, narasi rindu Orde Baru hanya terlihat di media saja.

“Narasi ingin kembali ke Orde Baru itu cuma ada di media, tak ada yang betul-betul survei. Lebih ke common sense saja,” ujar Andi, saat dihubungi, Rabu (12/12).

Penulis buku 1996: Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM di Indonesia ini melanjutkan, pertanyaan yang diajukan pun keliru.

“Seperti, lebih baik dulu apa sekarang? Seharusnya yang ditanyakan, dulu kamu bisa punya kendaraan atau tidak? Ke mana-mana pakai apa? Kalau sekarang bagaimana?” ujarnya.

Andi melihat, kerinduan kembali ke masa Soeharto disebabkan, di masa itu terdapat dukungan kesehatan, pembinaan kesejahteraan keluarga, dan situasi yang lebih tenang. Namun, dosen prodi sosiologi Universitas Nasional itu mengatakan, di zaman Orde Baru informasi ditutupi.

Keluarga Cendana kompak berpose nomor urut Partai Berkarya di Pemilu nanti. (www.facebook.com/pg/partai.berkarya.official).

“Media tidak bebas seperti sekarang,” ujar Andi.

Selain itu, Andi menjelaskan, era Orde Baru merupakan era yang sangat korup, tapi tertutupi.

“Dulu kan ada istilahnya, PNS kerja di tempat ‘basah’ dan tempat ‘kering’. Kalau tempat ‘basah’ mereka bisa dapat uang. Sampai ada istilah begitu, kan itu korup,” katanya.

Menurut Andi, ada tiga hal yang membedakan Orde Baru dengan masa sekarang. Pertama, Orde Baru merupakan era yang didominasi kekuatan militer. Kedua, ada beberapa peristiwa besar pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi.

“Peristiwa itu, seperti peristiwa Tanjung Priok, pembantaian 1965, dan lain-lain,” kata Andi.

Ketiga, ruang politik Orde Baru lebih terbatas, tak seperti saat ini. Dahulu, rakyat hanya bisa mengeluh di belakang. Setelah reformasi, keadaan berbeda.

“Rakyat lebih berani,” kata dia.

Tak pengaruh

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, secara elektabilitas, dukungan Partai Berkarya yang mengusung semangat kembali ke zaman Soeharto tak akan mengurangi ataupun menambah secara signifikan suara Prabowo-Sandi di Pemilu nanti.

“Tidak ada jaminan dengan mengangkat Soeharto sebagai ‘maskot’ akan menambah atau mengurangi suara Prabowo,” kata Emrus, saat dihubungi, Rabu (12/12).

Politisi Partai Berkarya yang juga puteri Presiden RI ke-2 Soeharto Titiek Hediati (tengah) mengacungkan dua jari bersama Tim Pemenangan Prabowo Sandi (TP-PAS) usai acara Konsolidasi di Serang, Banten, Rabu (14/11). (Antara Foto).

Ditanya mengenai gaya Prabowo yang menyerang media, Emrus tak melihatnya sebagai sikap benci atau pertanda kembali ke Orde Baru. Dia menuturkan, Prabowo hanya mengkritik media. Hanya saja, diksinya kurang tepat.

Selanjutnya, doktor komunikasi dari Universitas Padjadjaran ini melihat, narasi Orde Baru dan ideologi Soeharto yang digadang-gadang Partai Berkarya hanya akan laku pada pendukung militan mereka. Soeharto, yang 32 tahun berkuasa, kata Emrus, pastilah memiliki pendukung militan.

“Kalau di teori komunikasi, itu pasti ada minimal 5% yang militan dan 5% yang menolak,” ujar Emrus.

Menurut Emrus, tugas Partai Berkarya selanjutnya, harus melakukan survei terhadap calon pemilih mereka. Sehingga, nantinya survei itu bisa dijadikan patokan kampanye.

Meski demikian, laku tidaknya jualan rindu Soeharto akan terbukti di Pemilu mendatang. Masyarakat yang akan memilih, bangsa ini akan kembali ke zaman Soeharto atau maju lebih baik dari sebelumnya. Jadi, bagaimana? Masih enak zamanku?

Berita Lainnya
×
tekid