sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kampanye capres-cawapres masih pentingkan sensasi

Bertujuan untuk meningkatkan popularitas dengan menarik simpati masyarakat.

Valerie Dante
Valerie Dante Sabtu, 17 Nov 2018 15:17 WIB
Kampanye capres-cawapres masih pentingkan sensasi

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby menilai selama satu setengah bulan terakhir, kampanye capres-cawapres lebih mengedepankan isu yang sensasional ketimbang hal-hal dengan substansi. 

Isu-isu sensasional tersebut bertujuan untuk meningkatkan popularitas dengan menarik simpati masyarakat. Namun, karena kedua pasangan calon baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto sudah relatif dikenal oleh publik, maka strategi tersebut sudah tidak efektif.

Hal ini hanya akan memicu naiknya loyalitas pemilih masing-masing namun tidak mengedukasi atau memaparkan rencana jangka panjang kedua paslon. 

"Pemilih berharap ada gagasan yang muncul dan ada kontras yang lebih jelas antara kedua paslon, itu yang belum kita jumpai," jelas Adjie di Menteng, Jakarta, Sabtu (17/11).

Karena minimnya isu kebijakan yang diangkat dan kerap menyerang isu personal, Adjie khawatir pemilih akan beranggapan kedua kandidat sama-sama buruk. 

Belajar pertarungan Donald Trump dan Hillary Clinton pada pilpres AS lalu, sensasi personal justru membunuh agenda, isu kebijakan, serta program para kandidat.  LSI menaruh perhatian khusus pada hal ini dengan selalu memonitor isu-isu sosial.

"Selama satu setengah bulan berjalan, yang ramai diperbincangkan di media sosial ataupun media arus utama itu isu sensasional seperti kasus hoaks Ratna, politik sontoloyo, tampang Boyolali," paparnya. 

Dari kubu oposisi, Wakil Direktur Relawan Prabowo-Sandiaga Uno Yahdil Abdi Harahap mewajarkan adanya narasi politik dengan tujuan mencari perhatian. Namun, bagi Yahdil selama ini pihaknya selalu memberi hal-hal bersubstansi. 

Sponsored

"Secara garis besar sudah terlihat kritik oposisi di antaranya mengenai kondisi ekonomi. Tapi ada keterbatasan sosialiasi kritik dan solusi," lanjutnya. 

Paslon 02 tidak membiarkan adanya narasi yang memicu kegaduhan ataupun yang sifatnya menakut-nakuti publik. Melainkan yang dilakukan adalah secara jelas mengkritik kebijakan yang sudah ada serta menawarkan solusi.

"Pernah kita sampaikan seharusnya kebijakan ekonomi pemerintah tidak seperti ini. Mestinya ada peningkatan ekspor dan memberikan akses modal UMKM. Itu solusi-solusi yang sudah ditawarkan," ungkap Yahdil.

Justru kata-kata agresif seperti 'sontoloyo' atau 'genderuwo' yang dilempar dari kubu petahana lah yang memicu kegaduhan kontestasi pemilihan presiden 2019.

Koordinator Tim Kampanye Nasional (TKN) Pemenangan Parpol Jokowi-Ma’ruf sekaligus Ketua DPP Perindo Mohammad Yamin Tawary menuturkan penyebutan kata-kata tersebut bermakna lebih dan memiliki nilai.

"Sontoloyo itu kan konyol atau tidak beres maksudnya. Artinya yang harus dikembangkan adalah maknanya. Kata tersebut Pak Jokowi pakai sebagai lawan kata dari politikus baik," jelas Yamin pada kesempatan yang sama.

Perkataan ini menurutnya berbeda dari 'tampang Boyolali' yang diujarkan oleh Prabowo. Menurut Yamin, Ketum Partai Gerindra itu keliru menggunakan diksi.

"Maksud narasinya menurut kami bagus, tidak boleh ada kesenjangan sosial. Tapi tampang Boyolali itu stigma, bukan nilai. Pemimpin itu akan dilihat semua orang, jadi harus berhati-hati dalam berkata dan bersikap," lanjutnya. 

Langkah tepat kedua kubu

Selama masa kampanye pilpres 2019, sejatinya narasi harus menjabarkan strategi proker rencana dan cara mencapainya.

Demi menjaga agar iklim kampanye tetap sehat, setiap kritik kubu oposisi harus diimbangi dengan solusi alternatif yang kredibel. Hal ini diharapkan dapat membuat pemilih menyadari ada kelemahan petahana.Terlebih lagi, pihak Prabowo-Sandi yang sejak awal sudah fokus mengomentari isu ekonomi belum menawarkan kebijakan kontras dalam bidang tersebut.

Adjie juga menyayangkan petahana yang terlalu sering menanggapi isu receh. Menurutnya, hal ini dapat menimbulkan penilaian adanya kepanikan internal. Petahana seharusnya fokus promosi kebijakan yang berhasil selama lima tahun ke belakang dan menyuguhkan program konkrit mengenai apa yang akan dilakukan selama masa jabatan lima tahun selanjutnya.

"Banyak program yang bisa dijual, tone kampanye mereka harusnya lebih positif."

Selain itu, ketimbang menyoroti isu-isu personal, baik kubu petahana maupun oposisi seharusnya fokus menyusun strategi untuk mengambil pemilih baru.

"Pemilih baru itu lebuh rasional, mereka melihat substansi dan memiliki akses informasi untuk menelusuri rekam jejak para paslon," terangnya. 

Berita Lainnya
×
tekid