sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenaikan gaji PNS dan Polri, siasat Jokowi mendulang suara?

Sejumlah pihak menganggap wajar rencana kenaikan gaji PNS dan anggota Polri menjelang pemilu. Sebagian lainnya menganggap hal ini politis.

Kenaikan gaji PNS dan Polri, siasat Jokowi mendulang suara?

Salah seorang Bintara di Kepolisian Resor Sleman, Yogyakarta, Sigit merasa senang dengan munculnya peraturan pemerintah yang menetapkan kenaikan gaji anggota kepolisian. Sigit mengatakan kebijakan itu memberi tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Sebelumnya, menurut Sigit, kenaikan remunerasi hanya mencakup pertambahan nominal uang makan sebesar Rp5.000, dari Rp45.000 menjadi Rp50.000.

“Semasa pemerintahan Presiden Jokowi ini, baru sekali ini ada kenaikan gaji pokok,” kata Sigit saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (19/3).

Sigit menuturkan, kebutuhan bagi anggota kepolisian perlu diperhatikan juga. Terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta.

“Kalau gajinya cukup, kan enggak perlu mengontrak rumah,” kata dia.

Sementara itu, Arien Kusriniarti, salah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu kementerian mengaku baru mengetahui ada kebijakan kenaikan gaji. Selain bersyukur, ia menganggap ketentuan ini wajar, seiring inflasi nilai tukar rupiah secara berkala.

Segera dicairkan

Presiden Joko Widodo saat menghadiri ulang tahun Korpri ke-46 di Monumen Nasional, Jakarta, pada November 2017. /presidenri.go.id.

Pada 13 Maret 2019, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Aturan ini menggantikan Perubahan Ketujuh Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.

Di dalam lampiran peraturan pemerintah itu, disebutkan gaji terendah PNS golongan I A dan masa kerja 0 tahun sebesar Rp1.560.800 per bulan, dari sebelumnya Rp1.486.500 per bulan. Sementara gaji tertinggi dimiliki PNS golongan IV E dengan masa kerja lebih dari 30 tahun menjadi Rp5.901.200 per bulan, dari sebelumnya Rp5.620.300 per bulan.

Pemerintah juga menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Di dalam peraturan pemerintah ini diubah lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2002 tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah beberapa kali diubah, sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2019.

Dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2019 disebutkan, gaji terendah anggota Polri sebesar Rp1.643.500 per bulan untuk pangkat Bhayangkara Dua, dengan masa kerja 0 tahun, dari yang sebelumnya sebesar Rp1.565.200 per bulan. Sedangkan gaji tertinggi anggota Polri dalam jajaran Tamtama dengan pangkat Ajun Brigadir Polisi masa kerja 28 tahun sebesar Rp2.960.700 per bulan, sebelumnya Rp2.819.500 per bulan.

Dilansir dari Antara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun memastikan pemerintah akan mencairkan anggaran Rp2,66 triliun pada April 2019 untuk membayar rapel kenaikan gaji PNS periode Januari hingga April 2019.

“Total rapelan (pencairan sekaligus) Rp2,66 triliun untuk kenaikan gaji PNS pusat, TNI, Polri, dan pensiunan,” ujar Sri Mulyani, seperti dikutip dari Antara, Selasa (19/3).

Politis?

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Irma Suryani Chaniago menyambut positif kebijakan tersebut. Menurut Irma, perbaikan kesejahteraan PNS perlu dilakukan secara bertahap, sejalan dengan peningkatan penerimaan negara.

“Artinya pemerintah sudah mulai longgar anggarannya, dan bisa memberikan kesejahteraan yang lebih kepada PNS dan Polri,” ucap Irma saat dihubungi, Selasa (19/3).

Irma pun tak peduli dengan anggapan sebagian pihak yang menilai kebijakan pemerintah ini bertujuan untuk kepentingan politik menjelang pencoblosan pada April 2019.

“Sah-sah saja yang mau bicara seperti itu. Tapi bagi pemerintah untuk menyejahterakan rakyat tidak harus di awal, tengah, atau akhir masa pemerintahan. Ketika anggaran negara memungkinkan, kenapa tidak?” kata Irma.

Di sisi lain, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Ferdinand Hutahaen mengatakan, pemerintah tampak sudah merencanakan kebijakan kenaikan gaji pokok bagi PNS dan anggota Polri untuk mendongkrak suara pada Pemilu 2019.

“Pemerintahan Jokowi tampak hanya memiliki kepentingan politik menjelang pemilu. Tidak murni dia mengambil kebijakan untuk kepentingan pegawai negeri,” ujar Ferdinand saat dihubungi, Selasa (19/3).

Idealnya, kata Ferdinand, kebijakan kenaikan gaji PNS dan anggota Polri dilakukan sebanyak 5% setiap tahun. Oleh karena itu, menurutnya, kebijakan tersebut tak tepat karena hanya dilakukan sekali.

Sejumlah siswa memberi hormat saat mengikuti upacara Penutupan Pendidikan Pembentukan (Diktuk) Bintara Polri Tahun Anggaran 2018/2019 di Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Metro Jaya, Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (4/3). /Antara Foto.

Ferdinand menuturkan, kebijakan dari peraturan pemerintah tersebut menunjukkan pemerintah sudah menyalahgunakan kekuasaannya. Tak hanya itu, kata dia, kebijakan tersebut juga melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terutama Pasal 282.

Di dalam Pasal 282 disebutkan, pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Mengacu pada pasal tersebut, Ferdinand menyayangkan absennya penindakan pelanggaran terhadap tindakan munculnya kebijakan kenaikan gaji pokok PNS dan anggota Polri, sebagaimana diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019.

“Kebijakan Jokowi itu memperalat kekuasaan untuk kepentingan politiknya sebagai petahana. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang tidak boleh diteruskan karena ketidakadilan adalah pintu masuk hancurnya bangsa,” ucapnya.

Kebijakan “gentong babi”

Kebijakan yang digunakan sebagai alat kekuasaan untuk kepentingan politik petahana dalam mendulang suara dikenal dengan istilah politik “gentong babi”. Istilah gentong babi, menurut peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengacu kepada pengeluaran yang diusahakan politikus untuk konstituennya.

Namun, dari segi muasalnya, Wasisto melihat gentong babi itu bisa dimaknai secara positif ataupun negatif.

“Dulu waktu kemunculannya pertama kali di Amerika Serikat, gentong babi adalah upaya senator untuk memberikan dana hibah kepada konstituennya. Yang seperti ini bisa dimaknai secara positif. Tapi, kalau melihat kasus di Filipina, gentong babi itu jadi praktik jual beli suara,” ujar Wasisto saat dihubungi, Selasa (19/3).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin melihat, penggunaan strategi gentong babi bagi petahana wajar dilakukan.

“Asalkan tidak membebani anggaran APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), kebijakan tersebut sah-sah saja. Kan kebijakan itu yang menguntungkan PNS. Walau memang dilakukan mendekati pemilihan,” kata Ujang ketika dihubungi, Selasa (19/3).

Ujang menilai, jika anggarannya memang ada, gaji PNS memang harus dinaikkan. Terlepas ada pemilu atau tidak, mendekati pemilu atau tidak. Jika kebijakan kenaikan gaji PNS itu menguntungkan petahana, hal tersebut kata Ujang wajar.

Rangkaian tes seleksi kompetensi bidang (SKB) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kemenko Bidang Kemaritiman masih berlangsung di Hotel Media, Jakarta (Jumat, 07/12/2018). /twitter.com/kemaritiman

“Kebijakan ini jelas akan menaikkan elektabilitas petahana. Karena telah membuat kebijakan yang populis dan menyenangkan bagi PNS, walaupun persentasenya tak bisa diukur berapa,” katanya.

Ujang juga menilai, kebijakan ini pun dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono pada masa pemerintahannya. Siapapun presidennya, lanjut Ujang, bila petahana pasti akan menggunakan strategi gentong babi tersebut.

“Umumnya strategi politik gentong babi tidak melanggar aturan. Hanya memang menguntungkan petahana dan merugikan lawan politiknya,” ujar Ujang.

Di Indonesia, menurut Wasisto Raharjo Jati, kebijakan gentong babi sangat kentara pada masa Orde Baru, dengan didirikannya Yayasan Supersemar atau undian macam sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB) dan porkas. Ia melanjutkan, bentuk kebijakan gentong babi ini tak hanya dilakukan Jokowi untuk menaikkan gaji PNS jelang pemilu.

“Jokowi misalnya sering menggunakan kebijakan gentong babi ini secara insidental. Saat berkunjung ke daerah-daerah kan Jokowi suka bagi-bagi sepeda, tas, dan buku. Dia pakai dana tak terduga untuk kegiatan seperti itu,” kata Wasisto.

Di dalam makalahnya berjudul “Fake populism or real populism: Pork barrel policy as political corruption in house of representative during 2009-2013” yang terbit di Journal of Government and Politics (2013) Wasisto menulis, kebijakan gentong babi seperti menunda kenaikan harga bahan bakar minyak, bisa menaikkan angka inflasi karena permintaan akan meningkat sedangkan suplai terbatas

Namun, Wasisto menulis, pada akhirnya gentong babi tidak ditujukan untuk membantu masyarakat, tetapi menjadi alat kampanye yang dimanfaatkan untuk mempopulerkan politikus dan partai secara instan dan sporadis.

Wasisto pun mengatakan, yang perlu diawasi publik dari kebijakan gentong babi adalah akuntabilitas dan transparansinya.

“Karena seringkali kebijakan gentong babi ini menggunakan dana taktis. Gentong babi ini lebih kepada strategi menaikkan popularitas,” ujar Wasisto.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, kenaikan gaji PNS dan anggota Polri beberapa hari jelang pemilu terbilang politis. Kecuali, kata dia, bila rencana kenaikan gaji itu dibahas dalam pembahasan APBN pada November 2018.

“Pembahasan APBN ini kan November kemarin ya, tetapi setahu saya tidak ada pembahasan soal kenaikan gaji ini. Jika sudah dibahas di sana tentu akan menghindari hal-hal yang berbau politis,” katanya saat dihubungi, Selasa (19/3).

Pemerintah, lanjut Enny, harus mengajukan permohonan ke badan anggaran dan harus melalui persetujuan DPR untuk menaikkan gaji PNS. APBN yang sudah ditetapkan, katanya, tidak dapat diubah sewaktu-waktu, kecuali hanya untuk mengubah nomenklatur.

“Harusnya sudah ada dalam APBN. Tapi kalau tidak ada, pemerintah dapat mengubah nomenklatur, gaji pokoknya ditambah, namun komposisi lainnya dikurangi. Kalau itu tidak perlu memperoleh persetujuan DPR,” ucapnya.

Sebenarnya, pada Agustus 2018 lalu, dalam sidang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) di Gedung DPR, Jakarta, Presiden Jokowi sudah menyampaikan langsung perihal rencana kenaikan gaji PNS sebesar 5% pada 2019.

DPR pun sudah memastikan anggaran untuk rencana kenaikan gaji PNS dan pembayaran gaji bulan ke-13 dan 14 sudah ada. Kenaikan ini juga sudah ditetapkan lewat pengesahan Undang-Undang APBN 2019 dalam rapat paripurna di Gedung DPR, pada akhir Oktober 2018.

Inflasi dan penggajian tunggal

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah Redjalam memandang, kenaikan gaji PNS dan anggota Polri ini sebagai langkah baik yang diambil pemerintah. Ia mengatakan, dengan kenaikan gaji ini pemerintah memperhatikan kesejahteraan aparat sipilnya.

“Kenaikan ini sesuai dengan pertumbuhan inflasi Indonesia sekitar 3%, kalau kenaikannya 5% berarti efektifnya kenaikannya hanya sekitar 2%. Hal itu tergolong kecil dan wajar,” katanya saat dihubungi, Selasa (19/3).

Menurutnya, dengan jumlah PNS di Indonesia yang cukup banyak, kenaikan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan permintaan domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor swasta.

“Kenaikan gaji PNS ini merupakan katalis, ketika daya beli PNS meningkat, ia akan mendukung sektor swasta juga tumbuh. Jika sektor swasta tumbuh, ia juga akan menaikkan upah pegawainya dan secara keseluruhan domestic demand-nya akan tumbuh,” tuturnya.

Ia juga menambahkan, sektor permintaan domestik yang tumbuh juga akan turut menumbuhkan geliat investasi di Indonesia. Baginya, dengan investasi yang terus meningkat, akan berpengaruh baik bagi perekonomian nasional.

Sedangkan Enny Sri Hartati berpendapat, kenaikan gaji PNS harus disesuaikan dengan produktivitas dari pegawai itu sendiri.

“Kenaikan tentu wajar saja mengingat pertumbuhan inflasi Indonesia, tapi kenaikan gaji pegawai itu juga harus disesuaikan dengan peningkatan produktivitas pegawai,” tuturnya.

Menurutnya, yang menjadi kendala dari persoalan kenaikan gaji PNS ini adalah soal manajemen anggaran. Ia menilai, banyak kegiatan yang dilakukan oleh pegawai tidak sesuai dengan fungsinya, sehingga hanya terkesan menghabiskan anggaran.

“Karena mereka punya anggaran untuk kegiatan, akhirnya hanya berlomba untuk membuat kegiatan tersebut, tapi tidak sesuai dengan fungsinya,” katanya.

Upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-108 di lingkungan Kementerian Sekretariat Negara Sekretariat Kabinet. /setkab.go.id.

Ia juga mengatakan, pihaknya selalu mewacanakan pemerintah melakukan sistem penggajian berdasar beban tugas pegawai tersebut. Sistem ini ia sebut single sallary system (sistem penggajian tunggal).

“Dengan single sallary system pegawai akan dibayar berdasarkan beban kerja dan kemampuannya. Kita juga tidak perlu lagi membandingkan kenapa gaji Gubernur Bank Indonesia lebih besar dari presiden, karena beban tugasnya beda,” tutur Enny.

Melalui sistem ini, kata Enny, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dapat membuat formulasi agar pegawai dibayar berdasarkan beban kerjanya. Selain itu, kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan manfaat bagi pemerintah.

“Meskipun berada dalam satu golongan pegawai, misalnya golongan II A, hubungan masyarakat yang bekerja hanya delapan jam sehari tidak boleh memiliki gaji yang sama dengan pegawai bagian perencanaan yang mungkin bekerja hingga dini hari,” katanya.

Gaji PNS di setiap pemerintahan mengalami kenaikan bertahap.

Sementara menurut Pieter Abdullah Redjalam, kenaikan gaji PNS dan anggota Polri tak bisa dikaitkan langsung dengan pemilu. Bagi Pieter, segala sesuatu bisa saja dikaitkan dengan isu pemilu. Akan tetapi, harus dilihat apakah masuk akal atau tidak.

“Kalau kenaikannya 100% atau dua kali lipat dari gaji yang biasa diterima, tentu kita akan menolak, karena tidak masuk akal. Tapi untuk kasus ini masih dapat diterima, karena masih sesuai dengan pertumbuhan inflasi Indonesia,” katanya.

Ia menambahkan, kenaikan gaji PNS setiap tahun harus dilakukan karena berkaitan dengan perekonomian secara makro, dan harus dilihat dengan positif. Bila PNS diturunkan gajinya, kata dia, daya beli juga akan turun, serta sektor swasta tak akan tumbuh.

“Jika itu terjadi akan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan akan berdampak buruk terhadap perekonomian. Investasi juga akan hilang, makanya ini harus dilihat dari sisi positif, jangan negatifnya saja,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid