sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Partai Buruh gugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi

Penyelenggara pemilu seharusnya ditempatkan sebagai cabang kekuasaan keempat disamping eksekutif, legislatif, dan judicial (yudikatif).

Marselinus Gual
Marselinus Gual Senin, 25 Jul 2022 17:09 WIB
Partai Buruh gugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi

Partai Buruh melakukan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan pengujian telah didaftarkan ke MK hari ini, Senin (25/7).

Dalam permohonan tersebut, Partai Buruh menguji Pasal 173 ayat (1), Pasal 177 Huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2).

Pasal 173 ayat (1) adalah norma yang mengatur mengenai ketentuan verifikasi parpol calon peserta Pemilu. Partai Buruh memohon kepada MK agar seluruh parpol hanya diwajibkan lolos verifikasi  administrasi sebagai syarat untuk ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024.

"Kami punya alat bukti yang bisa meyakinkan MK bahwa verifikasi administrasi sudah cukup berat bagi parpol calon peserta pemilu. Buktinya, pada pelaksanaan Pemilu 2014, hanya ada satu parpol yang lulus verifikasi administrasi. Ini fakta yang tidak banyak diketahui umum," ujar Koordinator Kuasa Hukum Partai Buruh, Said Salahudin dalam keterangannya kepada Alinea.id, Senin.

Adapun Pasal 177 huruf f adalah norma yang mengatur mengenai syarat minimal anggota parpol, yaitu paling sedikit 1.000 atau 1/1.000 orang dari jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota.

Said mengatakan pihaknya meminta MK memberi tafsir bahwa yang dimaksud "penduduk pada setiap kabupaten/kota" adalah masyarakat yang bertempat tinggal di kabupaten/kota bersangkutan, sekalipun Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) mereka diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/kota yang lain.  Hal itu sesuai dengan definisi penduduk menurut Pasal 26 ayat (2) UUD 1945.

"Norma itu terpaksa kami uji ke MK karena KPU dan Bawaslu tidak bersedia mengakomodir usulan Partai Buruh agar status anggota partai semestinya tidak boleh dibatasi oleh syarat administratif KTP-el semata. Ini yang sangat kami sayangkan. Kebebasan masyarakat untuk menjadi anggota partai pada suatu kepengurusan partai dibatasi oleh penyelenggara pemilu," jelas dia.

Sedangkan Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) adalah norma yang mengatur mengenai kewajiban bagi KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam setiap membuat peraturan.

Sponsored

Partai Buruh juga menguji norma tersebut karena konsultasi tersebut dimaknai mengikat. Sehingga, penyelenggara pemilu diharuskan tunduk pada kehendak DPR dan Pemerintah. Padahal, KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah organ independen sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.

Dalam perspektif hukum tata negara modern, tegas Said, penyelenggara pemilu seharusnya ditempatkan sebagai cabang kekuasaan keempat disamping eksekutif, legislatif, dan kekuasaan judicial (yudikatif).

"Sehingga, kekuasaan KPU, Bawaslu, dan DKPP semestinya tidak bisa diintervensi oleh tiga cabang kekuasaan yang lain. Begitu rujukan teori "quadru politica" sebagai kritik atas teori usang "trias politica". Nah, konsultasi yang diwajibkan mengikat itu sudah terjadi. Beberapa peraturan yang dibentuk oleh KPU, harus ikut maunya DPR. Padahal DPR adalah representasi partai calon peserta Pemilu 2024," ungkap Said.

Said mengambil contoh pengaturan masa kampanye 75 hari yang telah ditetapkan oleh KPU dan kelak akan dituangkan dalam Peraruran KPU (PKPU). Aturan itu lahir karena KPU dipaksa tunduk oleh DPR alias partai-partai calon Peserta Pemilu. Menurut Partai Buruh, hal itu jelas tidak benar.

"Masa kampanye 75 hari itu jelas merugikan masyarakat dan Partai Buruh. Sebab, kampanye harus juga dipandang sebagai hak masyarakat untuk memilah dan memilih partai atau calon sebelum pada akhirnya mereka putuskan di dalam bilik suara. Kalau masa kampanye diperpendek, maka itu artinya ada hak konstitusional masyarakat yang dikurangi," kata Said.

Dia menambahkan, masa kampanye 75 hari juga merugikan Partai Buruh sebab pendeknya waktu akan mengurangi hak serta kesempatan mereka untuk menawarkan gagasan perubaham kepada masyarakat. Lebih dari itu, dengan diperpendeknya masa kampanye, maka ada sanksi pidana pemilu yang bisa mengancam Partai Buruh ketika melakukan sosialisasi di masyarakat setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu.

"Sebab, dalam UU Pemilu terdapat ketentuan pidana bagi parpol yang melakukan kampanye di luar jadwal, baik sebelum (pra) maupun sesudah (pasca) masa kampanye. Di sini masalahnya," pungkas Said.

Berita Lainnya
×
tekid