sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemerintah klarifikasi isu Jokowi tiga periode dan penundaan pemilu

Menurut Mahfud MD, pemerintah sendiri sampai sekarang tidak pernah membahas penundaan pemilu

Immanuel Christian
Immanuel Christian Senin, 07 Mar 2022 16:11 WIB
Pemerintah klarifikasi isu Jokowi tiga periode dan penundaan pemilu

Pemerintah memberikan klarifikasi terhadap isu penambahan durasi jabatan presiden dan penundaan penyelenggaraan pemilu. Isu yang merebak itu disebut karena jasa Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengurus negara ini di tengah pandemi begitu memuaskan menurut hasil survei Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45). 

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD mengatakan, dalam tubuh pemerintah sendiri sampai sekarang tidak pernah ada pembahasan tentang penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Entah itu untuk tiga periode maupun penambahan masa jabatan satu atau dua tahun. 

Menurut Mahfud, Presiden Jokowi dalam dua kali memimpin rapat kabinet pada tanggal 14 September 2021 dan 27 September 2021 meminta Menkopolhukam, Mendagri dan Kepala BIN untuk memastikan pemilu 2024 berjalan aman lancar dan tidak memboroskan anggaran. Serta, tidak terlalu lama masa kampanyenya dan tidak lama jaraknya antara pemungutan suara dan hari pelantikan pejabat hasil pemilu 2024. 

"Ini maksudnya agar naiknya suhu politik menjelang pembentukan kabinet baru tahun 2024 tidak terlalu lama," kata Mahfud dalam siaran pers, Senin (7/3/2022). 

Jokowi, kata Mahfud, meminta penentuan jadwal pemilu dengan usulan dari pemerintah yakni pelaksanan pemungutan suara tanggal 8 atau 15 Mei 2024. Namun, ternyata DPR dan KPU tidak setuju dan minta alternatif tanggal lain yang kemudian mencapai mufakat untuk jadwal pemungutan suara dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024. 

"Dengan demikian sikap Presiden sudah jelas tentang jadwal penyelenggaran pemilu tahun 2024," ujar Mahfud. 

SETARA Institute memandang penundaan Pemilu adalah bentuk pembangkangan terhadap Pasal 22E ayat (1) Konstitusi. Apabila stabilitas ekonomi dijadikan dalil utama penundaan pemilu, seolah pemerintah lupa bahwa pemindahan ibu kota negara justru dilakukan begitu saja di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19. 

"Untuk itu, SETARA mengingatkan elite politik baik di lingkungan parlemen maupun istana untuk tidak membuat kegaduhan dengan usulan perubahan rencana ketatanegaraan yang tak berlandaskan urgensi yang nyata," kata Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah dalam keterangan, Senin (7/3). 

Sponsored

Usulan penundaan pemilu, kata Sayyid, merupakan aspirasi para pengusaha dengan dalil perlunya waktu untuk memulihkan stabilitas ekonomi nasional akibat pandemi. Sementara, kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan hanya segelintir kelompok saja, apalagi golongan elite pengusaha. 

Sayyid menyebut, beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya seharusnya menjadi refleksi betapa negara seolah acap kali disetir oleh kelompok tertentu dan negara menjadi alat pemuas kepentingan kelompok tertentu dengan mengabaikan pemenuhan hak-hak rakyat. Seperti, UU Minerba, UU Cipta Kerja hingga UU Ibu Kota Negara.  

"Harusnya negara berefleksi betapa terlalu gegabahnya pemerintah selama ini dalam mengambil sikap tanpa memperhatikan hak-hak rakyat," ujar Sayyid. 

Maka, Sayyid mengingatkan bahwa pemilu tidak hanya sebagai kontestasi penyaluran suara rakyat semata, namun juga sebagai momentum regenerasi aktor-aktor politik negara. Selain tidak sesuai dengan desain konstitusional negara, fenomena tersebut juga akan semakin membuka celah terjadinya "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely", yaitu kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak benar-benar korup. 

"Terlebih, rezim Presiden saat ini telah menginjak pada dua tahun periode kepemimpinannya. Jangan sampai singgasana Presiden terus melanggeng hingga melebihi 10 tahun lamanya," ucap Sayyid.

Berita Lainnya
×
tekid