sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Politik 2020: Muram, gaduh, dan marak aksi protes

Gelombang aksi unjuk rasa diprediksi bakal mewarnai jagat politik pada 2020.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Jumat, 03 Jan 2020 17:32 WIB
Politik 2020: Muram, gaduh, dan marak aksi protes

Tahun 2019 adalah tahun protes. Selain protes rutin semisal aksi demonstrasi kaum buruh, setidaknya ada dua gelombang aksi unjuk rasa besar yang terjadi di tahun politik itu. 

Gelombang aksi unjuk rasa besar pertama terjadi pada pertengahan 2019. Unjuk rasa bertema menolak hasil Pilpres 2019 itu dihelat di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Thamrin, dan sejumlah titik di Jakarta pada 21-23 Mei. 

Unjuk rasa itu disebut-sebut digerakkan oleh elite-elite politik pendukung Prabowo-Sandi. Tujuannya, mendelegitimasi keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai pemenang pilpres. 

Kedua, gelombang aksi protes menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sejumlah RUU lainnya. Aksi tersebut dikibarkan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) di penghujung September 2019. 

Tak hanya di Jakarta, protes massal juga terjadi secara serempak di berbagai kota di Indonesia. Menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), total ada belasan orang meninggal dalam dua gelombang aksi unjuk rasa berdarah tersebut.  

Selain tahun protes, 2019 juga kerap dianggap tahun suburnya oligarki politik. Itu setidaknya terlihat dari komposisi koalisi versus oposisi di parlemen. 

Dengan bergabungnya Gerindra ke kubu parpol pendukung pemerintah, praktis hanya tinggal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang masih nongkrong di kubu oposisi. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Demokrat cenderung mengambil sikap abu-abu. 

PKS hanya memiliki 50 kursi di DPR. Di sisi lain, gabungan parpol pendukung pemerintah--PDI-Perjuangan, Golkar, NasDem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa--mengantongi 427 kursi di parlemen. 

Sponsored

Diakui Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, komposisi tersebut kurang menguntungkan bagi partainya. Namun demikian, ia optimistis bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah secara efektif. 

"Tapi, koalisi-oposisi itu di Indonesia cair. Boleh jadi sekarang kelihatannya semuanya masuk (ke koalisi pemerintah), tetapi tiga atau enam bulan ke depan, ketika koalisi gemuk ini tidak terkelola dengan baik, peluang satu per satu pindah ke oposisi ada juga," ujar Mardani kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Untuk memperkuat fungsi DPR sebagai pengawas kebijakan pemerintah, Mardani mengatakan, PKS telah menjalin kerja sama dengan elemen-elemen masyarakat sipil. Meskipun belum teruji, Mardani yakin sinergitas antara PKS dan masyarakat sipil bisa meminimalisasi munculnya gerakan-gerakan ekstraparlementer. 

"Apa pun (persoalannya) kita bisa duduk bersama. Tapi, ketika sudah aktif ekstraparlementer, apalagi sudah inkonstitusional, itu kita bakal kehilangan banyak hal dalam berdemokrasi," ucap Mardani. 

Lebih jauh, Mardani berharap agar pemerintah tetap memperhatikan sentimen publik dalam mengeluarkan kebijakan. Dengan begitu, beban kerja PKS sebagai oposisi tunggal bisa berkurang. "Karena itu, buat kami yang penting sekarang ini cobalah bicara kebenaran bersama kebenaran," imbuh dia. 

Gejala gerakan ekstraparlementer bakal marak pada 2020 setidaknya diamini koordinator aksi BEM-SI Erfan Kurniawan. Menurut Erfan, mahasiswa yang tergabung dalam BEM-SI sepakat untuk terus mengawal segala tindak-tanduk pemerintah maupun legislatif lima tahun ke depan. Salah satunya lewat gelaran aksi unjuk rasa. 

“Ya dari kami di mahasiswa itu akan melakukan gerakan ekstra parlementer. Itu gerakan biasalah. Kami turun ke jalan untuk mengawasi kinerja pemerintah dan DPR," ujar Erfan saat dihubungi Alinea.id, Senin (30/12).

Erfan mengatakan, BEM-SI masih harus mengawal tuntutan-tuntutan mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil yang tak kunjung dipenuhi pemerintah pada 2019, semisal mendesak agar Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK dan menuntut DPR membatalkan pasal-pasal bermasalah di RKUHP.  

“Jika memang masih ada iktikad dari pihak pemerintah tidak mengeluarkan Perppu KPK dan DPR masih ingin tetap mengesahkan RUU yang kami tolak, misalnya KUHP, maka kami justru akan semakin semangat melakukan perlawan terhadap mereka,” ujar mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu. 

Tak hanya itu, menurut Erfan, BEM-SI akan rutin mengkaji regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Berbarengan dengan itu, ia mengatakan, kelompok mahasiswa juga akan membentuk komunitas-komunitas bawah tanah yang tugasnya menyerap aspirasi publik di akar rumput. 

“Kami dari mahasiswa itu memang tidak akan berhenti membangun eskalasi di masing-masing kampus, di masing-masing wilayah. Ini membuktikan bahwa kami punya komitmen. Kami akan membela untuk segala isu yang memberatkan masyarakat," jelas Erfan. 

Suasana Rapat Paripurna ke-6 DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (17/12). /Antara Foto

Kinerja parlemen diprediksi melempem

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai dunia politik pada 2020 tak akan jauh berbeda situasinya dengan kondisi politik pada 2019. Di parlemen khususnya, Lucius memprediksi, kinerja DPR bakal tetap melempem. 

Salah satu penyebabnya ialah gangguan dari hajatan politik Pilkada Serentak 2020. Menurut dia, pilkada di 270 wilayah itu bakal menyita tenaga dan waktu para anggota DPR. Pasalnya, pilkada tersebut bakal jadi tonggak awal bagi persiapan kontestasi akbar Pemilu 2024. 

"Semua partai akan mati-matian memenangkan pilkada. Misi ini sekaligus akan menentukan ritme kerja parlemen yang sebagian besarnya merupakan figur inti parpol dalam mengupayakan kemenangan di pilkada," ujar Lucius. 

Selain kesibukan pilkada, Lucius mengatakan, anggota DPR juga akan banyak disibukkan dengan penyusunan RUU prioritas, semisal omnibus law dan beberapa RUU lain yang jadi perhatian publik pada 2019. "Pasalnya, penyelesaian aturan tersebut sekaligus menunjukkan keberhasilan pemerintah," kata dia. 

Seperti 2019, Lucius memprediksi, parlemen juga bakal tetap gaduh. Kegaduhan atau riak-riak kecil di parlemen, kata dia, setidaknya bakal terjadi dalam proses pembahasan sejumlah RUU. 

Salah satunya ialah revisi UU Pemilu yang akan sangat menentukan kemenangan parpol pada Pemilu 2024 mendatang. "Karena itu, penyesuaian sejumlah ketentuan akan memantik perdebatan, kontroversi dan akhirnya kegaduhan," jelas Lucius. 

Kegaduhan juga diyakini bakal muncul pada proses pengawasan, khususnya terkait rencana DPR membentuk Pansus Jiwasraya. Menurut Lucius, pembentukan pansus umumnya memperlihatkan kecenderungan DPR untuk memperjuangkan kepentingan partai ketimbang kepentingan publik. 

Di sisi lain, Lucius menilai tahun 2020 bakal menjadi tahun yang indah bagi anggota DPR. Pasalnya, tidak akan lagi terganggu oleh keberadaan KPK. Ia memprediksi bakal banyak patgulipat anggaran negara yang lolos dari deteksi penegak hukum. 

"Singkatnya, tak ada yang akan sangat luar biasa dan baru yang akan muncul di parlemen, kecuali satu dua hal yang akan terjadi terkait pelaksanaan fungsi pokok parlemen," kata dia. 

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai wajar anggapan aksi unjuk rasa beragam elemen sipil bakal marak tahun ini. Apalagi, PKS sebagai oposisi tunggal di parlemen diyakini tidak akan mampu berbicara banyak. 

Di lain sisi, menurut Ray, kepercayaan publik terhadap partai politik pun terus menurun. "PKS juga tidak akan selamanya protes. Dia akan kadang-kadang ikut, kadang-kadang tidak. PDI-P juga gitu. Tidak akan selamanya mendukung. Kemarin soal Perppu misalnya, PDI-P menolak keras. Sekarang soal GBHN, presiden seperti tidak respect, ya, mereka akan kencang," tuturnya. 

Ray mengatakan, olgarki politik bakal kian perkasa pada 2020. Seperti pada 2019, pemerintah dan DPR bakal mudah meloloskan aturan-aturan dan kebijakan yang bernuansa kepentingan transaksional. 

Situasi itu, lanjut Ray, bakal menumbuhkan benih-benih gerakan ekstraparlementer. "Tahun 2020 ini belumah itu akan ada parlemen jalanan. Tapi, potensi itu akan tumbuh untuk tahun-tahun berikutnya. Kasuistik, isu per isu saja," ujar dia. 

Lebih jauh, Ray mengatakan, tahun 2020 akan menjadi awal mula muramnya kepemimpinan Presiden Jokowi di mata rakyat. Pasalnya, publik  sudah kadung kecewa dengan langkah-langkah Jokowi dalam menanggapi isu-isu yang menjadi perhatian publik. "Khususnya pada isu pemberantasan korupsi pada tahun lalu," jelas Ray. 

Berita Lainnya
×
tekid