sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

RUU Pemilu, Perludem sayangkan parpol koalisi "ngekor" pemerintah

Parpol mestinya memberi keseimbangan pada arah politik kebijakan pemerintah.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Minggu, 07 Feb 2021 14:14 WIB
RUU Pemilu, Perludem sayangkan parpol koalisi

Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyesalkan sikap partai politik (parpol) yang cenderung mengikuti pemerintah terkait penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

"Menurut saya ini juga sangat disayangkan sebetulnya. Karena mestinya parpol sadar betul sebagai instrumen yang mestinya memberikan keseimbangan pada arah politik kebijakan pemerintah, ya mestinya bisa ikut seperti itu aja. Kan enggak semua juga keinginan pemerintah itu harus dituruti. Sekalipun mereka ialah parpol koalisi dari pemerintah," kata Fadli dalam webinar bertajuk "Maju Mundur RUU Pemilu," Minggu (7/2).

Baginya, keberadaan partai di DPR RI dapat memberikan keseimbangan dan pengawasan terhadap arah dan kebijakan dari pemerintah. Karena itu, dia berharap partai politik dapat melihat jernih dalam mengambil sikap terkait RUU Pemilu, salah satunya terkait penyelenggaraan pemilu nasional 2024.

"Jangan sampai karena isu kecil dan itu berkaitan dengan kepentingan jangka pendek sekelompok orang, misalnya soal jadwal pilkada, soal siapa yang lebih berpeluang dalam kontestasi ke depan, situasi itu yang kemudian dijadikan untuk menghentikan perbaikan kerangka pemilu. Ini menurut saya sangat disayangkan," tegasnya.

Bahkan, Fadli juga merasa aneh dengan penundaan pembahasan RUU Pemilu akibat adanya pandemi Covid-19. Dia berharap, pagebluk tidak menjadi dasar penundaan pembahasan, sebab akan ada sampak lebih besar jika RUU Pemilu tidak dilakukan.

"Sampai sekarang kan tidak tahu ini kapan berakhirnya, sementara di depan mata nanti 2024 akan ada penyelenggaraan pemilu nasional pergantian rezim kekuasaan secara konstitusional, tentu harus penting dipikirkan bagaimana sebuah proses penyelenggaraan pemilu yang siap dilaksanakan di tengah situasi pandemi atau kemungkinan bencana alam dan non-alam lainnya," papar Fadli.

Dia juga merasa janggal dan aneh dengan sikap pemerintah dan partai politik yang menolak RUU UU Pemilu tersebut. Penolakan itu, jelasnya, dengan dalih regulasi kepemiluan kerap dirubah setiap ada hajatan penyelenggaraan pemilu.

"Kalau sekarang konteksnya semua pihak merasa ada problem dari kerangka hukum pemilu yang berlaku sekarang, baik dalam UU Pemilu dan UU Pilkada, masa iya kita mau memaksakan ini bisa berlaku tiga atau empat kali pemilu," kata Fadli, dalam webinar tersebut.

Sponsored

Meski demikian, dia menyetujui bahwa suatau produk hukum dapat memiliki jangka waktu panjang untuk diberlakukan.

"Nah, kalau mau gunakan alasan itu tentu alasannya UU (Pemilu) sekarang sudah memadai tidak untuk digunakan dalam jangka waktu yang panjang? Menurut saya tidak. Ada banyak aspek yang harus diperbaiki dan dikuatkan, dan itu disadari oleh semua pihak ketika menginisiasi perbaikan RUU Pemilu," tegas Fadli.

RUU Pemilu merupakan inisiatif DPR RI dan sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Meski demikian, tak seluruh fraksi setuju RUU itu dibahas.

Sejumlah parpol di antaranya PAN, PDI-P, Golkar, PPP, Gerindra yang notabene parpol koalisi pemerintah merasa pembahasan RUU Pemilu belum dapat dilakukan. Sebaliknya, PKS, Demokrat, dan PKB setuju UU Pemilu direvisi.

Sementara NasDem, awalnya tegas mendukung pelakanaan revisi. Namun teranyar, Ketua Umum Surya Paloh mengultimatum jajarannya untuk menolak RUU Pemilu.

Pemerintah melaui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebelumnya menyatakan menolak rencana revisi UU Pemilu dan ingin tetap menggunakan UU Pemilu yang sudah ada. Alasannya, UU yang ada belum dilaksanakan.

"Tidak tepat jika belum dilaksanakan sudah direvisi. Mestinya dilaksanakan dulu kemudian dievaluasi, baru kemudian direvisi," ujar Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar dalam keterangannya, Jumat (29/1).

Berita Lainnya
×
tekid