sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Taktik politikus perempuan bertahan dan lolos ke parlemen

Hasil Pemilu 2019 mencatat, keterwakilan perempuan di DPR masih sekitar 20%.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Senin, 23 Mei 2022 15:17 WIB
Taktik politikus perempuan bertahan dan lolos ke parlemen

Politikus PDI-P Esti Wijayanti kerap meluangkan waktunya untuk menerima keluhan warga di posko yang didirikannya di Sleman, Yogyakarta, di tengah kesibukannya sebagai anggota Komisi X DPR. Beragam keluhan, seperti biaya pendidikan yang mahal, kesehatan, hingga kasus intoleransi ia advokasi.

“Karena mereka pemilih saya,” kata Esti saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (20/5).

Hal itu ia lakoni lantaran “menjaga” pemilihnya, agar tak berpaling ke politikus lain. Sebagai politikus perempuan yang berkali-kali lolos sebagai legislator, mulai dari anggota DPRD Kabupaten Sleman, anggota DPRD DI Yogyakarta, serta anggota DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024, Esti sudah kenyang berhadapan dengan persaingan suara di level daerah pemilihan.

“Saya tidak mau datang hanya waktu pencoblosan saja,” ujarnya.

“Saya harus bekerja untuk bisa selalu melakukan komunikasi dengan basis pemilih. Salah satunya membuat posko di dapil saya di Yogyakarta.”

Perempuan berusia 54 tahun itu mengaku, ruang aspirasi berupa posko terbukti sukses mengantarkannya menang dalam pertarungan legislatif. Ia mengatakan, bukan perkara mudah merawat dan merangkul pemilih dengan segala tantangan intrik politik lokal.

“Sejak jadi anggota DPRD Kabupaten Sleman, rumah saya terbuka 24 jam kalau ada kasus-kasus yang darurat,” ucapnya.

Bersiasat

Sponsored

Sekretaris Kabinet Pramono Anung (kiri) bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 Puan Maharani (kedua kiri) tiba sebelum pelantikan di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019). /Foto Antara//M Risyal Hidayat

Posko pengaduan warga yang ia bentuk di beberapa titik di Yogyakarta, terbukti menjadi wadah pendulang suara yang ampuh. “Suara saya terakhir 176.000 suara dan membuat saya lolos ke DPR,” katanya. “Itu semua berkat kerja advokasi saya sejak lama.”

Kesadaran merawat basis massa muncul karena tak mudah bagi kader perempuan bisa lolos ke parlemen, tanpa dukungan akar rumput. "Saya tidak ingin meninggalkan basis massa saya, terutama di kantong-kantong PDI-P," kata Esti.

Menurut Esti, keterwakilan perempuan belum ideal di parlemen. Oleh karenanya, terkadang agak kesulitan mengadvokasi masalah terkait hak-hak perempuan lantaran kalah dengan program legislasi nasional lainnya.

Sementara politikus PKS Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, sejauh ini keterwakilan perempuan di DPR sudah lumayan kompetitif dengan legislator laki-laki. Sehingga, katanya, kader perempuan di partai politik tinggal berusaha merebut pemilih.

“Yang dijamin UU (undang-undang) hanya minimal satu perempuan dari tiga nama calon anggota dewan,” ujar Ledia, Rabu (18/5).

“Pertarungannya dalam merebut suara sangat terbuka, baik laki-laki maupun perempuan.”

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, mengharuskan partai politik mengafirmasi keterwakilan perempuan sebesar 30%. Meski begitu, keterwakilan perempuan di DPR berdasarkan Pemilu 2019, berada pada angka 20,9% setara 120 dari 575 total anggota DPR.

Walau keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai angka ideal 30%, tetapi persentase ini meningkat pesat dibandingkan Pemilu 1955 yang hanya 5,88%.

Jauh sebelum terbit Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, PDI-P sudah memulai kebijakan 30% keterwakilan perempuan itu. “Saya ingat (kebijakan itu) sejak tahun 2000,” tutur Esti.

Namun, ia mengatakan, ganjalan terberat kader perempuan melenggang ke Senayan kerap datang dari kader laki-laki internal partai. Sebab, ia menilai, kader laki-laki merasa terancam tak lolos ke DPR bila popularitas kader perempuan yang menjadi pesaing, terus meningkat.

“Potensi yang ‘membahayakan’ itu datang dari mereka yang punya kuasa dan menganggap sebagai lawan yang harus disingkirkan,” ucap dia.

Serangan berupa isu miring yang dilancarkan pesaing di dapil, terkadang ditebar menjelang pemilu atau momen politik daerah. Tujuannya, menggiring pemilih supaya beralih ke kader lain.

“Sejauh ini, saya bisa membuktikan dengan baik. Yang terpenting, taat kepada pemerintah dan instruksi partai. Itu yang saya pegang,” kata dia.

Esti berpendapat, gagalnya banyak politikus perempuan ke DPR karena hanya tebar pesona menjelang pemilu. Mereka tak pandai merawat basis massa dan kepercayaan konstituen.

Ledia pun berupaya merawat pemilihnya, dengan hal serupa seperti yang dilakukan Esti. Ia sepakat dengan banyaknya politikus perempuan yang cuma mampu lolos satu periode ke DPR karena lupa merawat basis pemilihnya.

Legislator berusia 53 tahun itu lolos ke DPR tiga periode (2009-2014, 2014-2019, dan 2019-2024). Ledia mengungkapkan, menjaga konstituen yang loyal sangat penting sebagai aset politik kala pemilu. Ledia juga aktif di media sosial untuk memikat calon pemilih lain.

“Jadi, serap aspirasi masyarakat, advokasi kebijakan dan anggaran, sinergi dengan pemerintah daerah, dan masyarakat tahu apa yang kita lakukan melalui media sosial,” tutur Ledia.

Perempuan yang sudah bergabung di PKS sejak 1998 itu pun mengaku turut terbantu dengan kebijakan elektoral partainya, yang fokus mencetak kader militan di akar rumput.

Dalam proses pembinaan PKS, kata dia, wajib diikuti semua anggota dalam berbagai organisasi untuk melakukan internalisasi nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan kepemimpinan.

"Termasuk di dalamnya peningkatan kapasitas pengurus perempuan dan bakal calon anggota legislatif," kata Ledia.

Terlepas dari kebijakan partainya, Ledia menyarankan agar kader perempuan yang sudah malang-melintang di kancah politik melakukan promosi terhadap kader muda perempuan.

“Sehingga power kader perempuan di PKS lebih kuat bertarung,” katanya. "Alhamdulillah, PKS sekarang ada sembilan anggota DPR perempuan, dari sebelumnya hanya satu di 2014," kata Ledia.

Agar perempuan mampu bersaing

 Suasana Rapat Paripurna DPR RI soal penetapan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (22/1/2020)/Foto Antara/Puspa Perwitasari.

Menurut peneliti Pusat Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kurniawati Hastuti Dewi, yang akrab disapa Nia, tata kelola partai politik yang cenderung apatis melihat peran perempuan telah berdampak terhadap pembuatan undang-undang. Misalnya, pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang berjalan alot di DPR.

“Itu salah satunya karena tidak kuatnya peran perempuan di DPR," kata Nia, Rabu (18/5).

Seandainya keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 30%, ia menerka pembahasannya tak berlarut-larut. “Buktinya begitu 20% (keterwakilan perempuan, pembahasan RUU TPKS) rampung," ujar Nia.

Walaupun belum memenuhi target ideal 30%, Nia mengatakan, Pemilu 2019 cukup menggembirakan bagi keterwakilan perempuan di DPR, yang mencapai sekitar 20% atau 120 legislator. Namun, ia mencatat, belum banyak politikus perempuan yang berasal dari akar rumput mampu lolos ke DPR.

“Dari situ terlihat, partai politik tidak memiliki komitmen yang cukup kuat dan jelas untuk mengadvokasi kader perempuan, terutama yang berasal dari bawah,” tuturnya.

Selain itu, kata Nia, partai politik tak sungguh-sungguh mendorong dan mendukung caleg perempuan. Rata-rata partai politik hanya melihat kader perempuan dari segi popularitas.

"Jadi kayak dibiarkan bertarung sendiri," kata Nia.

Kebanyakan partai politik masih lebih mengutamakan kader laki-laki agar lolos ke DPR. Hal itu, menurut Nia, bisa dilihat dari posisi kunci struktur partai, yang mayoritas diisi laki-laki.

"Walhasil kapital partai lebih digunakan caleg-caleg laki-laki," kata Nia.

Di samping itu, lanjut dia, kader perempuan yang berasal dari akar rumput kerap tersisih dengan politikus perempuan dari dinasti politik partai. “Akhirnya mereka memotong jalur kaderisasi yang sesungguhnya, sedangkan kader perempuan yang sudah berjuang dari bawah tidak pernah naik,” ucapnya.

Untuk meningkatkan keterpilihan politikus perempuan di DPR, Nia memandang, perlu komitmen serius partai politik. Celakanya, saat ini masih banyak partai yang diskriminatif terhadap kader perempuan.

"Bentuknya bisa pada aturan yang lebih kuat di partai atau mengalokasikan sebagian dana untuk caleg perempuan menjadi berapa persen," katanya.

Diperlukan pula upaya struktural agar para kader perempuan mampu memegang jabatan kunci di partai politik, supaya kebijakan partai tak memiliki perspektif gender dan tak diskriminatif.

"Hal itu penting,” ujarnya.

Terakhir, Nia menyinggung basis massa yang kuat. Menurut dia, banyak kader perempuan yang sudah lolos ke DPR gagal kembali meraih kursi lantaran kalah dengan politik uang dari lawannya—rata-rata politikus laki-laki—karena tak punya basis massa yang kuat. Nia juga menyindir tentang politik dinasti.

“Perempuan yang terpilih di (Pemilu) 2019 kemarin itu berasal dari politik dinasti, hampir 40%,” ucap dia.

“Kenapa begitu? Karena mereka punya sumber daya materi.”

Salah satu cara melawan politik uang, ujar dia, adalah dengan menaikkan posisi sosial dan memperkuat basis pemilih.

“Semisal di kalangan nelayan, petani, atau Muslimat NU dan Aisyah Muhammadiyah, mereka tidak perlu banyak keluar uang,” tuturnya.

“Tinggal mempertahankan basis sosial itu dengan kerja-kerja nyata.”

Sayangnya, Nia menilai, sejauh ini belum banyak politikus perempuan yang pandai merawat suara pemilih, seperti Esti dan Ledia. Akhirnya ditinggalkan pemilih pada pemilu berikutnya.

Nia mengatakan, saat ini ia dan timnya sedang berusaha merancang strategi politik untuk perempuan agar lebih punya peluang besar lolos ke DPR. Terutama perempuan yang berangkat dari akar rumput.

"Supaya makin banyak perempuan alternatif yang muncul, tidak hanya perempuan yang elitis saja dan dari politik dinasti,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid