sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Trauma gempa dan cerita mereka di pengungsian

Sampai hari ketiga pascagempa, tempat pengungsian Nurul belum juga disambangi oleh bantuan dari pemerintah.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Kamis, 09 Agst 2018 21:07 WIB
Trauma gempa dan cerita mereka di pengungsian

Tak seperti biasanya, suasana Bandara Internasional Lombok begitu padat dan ramai. Orang-orang menunggu keberangkatan dan memenuhi peron bandara. Sebagian lainnya menggelar karpet dan tikar untuk alas tidur di bandara dua hari pascagempa, Selasa (7/8) di Kabupaten Lombok Utara (KLU).

Banyak di antara mereka adalah wisatawan asing yang ingin segera keluar dari Pulau Lombok. Air muka mereka menunjukkan trauma. 

Sejak Minggu malam (5/8) Pulau Lombok terus diguncang gempa. Lombok diguncang gempa sebesar 7 skala richter malam itu. Setelah gempa pertama yang cukup lama dan getarannya terasa hingga ke Bali, gempa-gempa susulan yang skalanya lebih kecil terus mengguncang Lombok hingga ratusan kali.

Seminggu sebelumnya, Lombok juga diguncang gempa. Minggu (29/7) pagi itu, lempeng di sekitar Pulau Seribu Masjid tersebut bergerak cukup lama. Episenter gempa yang berada di Lombok Timur membuat jalur pendakian di Gunung Rinjani longsor. Ribuan pendaki terjebak di atas gunung, tak bisa turun ke Desa Senaru yang merupakan jalur turun.

Muhammad Nizar Fahmi sedang mendapat jadwal siaran radio Minggu pagi (29/7) itu. Ketika baru saja ia menekan tombol fider mixer, yang artinya sudah siap on air di udara, gempa mengguncang Lombok.

“Antara profesional atau sayang nyawa, saya mencoba cari jalan tengah. Saya berusaha berbicara tenang di depan microphone, saya izin dengan para pendengar untuk menyelamatkan diri keluar ruangan setelah memutarkan mereka lagu,” cerita Nizar.

Sejumlah anak bermain di tenda darurat di tempat penampungan pengungsi korban gempa bumi di Pemenang, Lombok Utara, Lombok Utara, NTB, Selasa (7/8) / Antarafoto

Sponsored

Belum hilang traumanya akan gempa tersebut, seminggu setelahnya gempa kembali terjadi. Episenter gempa hari Minggu malam (5/8) lalu berada di Lombok Utara.

Di Kota Mataram, setelah BMKG mengumumkan gempa memiliki potensi menjadi tsunami, beredar isu air laut telah naik ke permukaan. “Dari arah berlawanan, tetangga saya berteriak, "Semuanya lari, cari tempat mengungsi. Katanya air laut sudah naik,”” ujar Nizar.

“Akhirnya saya dan keluarga memutuskan mengungsi, mencari lapangan yang besar untuk berkumpul dengan orang banyak. Jalanan padat layaknya keadaan ibu kota Jakarta yang selalu macet, ini tumben di Lombok,” cerita Nizar.

Nizar mengakui dirinya sempat menangis di pengungsian karena trauma. “Setiap ada bunyi sirine yang lewat, kami mengganggap bahwa itu adalah bunyi sirine peringatan tsunami, padahal itu hanya suara bunyi sirine ambulan yang lalu lalang menjemput para korban,” kata pria berbadan tambun tersebut.

Di antara para pengungsi, kata Nizar, tidak ada yang berani tertidur lelap, terutama para pria. “Malam itu benar-benar mencekam. Banyak orang menganggap, termasuk saya juga, kalau malam itu adalah akhir dari pulau Lombok,” ujarnya. 

Dari amatannya, di setiap sudut lapangan ia mendengar suara zikir dari para pengungsi. Mereka berdoa memohon ampun dan perlindungan sang maha kuasa.

Sementara di itu di Desa Santong, KLU, Nurul Sulastri Rahma sedang mengajarkan anaknya mengaji Minggu malam itu. Tiba-tiba ia merasa bumi bergoncang dengan kuat. Panik, ia segera menyelamatkan dua orang anaknya yang diajaranya mengaji. Nurul segera keluar dari dalam rumahnya menuju jalanan Desa Santong, KLU. Jalanan desa tersebut telah dipenuhi oleh tetangga-tetangganya yang juga panik.

Gempa berhenti, tak ada yang berani kembali ke rumah. Mereka berbondong-bondong berjalan ke lapangan Desa Santong. Sampai di sana, warga yang berasal dari desa dan kecamatan lain juga telah berkumpul di sana. Berpuluh-puluh gempa susulan terus terjadi malam itu. “Warga takut kembali pulang ke rumah, kami akhirnya tidur di lapangan,” ujar Nurul saat dihubungi Alinea.

Suara Nurul terdengar lirih saat di ttelpon. Trauma akan gempa Minggu malam itu belum juga hilang di hari ketiga ia mengungsi, Rabu, (8/8). Di pengungsian, ia hanya bisa beristirahat dan pasrah dengan keadaannya saat ini.

Akibat gempa tersebut, Nurul menuturkan rumahnya retak. “Pagar-pagar hancur, banyak juga rumah tetangga saya yang hancur,” katanya. Selain itu, enam orang desanya juga menjadi korban dari peristiwa tersebut.

Sampai hari ketiga pascagempa, tempat pengungsian Nurul belum juga disambangi oleh bantuan dari pemerintah. “Makanan mulai menipis, listrik belum menyala, kami mengandalkan genset di pengungsian. Air pun kami mengambilnya dari sungai yang keruh,” jelas Nurul. 

Bala bantuan baru yang baru tiba di Desa Santong hanya berasal dari relawan rumah sakit Sanglah, Denpasar, Bali, serta TNI. Warga saling bahu-membahu mebersihkan reruntuhan bersama relawan.

Personel TNI AU melakukan bongkar muat bantuan untuk korban gempa bumi usai mendarat di Lanud Zainuddin Abdul Madjid (ZAM) di Rembiga, Mataram, NTB, Kamis (9/8)./ Antarafoto

Sepuluh menit berbicara, Nurul mengatakan ia ingin mengakhiri sambungan telepon dengan Alinea karena masih trauma mengingat-ingat kejadian tersebut. Alinea pun mengakhiri sambungan telepon tersebut.

Sama seperti Desa Santong, warga Dusun Medas Munawarah, Desa Taman Sari, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat kekurangan air bersih, makanan, dan selimut. Dinginnya cuaca dan angin malam yang terus berhembus di kawasan hutan dan lereng bukit tersebut menambah kegelisahan mereka. 

“Untuk kebutuhan bayi dan anak kecil, warga juga membutuhkan pampers, minyak kayu putih dan tenda atau terpal. Baru sekali dapat bantuan dari Desa tadi," jelas Hanapi, Kepala Dusun Medas Munawarah.

“Isu maling dan rampok yang menjarah korban juga menambah daftar kegelisahan warga,” tambah Hanapi.

Seluruh rumah warga dari sekitar 225 kepala keluarga yang tersebar di 3 RT di dusun ini tak satu pun bisa ditempati lagi. “Sekitar 235 rumah mengalami rusak berat dan sekitar 15 rumah rusak ringan. Sudah tidak bisa ditempati lagi, warga takut,” tutur Hanapi.

Selain Dusun Medas Munawarah, dari pantauan Alinea, daerah-daerah di sekitar Lombok Barat juga banyak yang mengalami kerusakan parah akibat gempa 7 skala richter tersebut.

“Di Lombok Barat, yang paling parah itu Kecamatan Gunungsari. Di Desa Kekait, Desa Tamansari, Desa Jeringo, Desa Gelangsar, Desa Kekait, Desa Dopang, dan lain-lain juga belum dapat bantuan,” ujar Turmuzi Tahir, warga Gunungsari, Lombok Barat. 

Selain di Lombok Barat, daerah-daerah terdampak gempa di Kabupaten Lombok Utara juga banyak yang belum tersentuh bantuan. Daerah di punggung gunung Rinjani bagian utara, mulai dari Bayan, Kayangan, Pemenang, hingga Tanjung, banyak yang belum tersentuh bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mobil Rescue dari Dinas Sosial yang tidak sengaja kami buntuti, terus menyurvei daerah-daerah tersebut untuk memastikan kondisi terkini.

Kondisi jalanan di KLU memang sulit dilalui bagi mobil-mobil besar. Medan pegunungan yang dihadapi mengakibatkan distribusi logistik dan obat-obatan tidak langsung sampai secara merata, ke korban di kecamatan-kecamatan yang tersebar di KLU. Kesulitan tersebut ditambah lagi dengan aspal dan jembatan telah yang retak dan rentan putus di sepanjang KLU.

Selain itu, rumah sakit umum di daerah Tanjung, KLU, ambruk. Pasien-pasien dirawat di lapangan parkir maupun area terbuka di sekitar RSUD. Banyak di antara mereka merupakan korban luka-luka. Sebagian korban yang luka-luka merupakan lansia dan anak-anak.

"Mana logistiknya?" kata M. Faisol Camat Pemenang, KLU, pada Eddi Mangun, Humas Pertamina MOR 5.

Kantor Camat Pemenang rubuh usai gempa Minggu malam lalu. Selasa (7/8), Posko Pusat dibangun di atas halaman Kantor Camat Pemenang, berlatar belakang kantor yang nyaris rata dengan tanah. Faisol sendiri yang mengoordinasi semuanya.

"Ada 3500 jiwa yang mengungsi di sekitar 20 posko-posko besar yang tersebar di  desa-desa dan dusun-dusun di Pemenang," ungkap Faisol. Wilayah Kecamatan Pemenang sendiri melingkupi 4 desa dan 48 dusun. Di kampung-kampung, menurut penuturan Faisol, 20 posko besar sudah memiliki dapur umum. Perkakas memasak berukuran besar sangat dibutuhkan di dapur umum.

Tampak di dapur umum anggota TNI bahu membahu memasak makanan sore itu. Mereka tengah menggoreng telur mata sapi dan nasi goreng. Seorang tentara muda, Faujan Nurrahim tengah bergurau dengan rekan-rekannya, sembari berkumpul di dapur umum.

Faujan berasal dari unit Batalion Zeni Tempur 18 yang bermarkas di Gianyar Bali. Ia tiba di Lombok Selasa (7/8). Faujan turut membantu mengevakuasi korban terjebak reruntuhan di hari kedatangannya.

"Korbannya perempuan, usia 20 tahunan," ujar Faujan. Korban selamat yang tertimbun reruntuhan gedung supermarket itu terjebak selama dua hari.

Selasa sore (7/8) itu Faisol tengah sibuk menerima banyak pasokan logistik. Sebuah organisasi nirlaba tengah berkoordinasi dengannya. Mereka bertanya pada Faisol seputar kebutuhan pengungsi di wilayah Pemenang. "Tenda, selimut, obat-obatan," jawab Faisol kepada NGO.

Menurut Faisol, kebutuhan pengungsi memang beragam, tidak hanya sembako saja. Ia mesti menegaskan kepada relawan agar berkoordinasi, supaya logistik yang dikirim sesuai kebutuhan. 

Sementara itu kebutuhan pengungsi lain seperti selimut dan obat-obatan generik seperti obat diare, pain killer, dan paracetamol, amat dibutuhkan.

"Yang tidak terpikirkan relawan adalah menyumbang baju dalam. Sering ibu-ibu ini tertukar baju dalam mereka di tenda posko. Sementara relawan selalu berpikir untuk menyalurkan baju luar saja. Baju dalam kita terima kok, nanti tentu yang akan membagikannya ibu-ibu," ujar Faisol.

Berita Lainnya
×
tekid