Puluhan wakil menteri (wamen) di Kabinet Merah Putih merangkap jabatan sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sejauh ini, terdapat 25 wakil menteri yang menjabat sebagai komisaris BUMN. Rangkap jabatan para wamen dianggap diperbolehkan lantaran tak dilarang oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Awal Juni lalu, Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO), Hasan Nasbi mengatakan pemerintah bersandar pada putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019. Pada putusan itu, tidak ada larangan rangkap jabatan untuk para wamen. Putusan dianggap hanya berlaku untuk para menteri di kabinet.
Wamen yang rangkap jabatan, semisal Dony Oskaria yang menjabat Wakil Menteri BUMN sekaligus Chief Operation Officer (COO) BPI Danantara, Fahri Hamzah yang menjabat Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP) merangkap Komisaris PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN, dan Angga Raka Prabowo, Wamen Komdigi yang juga Komisaris Utama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riewanto membenarkan putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 memang tidak spesifik menyebut wakil menteri dilarang rangkap jabatan. Dalam kaidah hukum, segala sesuatu yang tidak dilarang ditafsirkan diperbolehkan.
"Jadi, ini memang ini celahnya. Kalau tidak ada larangan, ya, diartikan boleh. Rangkap jabatan itu, secara etika, memicu konflik kepentingan, namun dalam hukum segala yang tidak diatur atau dilarang secara tertulis, dianggap tidak dilarang," kata Agus kepada Alinea.id, Rabu (18/6).
Meski tidak melanggar regulasi, Agus menilai wamen rangkap jabatan melabrak asas kepatutan. Menurut Agus, DPR seharusnya mengatur mengenai larangan wakil menteri rangkap jabatan pada Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara atau Undang- undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Tetapi, saya ragu pemerintah dan DPR mau mengatur larangan wamen agar tidak rangkap jabatan. Saya melihat posisi wamen ini memang dirancang supaya lebih lincah pergerakannya, karena menterinya tidak rangkap jabatan," kata Agus.
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi, dan Masyarakat (Sideka) Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama menilai putusan MK 80/PUU-XVII/2019 semestinya tak jadi celah untuk rangkap jabatan oleh para wamen.
Presiden Prabowo, kata dia, semestinya menyadari jika memberi ruang wamen rangkap jabatan sebagai komisaris punya konsekuensi membuat wamen tidak bekerja profesional untuk kementrian dan potensial lebih asyik "mengeruk" uang di BUMN .
"Tugas wamen bukanlah tugas biasa. Ada amanah yang dipegang untuk mengurus dan menyelesaikan persoalan yang ada di dalam kementerian. Tugasnya jelas, membantu menteri dan menyelenggarakan pemerintahan mencapai kesejahteraan," kata Suwardi kepada Alinea.id.
Suwardi mengatakan rangkap jabatan para wamen melanggar asas-asas umum pemerintahan yang bai dan rentan terhadap praktik perbuatan korupsi. Dari sisi keadilan, Suwardi menyebut rangkap jabatan para wamen tidak adil terhadap masyarakat yang turut terdampak kebijakan efisiensi anggaran.
"Di tengah-tengah kondisi hari ini soal lapangan pekerjaan, negara harusnya prihatin dengan mengevaluasi dan tidak menjadi boros karena menggaji 1 orang dari 2 sumber tempat yang berbeda. Jangan hanya efisiensi pada masyarakat, namun pembuat kebijakan malahan mempraktikkan keborosan," kata Suwardi.