sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Anggaran untuk tambal defisit BPJS Kesehatan terus membengkak

BPJS Kesehatan terus mengalami defisit sejak 2015.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Rabu, 21 Agst 2019 15:06 WIB
Anggaran untuk tambal defisit BPJS Kesehatan terus membengkak

Dana bantuan dari pemerintah untuk menambal defisit BPJS Kesehatan terus membengkak setiap tahunnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahkan pemerintah memberikan dana lebih cepat dari waktu yang seharusnya.

"Kita bukan hanya membayar tepat waktu, kita beri lebih cepat dari waktunya, karena kita tahu BPJS akan mengalami kekurangan dana," katanya saat rapat dengan Komisi XI DPR RI di Gedung DPR RI, Rabu (21/8).

Bahkan, lanjut Sri, untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI), pihaknya telah melunasi untuk jangka waktu satu tahun langsung. 

"Kita sudah bayarkan PBI untuk satu tahun ke depan sampai bulan Juni 2019. Agar BPJS tidak semakin defisit dan likuiditasnya makin besar," ujarnya.

Sri menjelaskan BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit setiap tahunnya. Pada tahun 2014, defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp1,4 triliun. Angka itu melonjak jadi Rp 9,4 triliun di tahun 2015. 

Penurunan hanya terjadi di tahun 2016 menjadi Rp6,4 triliun yang disebabkan penyesuaian harga yang terjadi setiap dua tahun sekali.

Namun demikian, di tahun berikutnya defisit anggaran BPJS Kesehatan kembali melebar. Pada tahun 2017, angkanya mencapai Rp13,8 triliun. Hingga akhir tahun 2018 kemarin defisitnya mencapai 19,4 triliun.

Untuk itu, pemerintah selalu memberi suntikan dana bagi BPJS Kesehatan. Untuk menutup defisit pada 2018 saja pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp10,3 triliun. Namun, dana itu masih belum cukup menutupi defisit keseluruhan. BPJS Kesehatan menyisakan bolong anggaran sebesar Rp9,1 triliun.

Sponsored

Sementara, pada tahun 2015 suntikan dana yang diberikan sebesar Rp 5 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 6,8 triliun, dan pada tahun 2017 sebesar Rp 3,6 triliun.

Sri menjelaskan, defisit di BPJS terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara manfaat yang diterima, dengan iuran yang dibayarkan peserta, dan juga risiko yang tinggi.

"Persoalan jaminan kesehatan defisit yang dikelola BPJS, dari djsn menyampaikan iurannya tidak mencerminkan manfaat dan resiko yang seimbang. Iuran kecil, manfaat banyak, resiko tinggi," tuturnya.

Sebelumnya, Pemerintah telah memutuskan tiga strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan strategi pertama, pemerintah akan menaikkan premi yang harus dibayarkan oleh peserta jaminan. Nominal kenaikan tersebut, kata Wapres, masih dalam penghitungan oleh tim teknis.

"Kita sudah setuju untuk menaikkan iuran, berapa naiknya itu akan dibahas oleh tim teknis. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa iurannya itu (sekarang) rendah, sekitar Rp23.000 itu tidak sanggup sistem kita," kata JK.

Iuran bulanan BPJS Kesehatan saat ini terbagi dalam tiga jenis, yakni Rp25.500 untuk peserta jaminan kelas III, Rp51.000 untuk peserta jaminan kelas II dan tertinggi Rp80.000 untuk peserta jaminan kelas I.

Strategi kedua, lanjut JK, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar lembaga BPJS Kesehatan melakukan perbaikan manajemen dengan menerapkan sistem kendali di internal institusi tersebut.

Strategi ketiga, pemerintah akan kembali menyerahkan wewenang jaminan sosial kesehatan tersebut ke masing-masing pemerintah daerah. Artinya, pengelolaan tagihan fasilitas kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan akan menjadi tanggung jawab gubernur, bupati dan wali kota masing-masing daerah.

"Karena tidak mungkin satu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih pesertanya, maka harus didaerahkan, didesentralisasi, supaya rentang kendalinya tinggi, supaya 2.500 rumah sakit yang melayani BPJS Kesehatan itu dapat dibina oleh gubernur dan bupati setempat," jelas JK. (Ant)

Berita Lainnya
×
tekid