sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Berkah PHK hasilkan omzet belasan juta

PHK bisa menjadi jalan meraih kesuksesan melalui wirausaha.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Selasa, 28 Apr 2020 05:59 WIB
Berkah PHK hasilkan omzet belasan juta

Ada yang tidak biasa pagi itu, Selasa (21/4). Sekitar pukul 09:30 WIB kamar JT (27 tahun) masih terkunci rapat dari dalam. Irene (sang adik) dan ibunya yang baru saja pulang berziarah makam mengetuk-ngetuk pintu kamar JT, tapi tak ada jawaban.

Irene yang penasaran kenapa JT tidak ikut bersama ia dan ibunya ke makam berinisiatif untuk mengintip melalui jendala kamar sang kakak. Dengan celah seadanya, Irene melihat seuntai kaus terikat di kusen pintu kamar sang kakak dan melilit leher JT. Irene sontak menangis histeris melihat JT yang sudah tak bernyawa.

Suara tangis Irene terdengar oleh tetangganya, sehingga beberapa jenak kemudian, suasana rumah kontrakan di Kembangan, Jakarta Barat itu langsung ramai dipenuhi warga sekitar. Satu di antara sekian banyak warga yang datang, merekam kejadian itu dan menyebarkannya ke media sosial.

Video itu sempat viral, sebelum akhirnya Kanit Reskrim Polsek Kembangan AKP Nicko mengonfirmasi bahwa yang meninggal tersebut adalah seorang laki-laki dewasa. Ia telah dipecat dari pekerjaannya sebulan lalu.

“Kata kakaknya, sebulan yang lalu baru dirumahkan, enggak tahu baru di-PHK (pemutusan hubungan kerja),” tutur Nicko, Selasa (21/4).

JT barangkali hanya satu dari sekian banyak orang yang turut mengalami PHK lantaran dampak Covid-19. Hal ini terbukti dari data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) per 21 April 2020 yang menunjukkan, sudah ada sekitar 2,08 juta pekerja yang di-PHK dan dirumahkan.

Menaker Ida Fauziyah menyatakan, jumlah pekerja dari sektor formal yang di-PHK dan dirumahkan mencapai 1,54 juta orang. Sementara di sektor informal jumlahnya sekitar 538 ribu pekerja. 

“Data terbaru Kemnaker per-21 April, jumlah pekerja (di-PHK) total ada 2.082.593 pekerja dari sektor formal dan informal dari 116.370 perusahaan yang terdampak Covid-19,” ungkap Ida dalam keterengan tertulis, (23/4).

Sponsored

Bangkit

Berkaca pada pada data dan kisah di atas, terang benderang sudah bahwa kini PHK semakin menjadi momok yang begitu mengerikan bagi kebanyakan orang. Frustasi karena kehilangan penghasilan, terlebih harus menjadi tulang punggung keluarga bisa saja membimbing orang untuk melakukan tindakan nekat bunuh diri seperti yang dilakukan JT.

Meski nisbinya bunuh diri menjadi cara mudah untuk lepas dari jerat masalah, namun sudah barang tentu langkah itu bukanlah hal yang baik. Artikel ini pun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengucilkan JT atau korban bunuh diri lainnya.

Masalah hidup seperti halnya PHK, sebenarnya bisa menjadi peluang bagi banyak orang untuk bangkit dan mencoba berbisnis. Seperti yang dilakukan Chairunnisa (22 tahun), seorang mantan pramuniaga toko fesyen di Mal Kota Kasablanka, Jakarta Selatan.

Ica, begitu ia akrab disapa, di-PHK oleh perusahaanya sejak 3 April 2020. Saat itu, mal tempatnya bekerja menerapkan kebijakan penutupan sementara untuk mengantisipasi penyebaran Coronavirus atau SARS-CoV2.

Remaja yang tinggal di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat itu mengaku, sedih ketika atasannya menelepon bahwa dirinya harus menjadi salah satu orang yang dikorbankan perusahaan untuk pengurangan karyawan. Ica bingung bagaimana lagi caranya mendapatkan uang kalau ia tidak bekerja.

Masalahnya, saat ini ia harus membiayai kuliahnya di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) yang baru saja memasuki semester empat. Betapapun, katanya, ia masih memiliki cita-cita untuk mendapatkan gelar sarjana.

“Masih (kuliah), bang. Tapi cuti sementara karena kondisinya kaya gini. Nanti kalau penghasilannya udah normal, harus lanjut kuliah lagi,” ungkapnya saat berbincang dengan Alinea.id pekan lalu.

Keinginan keras itu pun akhirnya membawa Ica pada suatu ide cemerlang untuk mendapatkan penghasilan di tengah situasi paceklik seperti sekarang. Saat perjalanan pulang dari Mal Kota Kasablanka untuk berpamitan kepada sejawatnya, Ica teringat resep racikan jamu sang ibu yang pernah diminumnya sewaktu masa kanak-kanak.

Sesampainya di rumah, ia langsung meracik bahan-bahan yang ada, seperti jahe, kunyit dan kencur di lemari pendingin untuk dijadikan jamu. Sebagai tahap awal, jamu itu dibagikannya kepada tetangga untuk dicoba rasa dan manfaatnya.

“Waktu itu bagi-bagi ke tetangga. Katanya enak. Akhirnya, gue punya ide, kenapa enggak dijual aja. Tadinya dijual di daerah rumah aja, buat tetangga. Tapi gue tingkatin, gue jual di Instagram,” kisahnya.

Produk Jamu.njamu yang dijual di instagram. Dokumentasi.

Dengan bekal rekomendasi dari tetangga dan sisa gaji seadanya, Ica pun memberanikan diri untuk menjual jamu racikannya secara masif. Ia membuat akun instagram @Jamu.njamu untuk memasarkan produk jamu tersebut. Jamu beras kencur, jahe gula merah, dan kunyit asam dibanderol Rp10.000 per botol 200 mililiter.

Awalnya, sambung Ica, jamu racikannya hanya laku sebanyak 6 botol. Namun testimoni para pelanggan penjualan jamunya terus meningkat dari hari ke hari. Kini, ia bisa menjual sekitar 20-30 botol jamu per hari. “Pertama-pertama cuma laku 6 doang. Abis itu sisanya buat besok lagi. Kalau sekarang gue bisa jual 20-30 botol per hari,” katanya.

Dari hasil penjualan jamu itu, kini Ica bisa mengantongi omset minimal Rp200.000-Rp300.000 per hari. Sementara profitnya, sekitar 50% dari omzet yang didapatkan. Jika ditotal selama sebulan, Ica bisa menghasilkan omzet sebesar Rp6 juta-Rp8 juta, dengan profit sebesar Rp3 juta-Rp4 juta.

Saat ini, total sudah ada 800 botol jamu yang dijual Ica sejak dirinya mulai berbisnis pada 5 April 2020 lalu. Ica berharap, ke depan penjualan jamunya bisa mencapai 100 botol jamu per hari. Dengan demikian, ia bisa mengantongi omzet Rp1.000.000 juta per hari dan profit sekitar Rp500.000 per hari.

Jangan menyerah

Setali tiga uang dengan Ica, Alief Akbar (23 tahun) seorang sarjana lulusan ilmu manajemen sumber daya lahan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) juga turut mengambil langkah serupa. Alief baru sebulan bekerja di sebuah start-up yang bergerak dalam bidang pariwisata. Namun, ia akhirnya diputus kontrak karena seluruh proyek perusahaan harus dibatalkan akibat Covid-19.

Awalnya, Alief juga mengaku cukup frustrasi ketika dirinya harus sama seperti orang lain. Apalagi dengan menyandang label seorang penganggur dengan gelar sarjana dari lulusan kampus ternama. Ia sempat kecewa karena merasa takdir seakan-akan sama sekali tidak berpihak kepadanya.

Bayangkan saja, empat tahun belajar mati-matian untuk lulus dari IPB, tapi malah menjadi penganggur baru di Indonesia. Namun Alief, sebagaimana manusia terpelajar pada umumnya merasa tidak baik jika terus menerus larut dalam kekecawaan.

Tak menunggu lama, ia memilih untuk bangkit dan menanggalkan segala kekecewaanya itu jauh di belakang. Alief mulai berpikir apa yang bisa dilakukannya di situasi sekarang. Segala upaya telah dipikirkannya hingga akhirnya tercetuslah ide untuk mengembangkan bisnis katering. Bisnis ini pernah ia cicipi bersama kolega sewaktu masa kuliah dulu.

“Ini dulunya usaha temen saya yang sempat vakum dari 2018. Jadi ya sudah saya pikir ada peluang nih dari catering ‘kan,” tutur Alief kepada Alinea.id melalui telepon beberapa waktu lalu. Terlebih di masa pandemi ini banyak program berbagi makanan untuk membantu sesama manusia.

Dengan niatan yang baik, Alief kemudian mengumpulkan beberapa temennya di Bogor, Jawa Barat untuk kembali memulai bisnis jasa boga bernama Kamp Katring. Bersama teman-temannya, ia mengumpulkan beberapa wanita baya yang penghasilannya juga lenyap lantaran Coronavirus.

Para wanita baya itu dipekerjakan Alief dan kawan-kawan sebagai juru masak di bisnis katering miliknya. Sejauh ini, kata Alief, sudah ada dua juru masak yang dipekerjakannya untuk menyediakan makanan bagi klien Kamp Katring.

“Ibu-ibu kita berdayakan untuk tim memasaknya. Kita memang sasarannya itu, kita berdayakan ibu-ibu untuk terlibat dan membantu,” terangnya.

Saat ini, lanjut ia, Kamp Katring sudah resmi ditunjuk sebagai mitra katering bagi program #30HariMencariBerkah yang diinisiasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB 2017. Program ini bertujuan untuk membagi-bagikan kudapan gratis bagi masyarakat terdampak Covid-19 di wilayah Bogor, Jawa Barat.

Dengan kerja sama itu, Kamp Katring kini bisa memproduksi sekitar 20-30 boks per hari. Sekarang, paket makanan seharga Rp20.000 per boks itu bisa menghasilkan total omzet hingga Rp400.000-Rp600.000 per hari. Artinya, jika dikalkulasi dalam sebulan Alief bisa menghasilkan omzet sekitar Rp12 juta-Rp18 juta.

Namun begitu, Alief mengaku tidak banyak mengambil untung dari usahanya itu. Pasalnya, penjualan Kamp Katring saat ini masih ditujukan untuk kegiatan sosial, sehingga ia dan kawan-kawannya hanya mengambil margin dari dana mitigasi risiko kenaikan harga pangan dari penjualannya.

“Karena ini masih dalam hal sosial, kami ambil margin dari mitigasi risiko kenaikan harga pangan aja. Sekalian ini kan juga untuk meningkatkan brand awareness usaha kita,” tuturnya.

Tari ke tani

Berbeda dengan dua kisah di atas, Sukma (34 tahun), seorang pelatih tari memang tidak pernah dipecat oleh perusahaan. Tetapi sebagai orang yang bekerja di bidang hiburan dan pariwisata, ia mengaku harus kehilangan seluruh penghasilannya semenjak Covid-19 mulai menjalar ke Indonesia.

Sukma menerangkan, sebelum Covid-19 ‘menyerang’ ia merupakan seorang pemilik sanggar tari bernama Rimantaka. Ia bahkan kerap diundang Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk menjadi penampil saat kedua kementerian itu sedang mengadakan acara di luar atau dalam negeri.

Sebulan, kata ia, penghasilannya bisa mencapai Rp6 juta-Rp10 juta. Penghasilan itu belum termasuk upahnya sebagai pelatih tari pribadi dan juga seorang juru rias pengantin.
“Rp6-10 juta dapat kok. Belum dengan proyek keluar ya. Itu paling kecil Rp6 juta. Belum dari event. Kebetulan saya juga make-up wedding juga,” tutur Sukma kepada Alinea.id melalui sambungan telepon pekan lalu.

Kini setelah seluruh penghasilannya lenyap ‘ditelan Covid-19’, Sukma mulai beralih profesi sebagai seorang ‘petani’. Wanita cantik lulusan fakultas ekonomi Universitas Udayana itu memilih untuk berjualan hasil kebun. Ia memetik hasil kebun dari tanah milik keluarga di kawasan Kintamani, Bali yang dekat dengan tempat tinggalnya.

Ia menjual apa saja yang tumbuh di kebunnya, mulai dari durian, markisa, alpukat, hingga buah jambu melalui media sosial. Sukma menamakan bisnisnya itu RM*Martdps, merujuk pada nama sanggar tari miliknya Rimantaka.

Sukma menunjukkan buah durian yang tumbuh di kebun keluarganya, di Kintamani, Bali. Dokumentasi.

Melalui laman Facebook dan Instagram bernama RM*Martdps itu, Sukma juga turut menjual makanan-makanan beku (frozen foods) khas Bali yang ditawarkannya kepada teman-temannya. Selain itu, ia juga turut menjual hasil tambak udang dari usaha milik adiknya.

“Apa saja saya jual. Jamu juga. Sekarang banyak orang juga yang nitip-nitip jualan gitu ‘kan. Jadi ya apa saja, yang penting bisa buat tutupin biaya cicilan bulanan,” kisahnya.

Meski enggan membeberkan berapa besaran penghasilannya di bisnis baru tersebut, Sukma mengaku kini pendapatannya sudah cukup untuk menghidupi keluarga dan menutupi biaya cicilan bulanannya. Ia berharap ke depan, bisnisnya ini bisa semakin besar dan semakin dikenal banyak orang.

Sebelum menutup pembicaraan telepon dengan Alinea.id, Sukma pun berpesan kepada para pembaca agar tidak menjadikan PHK atau Covid-19 sebagai alasan untuk bemuram durja. Karena baginya, setiap orang sejatinya punya kemampuan terpendam yang bisa muncul ketika situasi terjepit.

“Sebenernya kita semua kaya punya skill terpendam. Kita harus cari apa yang kita punya itu. Semua bisa dimanfaatkan. Kaya HP itu dimanfaatkan jangan dibuat main aja. Bisa hidup kok kalau memang mau usaha,” pungkasnya.

PHK bisa menjadi peluang dengan memilih jalan wirausaha. Alinea.id/Hadi Tama.
 
 

Berita Lainnya
×
tekid