sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BI umumkan lagi kenaikan BI7DRR jadi 5,25%

Perry menambahkan, tekanan pelemahan nilai tukar semakin meningkat sejalan dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Kamis, 17 Nov 2022 21:56 WIB
BI umumkan lagi kenaikan BI7DRR jadi 5,25%

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo kembali mengumumkan kenaikan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 50 basis poin (bps). Ini artinya suku bunga naik dari 4,75% menjadi 5,25% dan menjadi kenaikan keempat kalinya selama tahun 2022. Yaitu pada Agustus 2022 naik 25 bps di level 3,75%, kemudian bulan September 2022 naik 50 bps jadi 4,25%, dilanjutkan Oktober 2022 naik 50 bps menjadi 4,25%.

Perry menyampaikan kenaikan BI-7DRR juga diiringi kenaikan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,50% dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 6,00%.

“Kenaikan suku bunga ini sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang masih tinggi,” jelas Perry dalam Pengumuman Hasil Rapat dewan Gubernur (RDG) bulan November, Kamis (17/11).

Kenaikan ini juga dilakukan untuk memastikan inflasi inti ke depan bisa kembali ke sasaran 3,0±1% lebih awal, yakni di semester I-2023. Selain itu, menurut Perry juga sebagai langkah memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat kuatnya mata uang Dolar Amerika Serikat (AS) dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.

Lebih lanjut, Perry juga mengungkapkan adanya perlambatan pada pertumbuhan ekonomi global yang disertai tingginya tekanan inflasi, kenaikan suku bunga yang agresif sebagai kebijakan moneter, dan ketidakpastian pasar keuangan yang masih berlanjut.

“Pertumbuhan ekonomi global di 2023 diperkirakan akan menurun dari tahun 2022, dengan risiko koreksi yang dapat lebih rendah dan resesi yang lebih tinggi di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Eropa,” kata Perry.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global dijelaskan Perry karena masih berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif.

Kemudian untuk tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tetap tinggi seiring dengan masih berlanjutnya gangguan rantai pasokan dan keketatan pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa, di tengah melemahnya permintaan global.

Sponsored

“Merespons tekanan inflasi tinggi tersebut, bank sentral di banyak negara terus memperkuat pengetatan kebijakan moneter yang agresif. Kenaikan Fed Funds Rate yang diperkirakan hingga awal tahun 2023 dengan siklus yang lebih panjang (higher for longer) mendorong tetap kuatnya mata uang dolar AS sehingga memberikan tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara,” tandas Perry.

Perry menambahkan, tekanan pelemahan nilai tukar semakin meningkat sejalan dengan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Bahkan aliran keluar investasi portofolio asing menambah tekanan nilai tukar di negara berkembang termasuk Indonesia.

Berita Lainnya
×
tekid