sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Catatan kritis Guru Besar UGM soal kebijakan beras nasional

Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Masyhuri, memberikan beberapa catatan kritis tentang kebijakan beras nasional. Salah satunya soal Bulog.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Senin, 22 Mar 2021 18:51 WIB
Catatan kritis Guru Besar UGM soal kebijakan beras nasional

Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Masyhuri, memberikan sejumlah catatan kritis atas kebijakan beras pemerintah yang dinilai dapat berdampak buruk bagi Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) dan jejaring usaha kecil.

Dirinya mempersoalkan peran Satuan Tugas (Satgas) Pangan, tim serap gabah (sergab) hingga harga eceran tertinggi (HET) beras lantaran menyebabkan goncangan perdagangan beras antarwaktu, tempat, pulau, dan wilayah.

"Perbedaan HET beras antarwilayah hanya mempertimbangkan ongkos angkut yang berlaku sepanjang tahun. Jadi, ini menutup celah insentif perdagangan. Satgas Pangan mampu membuat harga beras relatif stabil, tetapi stabil tinggi dalam jangka pendek. Ini akan berdampak buruk pada industri penggilingan padi nasional dalam jangka panjang," ujar Masyhuri dalam Alinea Forum betajuk "Reformulasi Kebijakan Perberasan," Senin (22/3).

Adanya kebijakan HET, sambung Masyhuri, juga memengaruhi pedagang kecil dan pengusaha penggilingan. "Pedagang dan penggilingan padi kecil akan menderita. Yang masih survive adalah penggilingan yang besar."

"Harusnya HET itu bukan harga mati, tetapi memberikan sinyal melakukan operasi pasar walaupun kenyataannya data kemarin mengatakan bahwa harga di pasaran itu ternyata (harga beras) melebihi HET semua," imbuh Masyhuri.

Selain itu, dirinya menyoroti harga pembelian pemerintah (HPP), pengadaan beras, dan fungsi Bulog. Pemerintah, kata dia, tidak mengacu harga dasar untuk membeli beras, sehingga HPP saat ini bukan harga dasar lagi.

"Karena itu, kami berpendapat bahwa harusnya HPP dikembalikan sebagai harga dasar," ucapnya.

Kemudian, Masyhuri menyoroti perubahan status Bulog menjadi perum sejak 2003. Hal ini menyempitkan ruang gerak perusahaan "pelat merah" tersebut sebagai regulator komoditas beras.

Sponsored

"Waktu jadi LPND (Lembaga Pemerintah Non-departemen) itu, Bulog bisa membuat policy dan melaksanakannya. Nah, sekarang menjalankan fungsi bisnis dan PSO (public service obligation). Jadi, hanya alat atau mendapat tugas dari pemerintah," katanya.

"Tugas membuat policy kalau enggak salah sekarang ada Menko Perekonomian yang sering tidak fokus. Harusnya Badan Pangan Nasional. Ini amanat dari UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan," paparnya.

Selanjutnya, mutu beras. Masyhuri merasa penetapan aturan mutu beras yang berbeda dan tercantum dalam sejumlah aturan, seperti Permentan, SNI, Inpres, hingga Permendag tidak efektif. Kebijakan tersebut akan membuat bingung para pelaku bisnis.

"Kan, ini membingungkan pelaku bisnis. Karena itu, harapan kami, bermacam mutu beras dari SNI, Permentan, Inpres, dan Permendag itu disamakan saja sehingga itu tidak membingungkan pelaku bisnis. Pelaku bisnis kalau bingung, kan, takut juga karena ada Satgas dan sergap," ucap dia.

Dirinya juga memberikan catatan terhadap perubahan kebijakan yang mengatur beras untuk rakyat miskin (Raskin) menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT). Menurutnya, dampak kebijakan ini merugikan Perum Bulog lantaran kehilangan outlet pasti hingga 3,4 juta ton beras setahun.

"Bulog kehilangan outlet 2,5 juta sampai 3,4 juta ton menjadi hanya 1,2 juta ton tahun 2018. Dan tinggal untuk (daerah) 3T (tertinggal, terluar, dan terisolasi). Waktu itu, Bulog hanya urus 3T saja, CBP (cadangan beras pemerintah) hanya 0,35 juta ton. Jadi kecil," ucap Masyhuri.

Baginya, kebijakan yang mengharuskan di Bulog menyerap produksi petani domestik di hulu, sementara outlet penyaluran di hilir ditiadakan merupakan kebijakan yang tidak adil. Kebijakan ini potensial merugikan Bulog.

"Outlet penyaluran berasnya berkurang. Nah, ini suatu masalah yang harus dipecahkan oleh Badan Pangan Nasional, kemudian harus ada upaya disposal beras. Beberapa alternatif disposal beras itu antara lain ialah CBP bantuan beras pemerintah dinaikkan, dari sekarang 0,35 menjadi 1,5 atau 2 juta ton," terangnya.

"Jadi, peluang untuk memberikan kebijakan disposal bagi Bulog itu salah satunya dengan menaikan CBP itu, sehingga Bulog punya outlet pengeluaran," katanya.

Dirinya pun berpendapat perlunya pebaikan kebijakan dari hulu hingga hilir. Pemerintah dinilai tidak memiliki kebijakan khusus terkait menyusul kian banyaknya petani gurem.

Mengenai kebijakan di tengah, Masyhuri menilai, pentingnya perbaikan penggilingan padi dan perdagangan beras. Adapun di hilir mesti dilakukan dengan memperbaiki kualitas beras dan penerapan HET tidak perlu untuk semua kualitas beras.

Berita Lainnya
×
tekid