sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dilema bisnis maskapai penerbangan nasional

Kenaikan tarif pesawat terbang membuat masyarakat resah. Di sisi lain, maskapai masih merugi selama ini.

Eka Setiyaningsih Nanda Aria Putra
Eka Setiyaningsih | Nanda Aria Putra Selasa, 15 Jan 2019 22:53 WIB
Dilema bisnis maskapai penerbangan nasional

Bagasi tak lagi gratis

Ari menuturkan, saat ini Garuda Indonesia mengalami kerugian. Maskapai nasional ini tengah berusaha mencari cara agar bisa menutupi kerugian itu, dengan tanpa menaikan harga tiket pesawat.

Juliandra mencontohkan, untuk menyiasati biaya operasional, Citilink menyewakan ruang yang mereka miliki di kabin pesawat dan badan pesawat untuk iklan. Selain itu, Citilink juga menjual makanan dan minuman.

Pihak Citilink, kata Juliandra, demi menutupi ongkos operasional berlebih akan ikut langkah Lion Air dengan menghapuskan kebijakan memberlakukan tarif bagasi untuk setiap kilogramnya. Namun, kebijakan tersebut masih dalam tahap sosialisasi dan diskusi dengan pihak regulator, menerima saran perihal besaran harga dan mekanismenya.

Lion Air Group mengumumkan pengenaan tarif bagasi di media sosial resmi mereka. (instagram.com/lionairgroup)

“Kita juga harus menunjukkan kesiapan di bagasinya, kemudian check in counter-nya juga. Lalu, kita harus bisa campaign-nya yang dua minggu, sehingga publik tahu kalau ada perusahan,” ujar Juliandra. Dia menegaskan, untuk kabin pesawat penumpang masih diberi gratis sebesar tujuh kilogram.

Menurut Ari, bila tak menyiasati dengan skema mencari pendapatan lain, maskapai akan terus merugi. Dengan memberlakukan tarif batas atas saja, katanya, pihaknya masih merugi.

Pemberlakuan tarif bagasi bagi penumpang untuk jenis maskapai berbiaya murah secara hukum sesuai dengan peraturan. Di dalam Peraturan Menteri Nomor 185 Tahun 2015 Pasal 22 Ayat C, disebutkan maskapai dengan tipe no frills, dapat memungut biaya untuk bagasi penumpang.

Sponsored

Maskapai tipe no frills atau berbiaya murah ini merupakan maskapai dengan pelayanan tanpa makanan dan minuman selama penerbangan. Menurut Ari, kenaikan tarif bagasi memang besar, mencapai Rp980 ribu, seperti yang dilakukan Lion Air.

"Jika diberi secara gratis 20 kilogram, dan di lambung pesawat bagasinya kosong, kan rugi. Makanya mereka memberlakukan bagasi berbayar gitu, dan kalau tidak laku mereka akan lapor ke kargo,” katanya.

Lebih jauh Ari mengatakan, pemberlakuan tarif bagasi berbayar ini, berkontribusi menambah pendapatan sebesar 30%.

Di sisi lain, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, seharusnya bagasi berbayar bagi penumpang dan kenaikan harga tiket pesawat jangan dilakukan mendadak. Sebab, hal itu akan membuat masyarakat kaget.

Menurutnya, pihak maskapai harus memahami psikologi warga yang selama ini menikmati subsidi atau diskon dari harga tiket dan bagasi.

“Dinas Perhubungan harus mengawasi soal tarif bagasi ini, jangan sampai harga untuk 20 kilogram bagasi ini lebih mahal dari harga tiket pesawat yang dibeli oleh penumpang,” ujar Tulus.

Citilink. (www.facebook.com/pg/citilink).

Berdarah-darah

Anggota Ombudsman Alvin Lie yang juga pengamat penerbangan menilai, kenaikan tarif pesawat sebenarnya diperlukan oleh maskapai, karena kondisi keuangan mereka sudah berdarah-darah. Hal ini terjadi karena persaingan bisnis, yang membuat maskapai terpaksa banting-bantingan harga.

"Sementara masyarakat sudah terlalu termanjakan dengan tarif pesawat yang selama ini banting-bantingan. Jadi sekarang memang perlu bagi maskapai untuk melakukan penyesuaian," ujarnya.

Menurutnya, indikasi maskapai berdarah-darah terlihat jelas dari beban keuangan yang dihadapi Garuda Indonesia. Maskapai pelat merah itu sudah langganan menderita kerugian dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sampai menjadi sorotan publik.

Berdasarkan laporan keuangan per kuartal III 2018, setidaknya perseroan masih merugi sekitar US$114,08 juta setara Rp1,66 triliun (kurs Rp14.600 per dollar AS).

Indikasi lain, tercermin dari aksi merapatnya Sriwijaya Air ke Garuda Indonesia. Maskapai milik Chandra Lie itu akhirnya memilih bergabung ke maskapai BUMN, karena menanggung utang sekitar Rp433 miliar yang harus dilunasi ke PT Garuda Maintanance Facility Aero Asia Tbk. (GMFI), anak usaha Garuda Indonesia.

Utang itu terdiri dari utang pemeriksaan menyeluruh (overhaul) 10 mesin pesawat sebesar US$9,33 juta. Lalu, utang perawatan pesawat sebesar US$6,28 juta dan Rp119,77 miliar yang telah dianjak piutang kepada PT Bank Negara Indonesia Tbk.

"Maskapai sudah berdarah-darah, selama ini mencoba bertahan, tapi tidak kuat juga. Kalau tidak ada penyesuaian tarif, lama-lama bisa berguguran pemain di industri ini," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid