sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dilema bisnis maskapai penerbangan nasional

Kenaikan tarif pesawat terbang membuat masyarakat resah. Di sisi lain, maskapai masih merugi selama ini.

Eka Setiyaningsih Nanda Aria Putra
Eka Setiyaningsih | Nanda Aria Putra Selasa, 15 Jan 2019 22:53 WIB
Dilema bisnis maskapai penerbangan nasional

Lebih lanjut, Alvin menilai sekalipun maskapai mengerek harga seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu, tarif penerbangan yang dipasang sejatinya tidak melanggar ketentuan aturan tarif batas atas dari pemerintah. Artinya, lagi-lagi maskapai tetap berusaha menjaga daya beli masyarakat.

Juliandra mengungkap, biaya operasional Citilink juga tengah berdarah-darah. Pasalnya, biaya operasional membengkak senilai US$102 juta.

Faktor utama pembengkakan ini adalah naiknya harga avtur dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Juliandra menyebut, pada 2017 harga avtur rata-rata berkisar US$55,1 per liter. Angka itu melonjak pada 2018, yakni US$65,4 per liter.

Lebih lanjut, Citilink membeli avtur menggunakan dollar AS, sedangkan pemasaran jasa Citilink di tanah air kebanyakan menggunakan rupiah. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga berpengaruh signifikan.

"Forex menghantam atau mengurangi revenue kita. Penurunan Rp100 karena kenaikan kurs melemah, dia akan mengurangi revenue kita full year US$5,3 juta. Jadi kebayang dong kalau Forex melemah dan mengurangi revenue kita. Fuel juga begitu. Sehingga di 2018 kita menghitung ternyata tambahan biaya terjadi akibat fuel Forex, ditambah biaya bandar udara. Itu menambah cost kita hingga 13,5% atau US$102 juta," katanya.

Hal itu tentunya dialami semua maskapai penerbangan nasional, terutama yang berbiaya murah.

Lion Grup menerapkan bagasi berbayar dan kenaikan tarif. (Antara Foto).

"Di tiga bulan terakhir 2018 kita berusaha agar survive, kita kurangi alokasi harga yang di bawah (mendekati tarif batas bawah). Bukan menaikkan harga, tapi mengurangi diskon, bahasa halusnya kan gitu," ujarnya.

Ari menjelaskan, pihaknya berkomitmen menurunkan harga tiket pesawat domestik dengan kisaran 20%-60%. Namun di sisi lain, INACA meminta dukungan pemangku kepentingan lain di tengah tingginya biaya operasional yang ditanggung maskapai. Salah satu dukungan diharapkan dari PT Pertamina (Persero).

Sponsored

"Struktur biaya operasional itu 40%-45% adalah avtur. Kemudian 20% lainnya adalah sewa pesawat dan berikutnya lain-lain. Kami sudah dapat komitmen dari para pihak secara verbal untuk mendukung maskapai," ujar Ari.

Dia mengungkapkan, saat ini harga avtur untuk penerbangan domestik yang dikenakan PT Pertamina kepada maskapai masih lebih mahal ketimbang penerbangan internasional. Karena itu, INACA berharap harga avtur untuk penerbangan domestik diturunkan.

"Kami berharap diturunkan harga avtur 10%. Masyarakat kan ingin murah dan harga tiket turun. Jadi kami mohon biaya pendukung ini diturunkan juga dan memang sudah ada dukungan untuk itu," ujarnya.

Ari mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, dan Pertamina mengenai hal ini. Namun, penurunan harga avtur tersebut belum ditentukan.

Kembali ke darat?

Menurut Piter, pemerintah harus serius mencermati masalah harga tiket pesawat. Apalagi di tengah upaya pemerintah meningkatkan industri pariwisata.

"Harus diakui, kita baru punya Bali sebagai destinasi pariwisata yang mampu menarik wisatawan internasional. Tapi Bali juga masih sangat bergantung kepada wisatawan domestik. Apalagi kalau pemerintah ingin mengembangkan destinasi wisata baru. Peran wisatawan domestik sangat diperlukan," ujar Piter.

Dia mengingatkan, pemerintah akan gagal membangun destinasi wisata “Bali baru” bila harga tiket membumbung tinggi. Piter khawatir, masyarakat kita justru nantinya akan berbondong-bondong plesir ke luar negeri.

Di sisi lain, keberadaan Jalan Tol Trans Jawa ternyata berdampak pada okupansi jasa angkutan penerbangan. Hal tersebut diungkap anggota Ombudsman Alvin Lie. Menurutnya, kondisi ini membuat maskapai harus memutar otak untuk menjalankan roda bisnis.

"Diresmikannya tol Trans Jawa sangat berpengaruh mengubah peta transportasi. Penerbangan lintas kota di Jawa mendapatkan persaingan luar biasa," ujarnya, dalam diskusi di Resto Penang Bistro, Jakarta.

Dia mengatakan, kemacetan pada ruas Jakarta-Cikampek, jarak tempuh antarkota di Jawa melalui jalur darat nyaris di bawah enam jam. Kondisi tersebut membuat masyarakat yang tadinya lebih suka menggunakan pesawat, beralih ke jalur darat.

Salah satu promosi pariwisata yang dilakukan Citilink. (instagram.com/citilink).

"Cirebon-Semarang cuma 2 jam. Yang tadinya Semarang-Surabaya tiket pesawatnya hampir Rp1 juta sekarang sepi, karena naik mobil paling lama 3,5 jam," ujar Alvin.

Sejalan dengan itu, dia menyebut, data penerbangan selama Desember 2018 cenderung mengalami tren menurun. Tren itu tergambar dalam enam bandara besar yang mengalami penurunan hingga 13,4%.

"Ini sangat signifikan. Demikian juga pergerakan pesawat, jumlah yang berangkat dan mendarat turun. Berarti airline juga mengurangi jumlah penerbangan. Ini mengindikasikan bahwa kondisi airline sedang sangat kritis dari aspek keuangan," ujarnya.

Piter sendiri tak sepakat argumentasi Alvin. Dia menjelaskan, tak semua perjalanan bisa menggunakan transportasi darat.

"Untuk jarak pendek dalam satu pulau bisa saja naik mobil atau kereta. Tapi untuk antarpulau? Naik kapal laut terlalu lama. Untuk mendukung pariwisata baru di luar pulau Jawa tidak bisa tidak harus pakai pesawat terbang," ujarnya.

Meski sejumlah maskapai tengah menghadapi tekanan, namun dirinya menyebut bisnis maskapai ke depan masih sangat menjanjikan.

"Negara kita adalah negara kepulauan. Artinya alat transportasi yang paling cepat dan paling efisien adalah pesawat terbang. Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang tepat. Pemerintah perlu memikirkan struktur persaingan yang lebih sehat, agar para pemain dalam industri tidak saling mematikan. Ciptakan persaingan yang sehat," kata Piter.

Menurutnya, untuk mendukung perkembangan dan persaingan yang sehat di industri penerbangan, pemerintah juga perlu menata infrastruktur yang lebih kondusif.

"Perlombaan daerah membangun bandara saya kira tidak membuat industri penerbangan kita lebih efisien dan menguntungkan. Ini perlu segera di evaluasi," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid