sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dilema distribusi energi terbarukan: PLN untung atau buntung?

Distribusi energi terbarukan milik swasta dikhawatirkan bakal menambah over supply listrik dan rugikan PLN.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Kamis, 26 Jan 2023 09:06 WIB
Dilema distribusi energi terbarukan: PLN untung atau buntung?

Pada kesempatan lain, Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov khawatir, skema power wheeling akan ujug-ujug diterapkan ketika UU disahkan nanti, meski sudah dianulir dalam DIM RUU EBET. Sebab, skema yang meliberalisasi sektor kelistrikan ini bisa menjadi bom waktu bagi APBN di kemudian hari.

Bagaimana tidak, ketika power wheeling diterapkan dan listrik berbasis EBT sudah didistribusikan oleh swasta melalui jaringan transmisi milik PLN, atau yang dalam hal ini dibangun oleh negara, pada saat itu juga PLN akan berebut pasar pasar dengan IPP. Kondisi ini berpotensi membuat masalah over supply listrik kian tebal.

“Karena kelebihan pasokan ini harus dibayar dan dananya ini dari APBN, maka beban APBN akan tambah berat. Padahal kita tahu, saat ini APBN sedang mengalami konsolidasi. Artinya, APBN harus kembali lagi ke defisit 3% di tahun ini, sesuai dengan undang-undang,” jelas Abra, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (25/1).

Porsi Energi Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional (2015-2021)

2015 4,9%
2016 6,27%
2017 6,66%
2018 8,6%
2019 9,19%
2020 11,27%
2021 12,16%

Sumber: BPS

Perlu diketahui, dalam kondisi over supply listrik sebesar 1 GW, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp3 triliun. Sedangkan tanpa adanya skema power wheeling, Indonesia sudah diprediksi akan mengalami over supply listrik hingga 6 sampai 7 GW, akibat adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 GW.

Namun demikian, ketika APBN sudah tidak bisa menanggung biaya kompensasi dari over supply yang terlampau besar, jalan keluar satu-satunya yang dapat diambil adalah dengan menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Keputusan ini jelas bakal memberatkan rakyat, terutama masyarakat dari golongan menengah ke bawah.

“Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata over supply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi over supply selama 2022-2030 mencapai 48 GW sampai 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp144-168 triliun," beber Abra.

Sponsored

Sementara itu, jika penerapan skema power wheeling adalah untuk meningkatkan bauran EBT nasional, Abra menilai pemerintah tidak perlu repot-repot menggunakan skema ini. Sebab, tanpa power wheeling pun pemerintah sudah menggelar karpet merah bagi swasta. Sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Dalam RUPLT ini, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW, dengan porsi swasta mencapai 56,3% atau setara dengan 11,8 GW. "Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6%," tegasnya.

Tambahan pendapatan PLN

Berbeda dengan Abra dan Faisal, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, skema power wheeling justru dapat memberikan tambahan pendapatan kepada PLN. Di mana revenue ini berasal dari peningkatan utilisasi jaringan listrik milik PLN.

Mengingat power wheeling memungkinkan jaringan transmisi yang dimiliki oleh pemilik transmisi tenaga listrik digunakan bersama oleh beberapa entitas, dengan membayar suatu "fee" ke badan usaha transmisi. Tarif power wheeling merupakan hasil negosiasi antar pemegang izin tenaga listrik (IUPTL) dan disetujui oleh menteri atau gubernur terkait.

Pada saat yang sama, power wheeling juga dapat meningkatkan permintaan energi terbarukan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam hal ini IPP untuk menyediakan energi terbarukan. Pada akhirnya, skema ini dapat mengakselerasi peningkatan energi terbarukan, serta mengurangi beban investasi PLN untuk pembangkitan energi terbarukan.

Foto Pixabay.com.

Dari sisi masyarakat, pemanfaatan jaringan bersama tenaga listrik ini akan memberikan akses yang lebih mudah untuk mendapatkan pasokan energi terbarukan dengan harga yang kompetitif. “Hal ini dapat mendorong minat pengembangan sumber daya energi terbarukan yang ada, dan tidak perlu bergantung pada permintaan dari PLN sebagai off-taker selama ini,” katanya, dalam keterangannya kepada Alinea.id, belum lama ini.

Terlepas dari itu, Fabby melihat, skema power wheeling ini sebagai konsekuensi dari sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan PLN yang mempunyai hak monopoli dalam penguasaan jaringan transmisi. Pasalnya, setelah skema power wheeling ini diterapkan, jaringan transmisi listrik milik PLN itu dapat dimanfaatkan secara bersama serta memungkinkan IPP energi terbarukan menjual listrik secara langsung kepada konsumen.

Terpisah, Manager Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo menjelaskan, peraturan terkait skema power wheeling sebenarnya sudah ada dan diatur dalam Peraturan Menteri ESDM 1/2015 dan dimutakhirkan dalam Peraturan Menteri ESDM 11/2021. Sehingga tidak tepat jika penerapan skema power wheeling menyalahi konstitusi. Apalagi, usaha jual beli tenaga listrik masih dalam kendali pemerintah, via PLN.

“Tarif power wheeling juga masih perlu disetujui oleh Menteri. Jadi pemerintah Indonesia masih dapat mengelola transaksi power wheeling ini sendiri sesuai konstitusi,” jelasnya, kepada Alinea.id, Rabu (25/1).

Karenanya, jika mengingat realisasi bauran energi nasional yang jauh dari target, yakni 23% di 2025, penerapan power wheeling jelas sangat penting. Sebab, dengan skema ini memungkinkan banyak pihak untuk ikut berpartisipasi dan berinvestasi ke energi terbarukan, sehingga membantu pencapaian bauran.

Selain pemenuhan target bauran energi, kebutuhan listrik yang bersih dari energi terbarukan juga semakin meningkat dan perlu segera dipenuhi. Apalagi, saat ini semakin banyak perusahaan yang sudah masuk dalam kelompok RE100 (Renewable Energy 100%), yang memiliki komitmen untuk memanfaatkan listrik sepenuhnya dari energi terbarukan.

“Seringkali perusahaan ini kesulitan untuk memenuhi listrik energi terbarukan dari sekitar mereka. Sehingga power wheeling dapat menjadi opsi pemenuhan target RE100,” imbuh Deon.

Sebaliknya, jika power wheeling tidak diterapkan, akan sulit bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk memenuhi target. Pada kondisi ini, jelas akan berpengaruh pada keputusan investasi di masa depan. Terlebih, target konsumen dari power wheeling ini biasanya adalah konsumen dengan permintaan pemenuhan listrik dari energi bersih dalam jumlah besar.

“Biasanya yang memanfaatkan ini adalah industri dan bisnis dengan konsumsi energi yang signifikan. Masyarakat sendiri lebih tepat memanfaatkan EBT dari skema pembangkitan sendiri seperti PLTS atap,” ungkap dia.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Berita Lainnya
×
tekid