Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan komitmennya dalam mengawal penyusunan kebijakan fiskal nasional untuk tahun 2026 melalui rapat paripurna yang membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF). Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menjelaskan pembahasan ini merupakan amanat dari Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020, di mana setiap fraksi wajib memberikan pandangan terhadap dokumen kebijakan fiskal yang disampaikan oleh pemerintah.
“Ini adalah bagian dari mekanisme konstitusional untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan anggaran negara,” ujar Adies dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 di Kompleks Parlemen, pada Selasa (27/5).
Dalam pemaparan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2026 berada pada angka 4,7%. Target ini mencerminkan kehati-hatian dalam menyikapi ketidakpastian global, sekaligus menunjukkan optimisme terhadap pemulihan ekonomi domestik.
Inflasi tahun depan diperkirakan tetap terkendali, berada dalam rentang 1,5% hingga 3,5%. Pemerintah juga memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan bergerak stabil pada kisaran Rp16.500 hingga Rp16.900 per dolar AS.
Sementara itu, suku bunga obligasi pemerintah bertenor 10 tahun diperkirakan berkisar antara 6,6% hingga 7,2%, mencerminkan persepsi risiko pasar terhadap stabilitas fiskal dan moneter.
Di sektor energi, pemerintah menargetkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) berada di level US$60 hingga US$80 per barel. Lifting minyak ditargetkan 600.000 hingga 605.000 barel per hari, sedangkan lifting gas diproyeksikan mencapai 953.000 hingga 1,017 juta barel setara minyak per hari (boepd).
Dari sisi fiskal, pendapatan negara pada tahun 2026 diharapkan mencapai sekitar 11,7% hingga 12,2% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, belanja negara direncanakan berada pada kisaran 14,2% hingga 14,75% dari PDB. Defisit anggaran pun dijaga tetap sehat di angka 2,48% hingga 2,53% dari PDB.
Tak hanya fokus pada angka-angka makro, pemerintah juga menyusun target-target sosial yang progresif. Tingkat kemiskinan ditargetkan turun ke angka 6,5% hingga 7,5%, sementara tingkat pengangguran terbuka diperkirakan dapat ditekan menjadi 4,44% hingga 4,96%—lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari sisi kesenjangan ekonomi, rasio gini ditargetkan turun ke level antara 0,377 dan 0,380. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi prioritas, dengan target Indeks Modal Manusia (IMM) meningkat dari 0,56 menjadi 0,57.
Rangkaian kebijakan dan target ini menunjukkan sinergi antara pemerintah dan DPR dalam merancang anggaran yang tidak hanya responsif terhadap dinamika global, tetapi juga inklusif dalam menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia.