sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gusar kenaikan harga minyak goreng di negara produsen sawit terbesar

Kenaikan harga minyak goreng sejak Agustus tahun 2020 semakin melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET).

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Minggu, 05 Des 2021 08:22 WIB
Gusar kenaikan harga minyak goreng di negara produsen sawit terbesar

Seorang penjual telur gulung kembali memakai minyak goreng sisa penjualan selama berhari-hari. Riski, demikian ia akrab disapa, terpaksa harus menghemat pemakaian minyak dari kelapa sawit ini. Jika tidak, pedagang kaki lima di Jalan Kalibata Timur 1, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan ini terancam mengalami penurunan pendapatan.

Ia setidaknya membutuhkan 2,5 liter minyak goreng untuk lima hari. Namun, kini dia menggunakan 2,5 hingga 3 liter untuk tujuh hari. "Tergantung banyak apa enggak yang beli. Kalau banyak ya bisa 3 liter itu cuma seminggu," ucapnya kepada Alinea.id, Senin (29/11). 

Sebagai salah satu komponen penting dalam ekosistem ekonomi gorengan, naiknya harga minyak goreng tentu membuat pedagang gorengan gusar. Berbagai cara pun dilakukan agar dagangan gorengan mereka tetap laris dan bisa meraup untung. 

Sebut saja dengan menaikkan harga jual gorengan, mengurangi ukuran gorengan, menggunakan minyak goreng yang sama berulang kali, hingga mengoplos minyak kemasan dengan minyak curah. 

Sejak Oktober lalu, saat harga minyak goreng curah mencapai Rp16.150 per liter di tingkat eceran di DKI Jakarta, Riski mulai mendaur ulang minyak goreng yang sudah digunakan sebelumnya dengan dua cara. 

Pertama, menyaring endapan atau sisa-sisa gorengan yang ada di dasar penggorengan memakai saringan yang memiliki jaring-jaring super tipis. Kedua, dia menggunakan sekepal nasi yang dimasukkan ke dalam minyak yang sudah tidak terlalu panas. Endapan dari sisa-sisa gorengan akan menempel dengan sendirinya di kepalan nasi tersebut.

Jajanan gorengan pedagang kaki lima. Pixabay.com.

"Mau enggak mau begini (mendaur ulang minyak goreng-red). Kalau enggak, ya enggak bisa untung. Malah rugi gara-gara minyaknya mahal banget," keluh pria berusia 27 tahun itu. 

Sponsored

Berbeda dengan Riski, Budiono memilih mencampur minyak curah dengan minyak kemasan, lantaran harga minyak goreng curah di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, telah mencapai Rp20.000 per kilogram. Padahal, sebelum mengalami peningkatan, dirinya hanya menggunakan minyak goreng curah yang dikemas dalam plastik bening kiloan itu.

Saat itu, harga minyak goreng curah masih di kisaran Rp14.000 per kilogram. Ayah tiga anak itu kini juga menggunakan minyak goreng kemasan sebagai campuran karena lebih murah. Meskipun, minyak goreng kemasan juga mengalami kenaikan yakni menjadi Rp38.500 untuk ukuran 2 liter.
 
"Biasanya kalau beli yang minyak curah jerigenan. Itu yang ukuran 20 liter cuma sekitar Rp240.000. Sekarang kok naiknya jadi Rp290.000-an sampai ada yang Rp300.000 juga," beber pedagang yang juga mangkal di Jalan Kalibata Timur 1 ini kepada Alinea.id, Selasa (30/11).
 
Meski biaya produksi yang dikeluarkannya makin banyak, Budi mengaku tidak bisa menaikkan harga gorengannya. Sebab, dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit karena pandemi Covid-19, dia khawatir tidak ada pembeli. Kini, meski omzet tetap yakni di kisaran Rp250.000-Rp300.000 namun keuntungannya menyusut.

"Buat untungnya, paling sekarang cuma Rp50.000 - Rp70.000-an. Sisanya buat muterin (modal) lagi," keluh Budi.

Ironi negara penyumbang CPO terbesar

Sumber kenaikan komoditas pangan minyak goreng tak lain adalah kenaikan harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia nyatanya harus menghadapi kenaikan harga minyak goreng yang diolah dari kelapa sawit ini.

Harga minyak sawit mentah meneruskan tren kenaikannya sejak Mei 2020 lalu. Begitu pun dengan tahun ini, harga minyak nabati itu menguat, baik di Indonesia maupun dunia. Alhasil, komoditas turunannya, minyak goreng harganya melejit beberapa bulan terakhir.

Kenaikan harga CPO yang disebut-sebut lebih tinggi ketimbang tahun-tahun sebelumnya berdampak nyata pada harga minyak goreng di tanah air. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PHIPS) Nasional, harga minyak goreng baik jenis curah maupun bermerek kompak melonjak sejak Agustus tahun lalu. 

Bahkan empat bulan terakhir, lonjakan tertinggi terjadi pada komoditas ini. Terbukti pada Kamis, 2 Desember kemarin, harga minyak goreng curah berada di level Rp17.550 per liter. Sementara minyak goreng kemasan bermerek bermerek 1 Rp19.400 dan minyak goreng bermerek 2 sebesar Rp18.950. 

Sedangkan di pasaran, harga minyak goreng curah di hari yang sama adalah senilai Rp17.400 per liter. Naik 10,13% jika dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan harga minyak goreng kemasan sederhana naik 11,18% menjadi Rp17.900 per liter dan minyak goreng kemasan premium melonjak 9,71% dari November menjadi Rp19.200 per liter.

Harga-harga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 komoditas pangan ini dipatok sebesar Rp11.000 per liter. 

Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan bilang, kenaikan harga minyak goreng dibarengi pula dengan lonjakan harga komoditas lain, seperti cabai merah keriting, cabai merah besar, cabai rawit merah serta telur ayam ras.

"Yang (mengalami peningkatan-red) cukup signifikan memang minyak goreng," kata dia, kepada Alinea.id, Kamis (2/12).

Meski produksi kelapa sawit Indonesia tergolong berlimpah, namun harga minyak sawit mentah masih mengikuti harga acuan dunia. Padahal, sejak Mei tahun lalu harga CPO dunia (Dumai) terus merangkak naik. Sejalan dengan pembatasan wilayah yang diberlakukan oleh berbagai negara, demi mencegah penyebaran virus Covid-19. 

Komoditas kelapa sawit. Pixabay.com.

Bahkan, menurut Oke Nurwan, harga CPO dunia sempat mencapai level tertingginya pada minggu keempat November. "Kemarin sempat harga CPO Dunia (Dumai) itu Rp12.812 per liter, lebih tinggi 51,06% dibanding November 2020," jelasnya.

Sementara itu, berdasarkan catatan Kemendag, harga CPO dunia pada Jumat (3/12) lalu ialah sebesar US$1.295,00 per metrik ton. Sedangkan di Indonesia, harga CPO dipatok di kisaran Rp19.171 per kilogram.

Kenaikan salah satu komponen ekonomi gorengan itu, diprediksi Oke masih akan berlanjut hingga Kuartal-I 2022. Disamping karena harga CPO dunia yang masih tinggi, pasokan CPO pun diperkirakan akan mengalami penurunan di tahun depan. 

"Produksi (CPO) Malaysia turun. Jadi, meskipun produksi kita banyak sampai akhir tahun ini, itu tetap akan berpengaruh pada penurunan produksi dunia. Angkanya berkisar di 8%-an penurunannya," urainya.

Belum lagi, produksi minyak sawit Indonesia juga diperkirakan akan mengalami penurunan pada tahun 2022. Oke memperkirakan produksi tahun depan hanya dapat mencapai 47 juta ton saja, turun dari sebelumnya yang ditargetkan sekitar 49 juta ton. Adapun Jika mengacu data SGS Malaysia, produksi CPO Malaysia bulan November 2021 tercatat 1,15 juta ton, turun 11,71% dibanding bulan Oktober sebesar 1,30 juta ton.

Di sisi lain, meskipun memiliki banyak pasokan CPO, pun dengan jumlah produsen minyak goreng yang beragam, tidak banyak perusahaan yang berafiliasi langsung dengan produsen CPO. 

Di saat yang sama, sekitar 67,4% produksi CPO nasional dijual ke luar negeri. Sisanya, diolah di dalam negeri namun masih harus berbagi dengan proyek biomassa sehingga menekan pasokan untuk minyak goreng.

"Sebenarnya, harga CPO naik ini bisa jadi nambah devisa kita dari ekspor. Tapi di sisi lain, efeknya ke minyak goreng juga jadi mahal," imbuh Oke.

Sebagai informasi, stok minyak goreng per 1 Desember 2021 sebesar 628.300 ton yang dimiliki oleh produsen anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), sedangkan stok minyak goreng Perum BULOG sebesar 295,08 ton. Sementara kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,2 juta liter, yang mana 67% konsumsi minyak goreng tersebut di dominasi oleh minyak curah.

Ilustrasi Unsplash.com.

Di tengah lonjakan harga minyak goreng yang belum teratasi, Kemendag tetap ngotot menetapkan kebijakan larangan penjualan minyak goreng curah mulai 1 Januari tahun depan. Artinya, hanya minyak goreng kemasan yang diizinkan beredar di pasaran.

Realitanya, permintaan minyak curah tersebut masih sangat tinggi. Kebijakan ini jelas saja menambah kegusaran para pedagang gorengan. Pun pemilik usaha kuliner seperti warteg yang terkadang masih menggunakan minyak goreng curah. 

Riski dan Budi misalnya, keduanya sepakat keberatan atas aturan pelarangan minyak goreng curah yang sebenarnya sudah ada sejak satu dekade lalu. Mereka bilang, meski saat ini masih mengalami kenaikan, tapi dalam kondisi biasa, harga minyak goreng curah jauh lebih murah dari minyak goreng kemasan. 

"Harapannya si ya semoga masih ada gitu. Jangan jadi lah aturan pelarangannya," harap Budi, yang lantas diamini Riski. 

Industri yang bermasalah

Terlepas dari pelarangan miyak goreng curah, Akademisi Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Mukhaer Pakkana menilai kenaikan harga minyak goreng bukanlah hal yang lazim bagi Indonesia sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia. Kenaikan harga komoditas ini juga membuat para pedagang kecil dan masyarakat kian tercekik. 

Di saat yang sama, dia juga mempertanyakan di mana dana jumbo yang diterima negara dan perusahaan sawit kelas kakap saat harga minyak sawit dunia masih tinggi dan ekspor sawit melimpah. Begitu juga dengan harga referensi produksi CPO untuk penetapan bea keluar (BK) periode Desember 2021 yang berada di angka US$1.365,99 per metrik ton. Harga referensi tersebut meningkat US$82,61 atau 6,44% dari periode November 2021, yaitu sebesar US$1.283,38 per metrik ton.

"Harga minyak goreng yang selama satu bulan terakhir naik gila-gilaan, ini hanya memberi manfaat pada pelaku usaha raksasa yang selalu bertengger sebagai orang terkaya di Indonesia saja. Enggak memberikan manfaat sama sekali buat rakyat," cetusnya kepada Alinea.id, Jumat (3/12).

Akademisi yang juga menjabat sebagai Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan itu menilai sebagai negara produsen minyak sawit, seharusnya masyarakat Indonesia bisa merasakan minyak goreng murah. Belum lagi, untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng murah, pemerintah selalu ingin mengambil kebijakan yang primitif, seperti kebijakan operasi pasar minyak goreng yang dilakukan baru-baru ini. 

Pemerintah yakni Kemendag bekerja sama dengan asosiasi ritel dan pengusaha minyak goreng bakal 'mengguyur' pasar dengan 11 juta liter minyak goreng seharga Rp14.000 per liter. 

"Ini tidak menyelesaikan persoalan struktural ekonomi persawitan. Ini makin menandakan bahwa industri CPO ini dari hulu, hilir dan distrbusi selalau bermasalah," ujar Mukhaer.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengaku, operasi pasar dengan mengguyur 11 juta liter minyak goreng ke pasir dilakukan guna menekan harga minyak goreng yang naik. Bersama Kemendag, GIMNI bersama dengan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) lantas menggandeng Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk memastikan distribusi minyak goreng yang dipatok seharga Rp14.000 di gerai ritel modern.

"Biar tidak terjadi spekulasi di pasar tradisional makanya kita melalui ritel ada Aprindo yang menjamin bahwa harga tidak akan dinaikkan di atas Rp14.000,” kata dia, kepada Alinea.id, Jumat (3/12). 

Rencananya, minyak goreng murah tersebut akan diedarkan hingga harga komoditas strategis itu stabil. Seiring juga harga CPO kembali normal atau setidaknya mencapai US$1.100 per metrik ton. Sebagai informasi, saat ini harga CPO berdasarkan cost, insurance dan freight (CIF) Rotterdam masih di angka US$1.500 per metrik ton. 

"Menurut perhitungan kami setelah semester-II 2022,” imbuh Sahat.
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid